Ancaman Stabilitas Pasar dan Kediktatoran dalam Wacana Perpu Sistem Keuangan
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Rabu, 2 September 2020 19:12 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Alih-alih solutif, wacana penerbitan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu) tentang Reformasi Sistem Keuangan menimbulkan kecemasan para ekonom. Perpu ini dituding menambah deret masalah perekonomian akibat corona karena mengganggu stabilitas pasar keuangan.
Tak hanya menolak, dua lembaga riset independen, yakni Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dan Center of Reform on Economics (Core), satu suara meminta pemerintah meninjau ulang aturan itu yang muncul pada masa krisis.
“Reformasi sektor keuangan ini tidak urgent (mendesk) dan justru bisa negatif,” kata Direktur Eksekutif Core Indonesia Piter Abdullah saat dihubungi Tempo, Rabu, 2 September 2020.
Perpu reformasi sistem keuangan akan merombak kewenangan Otoritas Jasa Keuangan atau OJK, Bank Indonesia atau BI dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Kebijakan ini diambil lantaran pandemi corona mengharuskan pemerintah melakukan kegiatan di luar kenormalan, termasuk dalam hal peraturan perundang-undangan.
Dalam rapat bersama Komisi IX DPR pada 24 Agustus lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa perpu ini sedang dibahas sebagai landasan hukum. Tema besar tujuan perpu ini untuk memperkuat sistem keuangan.
Setidaknya, aturan ini meliputi dua poin. Pertama, aturan ini mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang diharapkan bisa meningkatkan penerimaan negara dan kesejahteraan rakyat melalui kebijakan makroprudensial, moneter, dan sistem pembayaran yang dirasa akan lebih efektif. Kedua, mendorong tumbuhnya investasi melalui kewenangan bank sentral.
<!--more-->
Piter menilai reformasi sektor keuangan menegaskan wacana pembubaran OJK yang selama ini memiliki tugas dan fungsi mengawasi serta mengatur bank. Peran OJK pun sepenuhnya dikembalikan ke bank sentral, yakni BI. Masalah makin bertambah lantaran wacana reformasi sistem keuangan turut ditebalkan dengan perombakan kewenangan BI.
Di tengah masa krisis, Perppu Reformasi Sistem Keuangan seolah malah menjadi ancaman baru. Menurut Piter, perlambatan ekonomi atau bahkan resesi telah berada di ambang mata disebabkan oleh adanya pandemi. Kondisi ini jauh berbeda dengan krisis 1998 lampau.
Artinya, kesulitan perekonomian pada masa sekarang bukan bersumber dari kegagalan sektor keuangan yang kemudian harus dipertanggungjawabkan oleh BI dan OJK. Alih-alih menjamin perbaikan perekonomian, reformasi yang diduga dilakukan secara terburu-buru malah bisa menyebabkan pemerintah kehilangan fokus dalam menanggulangi krisis.
“Saat ini permasalahan terbesar yang kita hadapi adalah pandemi dengan semua dampaknya. Pemerintah diharapkan fokus menanggulangi pandemi dan meningkatkan ketahanan masyarakat serta dunia usaha agar tidak kolaps,” ucapnya.
Piter menyarankan pemerintah cukup memperkuat sinergi BI, OJK, dan LPS. Meski demikian, dia mengakui bahwa reformasi merupakan gagasan yang baik asal disiapkan dengan kajian komprehensif.
“Dengan perencanaan matang, kita akan memiliki argumen yang kuat apa yang harus diperbaiki, tujuannya apa, dan solusinya bagaimana,” katanya. Apalagi, ucap Piter, reformasi sektor keuangan sudah selayaknya melibatkan banyak pihak. Dia meminta pemerintah tidak mengulang dosa penyusunan RUU Omnibus Law yang digarap secara tergesa-gesa dan tidak menggandeng banyak pihak. Akhirnya, penggodokan aturan itu memunculkan kegaduhan.
<!--more-->
Setali tiga uang dengan Piter, Ekonom senior dari Indef, Drajad Wibowo, menilai langkah pemerintah untuk menerbitkan Perpu Reformasi Sistem Keuangan tak logis. Menurut dia, aturan ini malah bakal menciptakan diktator di bidang fiskal dan moneter. Artinya, mekanisme kontrol dari aparatur hukum dan lembaga legislatif nihil.
Drajad menilai pemerintah panik menghadapi situasi krisis. “Kalau pemerintah jadi menerbitkan Perpu Reformasi Sistem Keuangan, akan memberikan kesan bahwa pemerintah sedang bingung dan panik menghadapi krisis,” ujar Drajad.
Mantan anggota DPR dari Fraksi PAN itu menyatakan penerbitan aturan justru akan membahayakan kondisi moneter dan keuangan. Musababnya, menurut dia, tidak ada satu negara pun yang merombak sistem otoritas moneter dan keuangan di tengah krisis karena pandemi.
Drajad menyebut negara-negara dengan kontraksi pertumbuhan ekonomi yang cukup dalam pun tetap konsisten dengan sistem keuangannya, seperti Singapura, Malaysia, Australia, Amerika Serikat, Jepang, Taiwan, Selandia Baru, Kanada, dan Cina. Inggris, tutur dia, pernah merombak sistem keuangannya. Namun, kebijakan tersebut dilakukan pada 2013, yakni kala negara tidak sedang mengalami goncangan.
Dengan demikian, ia memandang perombangan sistem keuangan bukan termasuk kategori international best practice. “Malah kalau membaca rancangan awal desain perpu, independensi otoritas moneter akan dipangkas. Independensi otoritas moneter keuangan international best practice,” ucapnya.
Drajad menilai, semestinya di tengah krisis, pemerintah bukan mengambil jalan merancang perpu sebagai solusi . Melainkan penguatan lembaga-lembaga keuangan seperti Lembaga Penjamin Simpanan atau LPS. Dia juga mendorong pemerintah merampingkan proses perampingan bank-bank bermasalah.
<!--more-->
Kolega Drajad di Indef, Aviliani, meminta pemerintah mengkaji ulang rencana penerbitan beleid itu. Ia khawatir perpu itu malah akan menyebabkan gejolak pasar, seperti yang sudah terjadi di Turki.
“Apa yang terjadi ya akan seperti Turki, banyak keluarkan perpu dan pasar lihat ada ketidakstabilan pemerintah,” ujar Aviliani. Menurut Aviliani, semestinya pemerintah tidak selalu mengkategorikan pelbagai keadaan ke kondisi darurat dan menggonta-ganti aturan agar stabilitas pasar terjaga.
Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perhimpunan Bank Nasional ini melanjutkan, seumpama aturan yang berlaku akan direvisi, pemerintah seharusnya tidak menempatkan lembaga hanya sebagai koordinator. Lembaga-lembaga keuangan, kata dia, sebaiknya bisa memiliki kewenangan untuk memutuskan opsi-opsi kebijakan.
Aviliani menyarankan pemerintah membereskan lebih dulu aturan-aturan tiap lembaga. Ia mencontohkan peraturan Lembaga Penjamin Simpanan yang seharusnya bukan lagi hanya mengatur pinjaman, tapi juga bantuan. “Jadi Perppu saya rasa tidak menjadi solusi saat ini. Kalau diganggu berbagai isu seperti ini, saya khawatir market berperilaku negatif sehingga berpengaruh ke pasar uang, nilai dan lain-lain,” katanya.
Anggota Komisi XI sekaligus anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi PDIP Hendrawan Supratikno mengatakan wacana perombakan sistem keuangan tidak mesti dilakukan lewat penerbitan perppu. “Tidak harus perpu,” katanya. Menurut dia ada berbagai pilihan regulasi yang bisa diusulkan.
Dalam materi penataan sektor keuangan tertarikh 30 Agustus 2020 yang diterima Tempo, Hendrawan menyebut bahwa usulan itu bisa berwujud revisi Undang-undang BI diikuti revisi UU OJK dan LPS dengan masa pembahasan hingga penetapan 1-2 tahun. Opsi lainnya adalah pengajuan penataan dan penguatan sektor keungan dengan metode Omnibus yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional 2020-2024 dan diperkirakan kelar dalam 9-12 bulan.
Lantaran Perpu Reformasi Sistem Keuangan dikhawatirkan bisa menimbulkan sentimen pasar, DPR lalu menyorongkan usulan revisi UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI. Usul ini sudah disepakati bersama antara, DPR, pemerintah dan Panitia Perancang Undang-undang Dewan Perwakilan Daerah untuk masuk ke Prolegnas prioritas 2020.
<!--more-->
Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi mengatakan perubahan pertama yang diusulkan berkaitan dengan perluasan fungsi BI yang selama ini hanya menjaga tingkat inflasi dan kestabilan nilai tukar rupiah. Di tengah kondisi yang luar biasa, DPR ingin BI berbagi beban dengan pemerintah untuk mengakselerasi pertumbuhn ekonomi.
“Dalam pemulihan ekonomi, kami melihat pemerintah berjalan sendirian. Otoritas moneter tidak bisa bertindak karena fungsinya dibatasi oleh undang-undang,” katanya. Poin lainnya menyangkut wacana lama tentang pengembaluan tugas dan wewenang OJK kepada BI. DPR pun juga mengusulkan pembentukan dewan moneter dalam revisi UU BI.
Baik Kementerian Keuangan, BI, OJK, maupun LPS kompak belum ingin menanggapi lebih jauh soal perombakan aturan bank sentral dan kelanjutan Perppu Reformasi Sistem Keuangan. “Sebaiknya ditunggu saja keterangan resmi,” kata Juru Bicara Kementerian Keungan, Yustinus Prastowo.
Sedangkan Ketua Dewan LPS Halim Alamsyah melemparkan jawaban itu ke kementerian terkait. “Topik perpu sebaiknya ditanyakan ke kementerian saja,” ucapnya. Tak jauh beda dengan jawaban Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Onny Widjanarko: “Mohon maaf belum dapat memberikan komentar, kita ikuti saja prosesnya.”
FRANCISCA CHRISTY ROSANA | GHOIDAH RAHMAH