Memacu Ekspor, Memasang Kuda-kuda di Tubir Jurang Resesi Ekonomi
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Kamis, 20 Agustus 2020 18:08 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Nada sumringah itu keluar dari pernyataan Benny Soetrisno. Ketua Umum Gabungan Perusahaan Eksportir Indonesia ini menanggapi moncernya pengumuman Badan Pusat Statistik (BPS) soal surplus neraca perdagangan per Juli lalu. Ia menilai data itu menunjukkan ekspor sektor industri pengolahan serta impor barang modal pada Juli lalu merupakan sinyal kuat bahwa industri manufaktur Tanah Air mulai menggeliat.
Hal ini juga sebagai pertanda bahwa hilirisasi produk mulai dilirik oleh pelaku usaha di dalam negeri. “Saya melihat kondisi ini sebagai sinyal positif untuk perdagangan selanjutnya. Ada hilirisasi yang dilakukan, terutama pada produk pertanian dan pertambangan,” kata Benny ketika dihubungi, Selasa, 17 Agustus 2020.
Adalah data BPS yang menyebutkan bahwa neraca dagang Indonesia sepanjang Juli mengalami surplus sebesar US$ 3,26 miliar yang kemudian membuat Benny bungah. Angka ini adalah surplus terbaik sepanjang sembilan tahun terakhir.
Surplus berasal dari peningkatan ekspor non-migas sebesar 13,86 persen atau dari US$ 11,4 miliar pada bulan sebelumnya menjadi US$ 13 miliar. Ekspor migas juga tercatat mengalami kenaikan sebesar 23,77 persen dari US$ 569,3 juta menjadi US$ 704,7 juta.
Melonjaknya kinerja ekspor migas didorong oleh naiknya ekspor minyak mentah sebesar 84,9 persen menjadi US$ 113,3 juta dan ekspor gas 24,03 persen menjadi US$ 439,2 juta. Meski ekspor hasil minyak turun 1,16 persen; total kinerja pengiriman komoditas ke luar negeri telah ditopang oleh perdagangan lemak dan minyak hewan atau nabati yang mengalami peningkatan 17,34 persen atau US$ 247,9 juta.
Di subsektor lain, ekspor kendaraan dan bagiannya meningkat 45,65 persen menjadi US$ 144,3 juta. Sedangkan besi dan baja naik 18,96 persen menjadi US$ 134,3 juta. Lebih lanjut, ekspor mesin serta perlengkapan elektrik naik 13,73 persen menjadi US$ 96,0 juta.
<!--more-->
Sementara itu, dari sektor non-migas, peningkatan terbesar terjadi pada logam mulia dan perhiasan/permata yang mencapai 79,79 persen menjadi US$ 452,7 juta (79,79 persen). Meski demikian, ada subsektor yang mengalami penurunan, yakni bijih, terak, dan abu logam sebesar 33,07 persen menjadi US$ 100,5 juta.
“Untuk penurunan impor bahan baku saya kira karena beberapa bahan baku bisa diperoleh di dalam negeri. Misal dari sektor tekstil, ada safeguard pada bahan baku yang bisa diproduksi di dalam negeri,” ujar Benny.
Lebih jauh Benny menjelaskan, kenaikan impor barang modal bisa menjadi pertanda adanya ekspansi oleh industri dalam negeri. Kehadiran barang modal bisa pula menjadi pendorong penambahan nilai bahan baku dan mendorong serapan tenaga kerja.
Benny tak sendirian. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sekaligus Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Erick Thohir mengatakan surplus neraca perdagangan menunjukkan Indonesia masih mampu mendorong potensi pasarnya di tengah pandemi.
"Banyak yang mengira ketika Covid-19 mulai (mewabah), kita negara yang akan runtuh duluan. Tapi kalau kita lihat BPS, neraca dagang malah membaik, ternyata defisit (perdagangan) kita yang jelek jadi bagus, negara tidak bubar, dan tidak kelaparan," kata Erick.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Kasan menyebutkan pemerintah terus memacu kinerja ekspor untuk membangkitkan sektor perdagangan yang hampir terkulai ini. Di tengah ancaman resesi yang semakin nyata, Kementerian Perdagangan harus menyusun dua skenario jarak pendek hingga menengah guna menangkap peluang tersebut.
“Kami berharap peningkatan ekspor berlanjut sehingga dapat kembali ke kondisi normal. Namun kondisi dunia yang masih belum sepenuhnya pulih, menyebabkan permintaan belum normal,” tuturnya kepada Tempo, Kamis, 20 Agustus 2020.
<!--more-->
Kementerian Perdagangan memetakan strategi untuk memacu ekspor ke dalam dua pendekatan, yakni pendekatan produk dan pendekatan pasar. Dari sisi pendekatan produk, Kementerian mengoptimalkan potensi subsektor yang tumbuh positif selama pandemi, yaitu makanan dan minuman olahan serta alat-alat kesehatan.
Selanjutnya, pemerintah melirik produk yang kembali pulih pasca-pandemi, yakni otomotif, tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki, elektronik, serta besi baja. Kemudian, produk yang muncul akibat pandemi turut menjadi perhatian. Komoditas ini meliputi produk farmasi serta produk ekspor baru yang merupakan hasil relokasi industri dari beberapa negara.
Adapun, dari segmen pendekatan pasar, Kasan menyebut pemerintah bakal berfokus menyasar negara yang telah pulih dari pandemi seperti Australia, Selandia Baru, Uni Eropa, Inggris, Kerman, Italia, dan Prancis. Ada juga negara lainnya yang tengah dibidik, yaitu Timur Tengah seperti Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Kuwait, dan Qatar; juga kawasan Afrika seperti Aljazair dan kawasan Amerika, seperti Kanada dan Meksiko.
Pemerintah pun masih akan menggenjot ekspor ke Cina, Amerika Serikat, dan Jepang yang sampai saat ini menyumbangkan kontribusi besar bagi arus perdagangan ketimbang negara lain. Pada Juli 2020, ekspor ke Cina mencapai US$ 2,5 miliar naik 4,0 persen secara month to month. Lantas diikuti Amerika Serikat dengan nilai ekspor US$ 1,6 miliar atau naik 17,1 persen dan Jepang sebesar US$ 1,1 miliar atau naik 6,4 persen.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkit mengatakan negara perlu mendorong komoditas ekspor berdasarkan sektor dan negara tujuannya. Ia mengakui pada Juli lalu, ekspor non-migas tercatat moncer sehingga potensi ini bisa dioptimalkan.
“Eskpor non-migas tinggi karena daya saingnya dan secara global demand meningkat dengan dibukanya ekonomi di hampir seluruh belahan ekonomi dunia,” tutur dia kepada Tempo, Kamis, 20 Agustus.
Peningkatan ekspor komoditas non-migas paling besar dibanding bulan sebelumnya ialah logam mulia, perhiasan/permata ke Swiss, Singapura, Jepang. Kemudian, lemak dan minyak hewan nabati ke Cina, India, Pakistan, Lalu kendaraan dan bagiannya ke Filipina, Vietnam, dan Jepang; besi dan baja ke Cina, Taiwan, Malaysia; serta mesin dan perlengkapan elektrik ke Amerika Serikat, Singapura, dan Jepang.
<!--more-->
Dia merinci, peluang ekspor non-migas yang dapat ditangkap ke depan meliputi tanaman obat aromatik dan rempah-rempah, sarang burung, kopi, sayuran, dan biji kakao. Kemudian, industri pengolahan meliputi logam dasar mulia, minyak kelapa sawit, besi baja, pakaian jadi, serta kendaraan bermotor roda empat dan lebih.
Meski neraca perdagangan menunjukkan tren positif, Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad memperkirakan bakal sulit menghindarkan Indonesia dari ancaman resesi pada kuartal III mendatang. Sebab, pada kuartal II lalu, pertumbuhan ekonomi negara sudah terpuruk di palung yang curam, yakni -5,3 persen. Namun, ia mengatakan masih ada peluang bahwa resesi tidak akan terlampau dalam bila pemerintah bisa menambal kinerja ekspor-impor; juga konsumsi, investasi, dan belanja negara.
Kinerja ekspor bisa dipacu dengan pendekatan kerja sama dengan negara-negara yang memiliki potensi seperti Swiss. “Ekspor kita kemarin ke Swiss melonjak tinggi. Padahal biasanya Cina, Amerika, Singapura adalah yang porsinya terbesar. Ternyata di Swiss, komoditas kita seperti minyak nabati dan produk kerajinan diminati,” katanya.
Indonesia juga bisa melihat peluang dari negara-negara eksportir yang sedang menahan ekspornya untuk memenuhi konsumsi dalam negeri. Ia pun menyarankan pemerintah segera melakukan renegosiasi terhadap berbagai negara.
Sementara itu, untuk menjaga stabilitas produksi dalam negeri, Indonesia juga harus menjaga hubungan baik dengan negara-negara pengimpor, seperti Cina. Indonesia, kata Tauhid, bisa memanfaatkan momentum ini sekaligus untuk menangkap peluang relokasi industri yang dapat memperkuat basis ekspor.
“Caranya harus jor-joran kasih insentif agar kita bisa bersaing dengan Vietnam,” ucapnya. Di samping itu, ia mendesak pemerintah untuk menjaga basis ekstraksi sumber daya alam. Produk-produk yang diekspor nantinya harus berorientasi pada komoditas yang memiliki nilai tambah yang tinggi dan tidak melulu menggerogoti sumber data.
Tauhid mengakui, saat ini perdagangan global cukup terganggu karena beberapa negara sudah mengalami resesi. Thailand, misalnya. Negara Gajah Putih ini mengkonfirmasi masuk jurang resesi setelah mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi sebesar -12,2 persen. Padahal, Thailand menempati porsi ekspor 4,8 persen dari total perdagangan Indonesia.
<!--more-->
Hal senada disampaikan ekonom Indef, Bhima Yudhistira. Ia mengatakan surplus neraca perdagangan Juli 2020 bukan menjadi indikator satu-satunya bahwa pertumbuhan ekonomi akan membaik karena kondisi ini dipicu oleh anjloknya impor bahan baku hingga -34,4 persen dan impor barang modal -29,2 persen. Sedangkan kinerja ekspor di bulan yang sama secara total tercatat – 9,9 persen.
Dengan begitu, kinerja perdagangan Juli 2020 tak dapat menggaransi bahwa Indonesia bakal selamat dari jurang resesi. Untuk menjauhkan Indonesia dari tubir jurang resesi, kata Bima, negara bisa memulihkan konsumsi dan memperbaiki permintaan. Konsumsi diyakini akan naik bila 40 persen masyarakat kelas menengah dan 20 persen masyarakat kelas atas yakin untuk berbelanja. Sebab, kedua kelompok itu menguasai 82,1 persen belanja nasional.
Guna meyakinkan masyarakat untuk membelanjakan uangnya, Bhima berujar pemerintah harus menjamin keamanan mereka di pusat perbelanjaan. “Bagaimana mau belanja sedangkan mereka khawatir keselamatan dirinya. Ada ongkos biaya kesehatan yang jadi trade off dengan aktivitas konsumsi di pusat perbelanjaan,” ucapnya.
Adapun Direktur Riset Center of Reform on Economics atau Core Indonesia Piter Abdullah mengatakan pemerintah bisa mendorong aktivitas ekonomi asal wabah lebih dulu diselesaikan. Musababnya, selama pandemi masih melanda, pelbagai kegiatan ekonomi masih akan dibatasi.
“Investasi dan konsumsi masih akan terkontraksi. Kalau konsumsi dan investasi terkontraksi, pertumbuhan ekonomi akan negatif. Resesi tidak terelakkan,” katanya. Ia pun meminta pemerintah tidak berpuas dengan surplus neraca perdagangan yang dicatatkan BPS. Sebab, menurut Piter, surplus neraca perdagangan tidak berhubungan dengan ancaman resesi.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA | LARISSA HUDA
Baca juga: Neraca Dagang Surplus, Erick Thohir: Banyak yang Mengira Kita Runtuh Duluan