Gertak Kabinet Tersebab Covid-19
Reporter
Egi Adyatama
Editor
Endri Kurniawati
Senin, 29 Juni 2020 14:10 WIB
Burhanuddin melihat teguran dan gertakan reshuffle dari Jokowi ini sebenarnya terkesan terlambat. Kinerja kabinet, khususnya Kementerian Kesehatan dalam menghadapi Covid-19, sejak awal sudah bermasalah.
"Beberapa bulan terakhir, Menkes juga 'tidak terlihat' di publik. Kenapa baru sekarang padahal indikasi kinerja Menkes dan beberapa kementerian yang lain sudah terlihat melempem sejak krisis ini menerpa," ujar Burhanuddin.
Bahkan dalam pidato itu, Jokowi juga mengatakan siap melakukan apapun untuk mendukung langkah serius dari menterinya, dalam menangani Covid-19. Termasuk jika perlu mengeluarkan Peraturan Presiden, untuk memudahkan regulasi. Jokowi menyatakan siap mempertaruhkan reputasi politiknya, demi hal ini.
Burhanuddin enggan menanggapi terlalu banyak mengenai hal ini. Pernyataan itu tak bisa dia nilai sebagai sinyal dari langkah berisiko Jokowi mengambil kebijakan yang tak sesuai dengan partai pengusungnya. "Lebih kompleks urusannya jika terkait dengan menteri yang berasal dari partai politik karena harus 'berdiskusi' dengan partai pengusung."
Meski begitu, Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menilai pidato kemarahan Presiden Joko Widodo kepada jajaran kabinetnya tak tepat waktu. Ia menyebut di tengah pandemi Covid-19, pidato yang mengkritisi kinerja para menteri terhadap penanganan wabah tersebut justru dapat memperkeruh situasi.
"Sekarang tentu mungkin bukan waktu yang tepat bagi Presiden untuk menggertak. Yang kita butuhkan sekarang adalah tindakan konkrit dari Presiden terutama untuk mengevaluasi itu. Apa evaluasi dia," kata Arya saat dihubungi Tempo.
Arya menilai dengan ucapannya itu, Jokowi memang menegaskan bahwa para menterinya harus bekerja lebih keras. Namun pembahasan perombakan kabinet ini justru disebut Arya memunculkan banyak spekulasi politik. Dalam situasi krisis, spekulasi politik akan sangat mengganggu kinerja penanganan Covid-19.
Jika serius ingin merombak kabinet, Arya menyarankan Jokowi melakukannya langsung tanpa menggertak. Cukup dengan menggelar rapat evaluasi terbatas secara tertutup dan kemudian langsung kemudian diumumkan siapa saja yang terkena reshuffle. Jika seperti ini, Arya melihat para menteri justru tak konsentrasi bekerja. Kemungkinan perombakan kabinet membuat mereka menjadi berfokus pada manuver politik, ketimbang memperbaiki kinerja.
"Menteri-menteri yang mungkin merasa kinerjanya kurang baik akhirnya membangun manuver untuk menyelamatkan diri. Entah itu pendekatan ke partai, pendekatan ke orang ke sekitar Presiden, pendekatan ke Ketua Umum. Itu terlalu berisiko. Harusnya kongkrit saja," kata Arya.
Jokowi seharusnya belajar dari pengalaman perombakan kabinet terdahulu. "Reshuffle pertama, kedua, ketiga, kisruhnya yang panjang. Dramanya yang panjang."