Peliknya Mengurai Benang Kusut Data Penerima Bantuan Sosial
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Rabu, 24 Juni 2020 18:55 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Benang kusut data penerima bantuan sosial harus segera diurai agar program pemerintah untuk perbaikan ekonomi masyarakat tepat sasaran. Persoalan data yang tak lekas tuntas disampaikan Ketua Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat Yandri Susanto kepada Menteri Sosial Juliari Batubara.
Ia meminta perkara data kemiskinan rampung di era kepemimpinan Juliari, sehingga penyaluran bantuan bisa selesai dan efektif.
"Contoh di Cianjur ada 2.000 nama penerima bantuan yang tidak bisa dikonfirmasi. Ini harus diperbaiki," ujar Yandri dalam Rapat Kerja bersama Kementerian Sosial, Rabu, 24 Juli 2020. Selain Yandri, Ketua DPR Puan Maharani juga mengevaluasi daftar penerima bantuan sosial.
Ia mengatakan pemerintah perlu melakukan perbaikan dan sinkronisasi data. Komisi VIII DPR telah membentuk Panitia Kerja Validasi dan Verifikasi Data Kemiskinan untuk bersama Julian. Puan berharap pembagian bansos di bulan Juli hingga September 2020 bisa berjalan lebih baik.
Anggota Ombudsman Ahmad Suaedy mengatakan bahwa hingga 21 Juni 2020, lembaganya telah menerima 1.269 pengaduan daring dari masyarakat terdampak Covid-19. Dari jumlah tersebut, 704 aduan masuk terkait dengan paket sembako, 24 aduan soal Program Keluarga Harapan, 24 aduan soal kartu prakerja, 486 aduan soal Bantuan Langsung Tunai, dan 31 aduan soal listrik PLN.
Salah satu aduan sempat masuk dari seorang warga bernama Soraya asal Jakarta Raya. Ia mengadu kepada Ombudsman lantaran merasa layak mendapatkan bantuan sosial sembako, namun namanya tidak terdaftar di pemerintah.
Laporan juga masuk dari warga bernama Nur, seorang ibu rumah tangga yang bekerja sebagai pengemudi ojek online. Dalam laporannya kepada Ombudsman, ia mengaku mengalami penurunan penghasilan selama pagebluk. Namun, namanya tidak terdaftar sebagai penerima bantuan, meski sudah menyerahkan berkas pendaftaran sebagai penerima bansos.
Setiap pekan di hari Jumat, Ombudsman merekapitulasi aduan-aduan yang masuk. Semua data direkapitulasi dan dikirimkan kepada Kementerian Sosial dan Kementerian Desa untuk ditindaklanjuti. Selanjutnya, Ombudsman akan mengawasi hasil tindaklanjutnya pada satu pekan setelahnya.
Ahmad merangkum lima persoalan yang menyebabkan penyaluran bansos belum tepat sasaran. Pertama, adalah perkara data yang validasinya harus terus dilakukan. Kedua, soal kejelasan informasi kepada masyarakat yang masih kurang. Ketiga, pengawasan yang perlu diperketat hingga ke tataran RT, RW, atau Desa.
Selain itu, persoalan lainnya kerap ada penyimpangan di aparat, termasuk intimidasi bila ada warga yang melaporkan keluhan.
Terakhir, muncul persoalan dari pengurus RT dan RW yang mengutip dana bansos tersebut. Para pengurus ini berdalih tidak adanya dana operasional saat menyalurkan bantuan. "Memang karena situasinya darurat, seharusnya ada perangkat pengawasan tanpa harus terjun ke lokasi karena PSBB," ujar Ahmad.
<!--more-->
Hingga akhir pekan lalu, Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara Inspektur Jenderal Martuani Sormin menemukan adanya enam kasus dugaan penyelewengan dana bantuan sosial (bansos) Covid-19. "Iya benar, sedang kami pelajari oleh Direktorat Kriminal Khusus," ujar Martuani saat dihubungi. Sementara itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal Awi Setiyono menuturkan, selain enam kasus di Sumatera Utara, kepolisian juga menemukan dua kasus penyelewengan dana bansos di Banten.
Awi menuturkan, modus dari kasus-kasus tersebut adalah dengan adanya pemotongan dana sebesar Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu. Kendati demikian, untuk kasus dengan nilai kerugian kecil, akan diselesaikan dengan mediasi.
Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial Hartono Laras mengatakan penyaluran berbagai program bantuan sosial memang berpotensi lambat, bahkan tak tepat sasaran. Namun, dia mengatakan dalam perkembangannya, khususnya dalam situasi wabah corona seperti ini, pemerintah terus berupaya menyalurkan bantuan sosial dengan baik.
Selama ini penyaluran bantuan sosial bersumber dari data terpadu kesejahteraan sosial. Namun data tersebut disuplai oleh dinas sosial pemda. Permasalahannya tak semua dinas rajin memperbarui data tersebut. Pun jika rajin, sering kali data tersebut memiliki jarak waktu hingga tiga bulan sebelumnya, sebelum disetor ke Kementerian Sosial. “Kami juga buka sistem pengaduan yang bisa diakses kapan saja,” katanya.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, mengatakan ada 20 juta nama penerima bantuan sosial (bansos) yang belum sinkron dengan nomor induk kependudukan (NIK). Karena itu, masa pandemi Covid-19 ini diharapkan menjadi momen bagi perbaikan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Ia mengatakan pemerintah akan merapikan adanya data tersebut baik verifikasi kesahihan maupun data baru yang berasal dari Rukun Tetangga (RT)/Rukun Warga (RW).
Berdasarkan data yang dipaparkan Kementerian Sosial, realisasi Program Keluarga Harapan bulan April, Mei, dan Juni sudah mencapai 100 persen. Sedangkan realisasi penyaluran bansos tunai untuk warga, belum mencapai 100 persen. Tercatat, penyaluran tahap 1 baru mencapai 88,1 persen dan tahap 2 baru 87,33 persen. Sedangkan penyaluran tahap 3 direncanakan dilakukan pada pekan ketiga Juni 2020.
Juliari mengatakan kendala dalam penyaluran bansos tunai tersebut antara lain masih ada daerah yang belum memenuhi kuota, adanya daerah yang meminta penundaan penyaluran, penyaluran di daerah terpencil, jumlah loket pembayaran terbatas, serta keterbatasan dalam antrean lantaran adanya protokol Covid-19.
<!--more-->
Juliari menuturkan persoalan penyaluran bansos menjadi pelik lantaran pemerintah daerah diberi kesempatan untuk mengusulkan nama penerima bansos di luar DTKS. "Akhirnya mulai keluar dinamika yang kadang disebut tidak tepat sasaran."
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan tidak sinkronnya data adalah permasalahan utama penyaluran bantuan sosial selama ini. Pasalnya, tidak ada lembaga yang menjadi acuan utama soal data untuk penyaluran bantuan sosial tersebut. Sehingga data di setiap kementerian atau lembaga, kerap berbeda-beda dan datanya tidak mutakhir.
Menurut Agus, seharusnya sinkronisasi data lebih mudah dilakukan di satu lembaga di era digital saat ini. Misalnya, dengan mengumpulkan data dari tataran RT, RW, dan terus hingga ke tingkat nasional. Data tersebut pun kemudian bisa dipadankan atau diverifikasi dengan data kependudukan melalui digitalisasi teknologi.
Ekonom senior Didik J Rachbini mengatakan pemerintah harus segera menertibkan carut marutnya data penerima bantuan sosial ini. Bila penyaluran tidak tepat sasaran, ia khawatir semakin banyak masyarakat jatuh miskin akibat program pemerintah yang tidak efektif.
"Kalau begini kan orang miskin akan bertambah banyak, misalnya kemarin dengan Covid-19 tiga bulan itu rakyat di bawah semakin menderita kalau tidak terproteksi, yang miskin akan tambah banyak dan kesehatan bisa tambah buruk," ujar Didik.
CAESAR AKBAR | ANDI IBNU | EGI ADYATAMA