UU Keamanan Nasional: Upaya Paksa Menundukkan Hong Kong

Selasa, 26 Mei 2020 14:55 WIB

Petugas kepolisian berjaga-jaga saat demonstran anti-pemerintah melakukan aksi unjuk rasa di Hong Kong, 24 Mei 2020. REUTERS/Tyrone Siu

TEMPO.CO, Jakarta - Hong Kong, lagi-lagi, dibuat gempar oleh Cina. Belum kelar urusan hukum ekstradisi yang memicu berbagai unjuk rasa, Cina sudah melempar isu baru. Isu tersebut adalah Undang-undang Keamanan Nasional Hong Kong yang dibunyikan oleh Parlemen Cina pada Jumat pekan lalu.

UU Keamanan Nasional Hong Kong memang belum ada wujudnya hingga sekarang. Alih-alih sudah ada rancangannya, mulai dibahas pun belum. Cina baru memiliki draft resolusi saja terkait regulasi tersebut. Walau begitu, resolusi yang ada sudah berhasil membuat warga Hong Kong dan penggiat demokrasi panas dingin.

Dikutip dari South China Morning Post, ada empat hal yang akan menjadi pondasi dari UU Keamanan Nasional Hong Kong. Mereka adalah Secession, Subversion, Terrorism, dan Intervention. Secession adalah upaya memisahkan diri dari Hong Kong. Subversion, berbicara tentang upaya menentang otoritas pemerintah pusat. Selanjutnya, Terrorism, berkaitan dengan kekerasan terhadap warga Hong Kong. Sementara itu, untuk Intervention, berkaitan dengan intervensi asing.

Di atas kertas, keempat hal tersebut tampak sah-sah saja diberlakukan. Keempatnya memang berkaitan dengan keamanan. Namun, di mata warga Hong Kong, keempat pondasi itu adalah lampu kuning. Mereka khawatir keempatnya mengacu pada standar yang diterapkan oleh Cina, bukan Hong Kong. Dengan kata lain, Cina ditakutkan akan memperlakukan warga Hong Kong seperti bagaimana mereka memperlakukan warganya sendiri selama ini.

Cina memang dikenal sangat keras terhadap warga-warganya. Berbagai cara dilakukan untuk memastikan warganya tidak mengkritisi pemerintah. Beberapa di antaranya mulai dari menguasai saluran-saluran publik seperti media hingga memperkarakan mereka yang mencoba menguak praktik buruk pemerintah. Sebagai contoh, ketika wabah virus Corona meledak, dokter-dokter yang ingin memperingatkan warga dibungkam. Sementara itu, wartawan yang mengkritisi penanganan pandemi Corona ditangkap tanpa alasan yang jelas.

Warga Hong Kong, selama ini, tidak pernah mengalami perlakuan serupa. Mereka bebas menggelar unjuk rasa dan mengkritisi kinerja pemerintah. Ketika hukum ekstradisi ke Cina diperkenalkan, misalnya, warga bisa dengan cepat menggelar demonstrasi untuk memprotesnya. Jika UU Keamanan Nasional Hong Kong berlaku, kemungkinan unjuk rasa tidak bisa lagi digelar karena sudah masuk dalam koridor Subversion, menentang pemerintah.

"Warga Hong Kong bisa dihukum hanya karena mengkritisi Beijing, sebagaimana terjadi di Cina. Di Cina, hal tersebut (kritik) akan dilihat sebagai subversion," ujar pakar politik Cina, Willy Lam.

Ada banyak hal-hal lain yang juga dikhawatirkan. Selain masalah kebebasan berpendapat, ada juga masalah warga Hong Kong tidak bisa lagi meminta bantuan kepada luar negeri. Hal itu berpotensi dianggap memenuhi unsur Intervention. Mereka yang dianggap melanggar UU Keamanan Nasional Hong Kong juga dikhawatirkan akan disidang secara tertutup.

"Hampir semua persidangan kasus di Cina yang berkaitan dengan keamanan nasional digelar secara tertutup. Tidak pernah jelas apa tuduhannya, apa yang dilanggar, dan apa buktinya. Definisi 'Keamanan Nasional' itu sendiri sangat kabur," ujar Professor Johannes Chan, sebagaimana dikutip dari Yahoo News.

Mumpung UU Keamanan Nasional Hong Kong belum jadi, warga memanfaatkan momen yang tersisa untuk menggelar unjuk rasa. Ahad kemarin, ribuan warga turun ke jalan, memprotes rencana UU Keamanan Nasional Hong Kong. Unjuk rasa tersebut menjadi unjuk rasa terbesar pertama sejak demonstrasi hukum ekstradisi Cina yang berlangsung tahun lalu.

Sebanyak 200 demonstran ditangkap di peristiwa tersebut atas tuduhan mengganggu ketertiban umum dan unjuk rasa tanpa izin. Jika UU Keamanan Nasional Hong Kong berlaku, mereka bisa dianggap melakukan subversi. Walau begitu, mereka tidak menyerah. Pekan ini, mereka akan menggelar unjuk rasa serupa.

Demonstran anti-pemerintah berlarian saat melakukan aksi unjuk rasa di Hong Kong, 24 Mei 2020. REUTERS/Tyrone Siu

Kepala Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, mencoba memadamkan panasanya reaksi warga. Kepada mereka, Ia mengklaim bahwa UU Keamanan Nasional Hong Kong tidak akan membungkam kebebasan berpendapat. Lam, yang berkomitmen menggolkan UU Keamanan Nasional, bahkan mengatakan bahwa Hong Kong masih akan memiliki independensi dalam kapasitas tertentu.

"Dalam 23 tahun terakhir, setiap kali warga khawatir angka kebebasan berpendapat di Hong Kong, hal itu tidak pernah terbukti. Berkali-kali Hong Kong berhasil membuktikan bahwa kami menjaga nilai-nilai tersebut," ujar Lam yang meminta warga untuk tidak bereaksi hingga rancangan legislasi keluar. Rencananya, UU Keamanan Nasional akan dibahas di parlemen pada pekan ini.

Walau Lam berusaha memadamkan ketegangan dengan menyakinkan akan tetap ada kebebasan berpendapat, administrasinya tidak kompak. Sejumlah pejabat Hong Kong memandang pengunjuk rasa sebagai antagonis dan ancaman terhadap keamanan nasional Hong Kong.

Menteri Keamanan John Lee, misalnya, menyatakan bahwa UU Keamanan Nasional Hong Kong justru dibutuhkan dengan semakin banyaknya unjuk rasa. Menurutnya, jika unjuk rasa anti-pemerintah tersebut tidak diatur, bisa berkembang menjadi terorisme. Lee bahkan menyebut para pengunjuk rasa merusak citra Hong Kong di mata internasional.

"Terorisme dan aktivitas-aktivitas berbahaya lainnya tengah berkembang di kota ini yang mampu mengancam keamanan nasional. Salah satu contohnya, unjuk rasa 'Kemerdekaan Hong Kong' yang semakin ganas," ujar Lee sebagaimana dikutip dari kantor berita Reuters

Cina sesungguhnya tidak harus turun tangan dalam menbuat UU Keamanan Nasional Hong Kong tersebut. Hong Kong, di satu sisi, tidak perlu takut terhadap Cina dan konsisten menggarap hukum itu sendiri. Dasar hukumnya jelas, namun Pemerintah Hong Kong malah menurut pada Cina.

Ketika Hong Kong menjadi bagian dari Cina di tahun 1997, keduanya membuat konstitusi mini yang diberi nama 'Hukum Dasar'. Aturan itu mengatur prinsip "Satu Negara, Dua Sistem" yang sekarang dianut Hong Kong. Di dalamnya termuat kewajiban Hong Kong membuat aturan Keamanan Nasional. Hal itu tercantum di pasal 23 yang menegaskan bahwa aturan Keamanan Nasional dibuat oleh Hong Kong sendiri.

Hong Kong sudah mencoba membuatnya di tahun 2003, namun tidak berujung hasil. Warga, seperti yang terjadi sekarang, menentangnya dengan keras. Sifatnya yang tidak populer membuat Pemerintah Hong Kong takut untuk menerapkannya. Karena 'Hukum Dasar' dibuat oleh Cina dan Hong Kong, Cina menganggap bisa mengambil alih. Cina sendiri sudah gerah dengan unjuk rasa di Hong Kong yang selalu menyasar mereka.

Jika upaya Cina hendak diperdebatkan, maka kuncinya ada pada "Hukum Dasar" tersebut.

ISTMAN MP | REUTERS | SOUTH CHINA MORNING POST


Berita terkait

Tak Hanya India, Jepang Juga Kecewa Atas Komentar Joe Biden tentang Xenofobia

5 jam lalu

Tak Hanya India, Jepang Juga Kecewa Atas Komentar Joe Biden tentang Xenofobia

Pemerintah Jepang menanggapi komentar Presiden AS Joe Biden bahwa xenofobia menjadi faktor penghambat pertumbuhan ekonomi di Cina, India dan Jepang.

Baca Selengkapnya

Menlu India Tak Terima Komentar Joe Biden tentang Xenofobia

10 jam lalu

Menlu India Tak Terima Komentar Joe Biden tentang Xenofobia

Menteri Luar Negeri India menolak komentar Presiden AS Joe Biden bahwa xenofobia menjadi faktor yang menghambat pertumbuhan ekonomi negaranya.

Baca Selengkapnya

Soal Internet di Cina, Kampanye Larangan Tautan Ilegal hingga Mengenai Pendapatan Periklanan

11 jam lalu

Soal Internet di Cina, Kampanye Larangan Tautan Ilegal hingga Mengenai Pendapatan Periklanan

Komisi Urusan Intenet Pusat Cina telah memulai kampanye nasional selama dua bulan untuk melarang tautan ilegal dari sumber eksternal di berbagai media

Baca Selengkapnya

Dugaan Ekspor Nikel Ilegal sebanyak 5,3 Juta Ton ke Cina, KPK: Masih Cari Alat Bukti

11 jam lalu

Dugaan Ekspor Nikel Ilegal sebanyak 5,3 Juta Ton ke Cina, KPK: Masih Cari Alat Bukti

Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata mengaku tidak mengetahui ihwal penyidik meminta Bea Cukai untuk paparan dugaan ekspor nikel ilegal ke Cina.

Baca Selengkapnya

Penanganan Polusi Udara, Peneliti BRIN Minta Indonesia Belajar dari Cina

15 jam lalu

Penanganan Polusi Udara, Peneliti BRIN Minta Indonesia Belajar dari Cina

Cina menjadi salah satu negara yang bisa mengurangi dampak polusi udaranya secara bertahap. Mengikis dampak era industrialisasi.

Baca Selengkapnya

Menlu Selandia Baru Sebut Hubungan dengan Cina "Rumit"

18 jam lalu

Menlu Selandia Baru Sebut Hubungan dengan Cina "Rumit"

Menlu Selandia Baru menggambarkan hubungan negaranya dengan Cina sebagai hubungan yang "rumit".

Baca Selengkapnya

Badan Mata-mata Seoul Tuding Korea Utara Rencanakan Serangan terhadap Kedutaan Besar

1 hari lalu

Badan Mata-mata Seoul Tuding Korea Utara Rencanakan Serangan terhadap Kedutaan Besar

Badan mata-mata Korea Selatan menuding Korea Utara sedang merencanakan serangan "teroris" yang menargetkan pejabat dan warga Seoul di luar negeri.

Baca Selengkapnya

Gelombang Panas Serbu India sampai Filipina: Luasan, Penyebab, dan Durasi

1 hari lalu

Gelombang Panas Serbu India sampai Filipina: Luasan, Penyebab, dan Durasi

Daratan Asia berpeluh deras. Gelombang panas menyemai rekor suhu panas yang luas di wilayah ini, dari India sampai Filipina.

Baca Selengkapnya

Bahlil Bantah Cina Kuasai Investasi di Indonesia, Ini Faktanya

2 hari lalu

Bahlil Bantah Cina Kuasai Investasi di Indonesia, Ini Faktanya

Menteri Bahlil membantah investasi di Indonesia selama ini dikuasai oleh Cina, karena pemodal terbesar justru Singapura.

Baca Selengkapnya

Segera Hadir di Subang Smartpolitan, Berikut Profil BYD Perusahaan Kendaraan Listrik

2 hari lalu

Segera Hadir di Subang Smartpolitan, Berikut Profil BYD Perusahaan Kendaraan Listrik

Keputusan mendirikan pabrik kendaraan listrik di Subang Smartpolitan menunjukkan komitmen BYD dalam mendukung mobilitas berkelanjutan di Indonesia.

Baca Selengkapnya