Efektivitas PSBB Jakarta dan Bansos di Tengah Pandemi Covid-19
Reporter
Lani Diana Wijaya
Editor
Juli Hantoro
Jumat, 15 Mei 2020 13:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Keputusan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memperpanjang masa Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB bukan tanpa alasan. Dia menilai kurva pasien Covid-19 di Ibu Kota tak kunjung menurun meski pergerakan warga telah dibatasi.
Warga masih ditemukan tak menggunakan masker ketika beraktivitas di luar rumah. Sejumlah perusahaan yang tak dikecualikan pun masih mempekerjakan karyawannya bekerja di kantor. PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) menilai kebijakan tidak memberlakukan bekerja dari rumah ini penyebab masih ramainya kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek.
Saat evaluasi PSBB tahap pertama, Anies berjanji akan memberikan sanksi bagi warga yang melanggar selama PSBB tahap dua. Menurut Anies, selama pelaksanaan PSBB pertama pemerintah dan penegak hukum masih memberlakukan fase edukasi dan imbauan kepada warga. Namun fase itu kini disebut sudah selesai.
"Ke depan fase imbauan edukasi sudah selesai dan sekarang fase penegakan," ujar Anies.
Hingga akhirnya Anies menerbitkan peraturan gubernur ihwal sanksi bagi pelanggar PSBB. Regulasi pemberian sanksi tersebut tertuang dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 41 tahun 2020 yang diteken Anies pada 30 April 2020.
Pergub 41/2020 itu berisi tentang ketentuan sanksi terhadap pelanggaran PSBB Jakarta dalam penanganan pandemi Corona. Isinya mengatur agar warga patuh mengenakan masker di luar rumah.
Ada juga soal pembatasan jumlah penumpang di dalam kendaraan pribadi dengan aturan jaga jarak fisik atau physical distancing seperti yang telah diumumkan sebelumnya. Selanjutnya, warga diminta beribadah di rumah. Jika tidak, maka Satuan Polisi Pamong Praja atau Satpol PP dibantu kepolisian akan memberikan sanksi berupa teguran.
Lalu perusahaan yang sektor usahanya tak dikecualikan harus menerapkan kebijakan bekerja dari rumah. Sanksi yang diberikan untuk setiap jenis pelanggaran berbeda-beda.
Ada yang hanya sanksi administratif berupa teguran atau kerja sosial berupa membersihkan sarana fasilitas umum dengan mengenakan rompi. Ada juga denda yang nilainya paling kecil Rp 100 ribu hingga terbesar Rp 10 juta.
McDonald Sarinah menjadi restoran pertama yang dikenakan denda. Kepala Satpol PP DKI Arifin menyampaikan pihaknya menjatuhkan hukuman lantaran seremoni penutupan gerai makan cepat saji itu menimbulkan kerumunan pada Ahad malam, 10 Mei 2020.
"Sanksi pembayaran denda pun dijatuhkan bagi pihak manajemen McDonald Sarinah akibat pelanggaran tersebut," kata Arifin dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 14 Mei 2020.
Besaran denda seperti yang tertuang dalam Pergub 41/2020 sebesar Rp 10 juta. Menurut Arifin, pihak manajemen McD Sarinah telah bersedia membayar denda. "Pihak manajemen bersikap kooperatif serta mengakui kelalaiannya," ucapnya.
Ketua Fraksi PDIP di DPRD DKI Gembong Warsono mengingatkan pemerintah DKI konsisten menegakkan sanksi bagi pelanggar PSBB. Dia menilai, peraturan daerah seharusnya membuat jera masyarakat yang tak taat.
Pemerintah DKI, dia melanjutkan, harus mengawasi warga dengan ketat. Menurut Gembong, pencegahan penularan virus corona memerlukan kesadaran kolektif dari seluruh elemen masyarakat.
"Karena menuntut kesadaran kolektif maka penerapannya pun juga harus ketat," ucap dia saat dihubungi, Kamis, 14 Mei 2020.
Namun Ombudsman Jakarta Raya mengingatkan soal sanksi ini tak bisa cuma diatur lewat Peraturan Gubernur.
Ombudsman Jakarta Raya meminta Pemprov DKI menyelaraskan ketentuan sanksi dalam Pergub tersebut dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, yang isinya menyebut peraturan yang memuat sanksi hanya Undang-Undang atau Perpu dan Perda.
“Jadi, hanya Perda yang boleh mencantumkan sanksi di tingkat daerah, dan dengan Perda itu pula, Pemprov DKI tetap bisa memberikan sanksi kepada perusahaan yang mendapat izin dari Kemenperin karena Perda merupakan peraturan perundang-undangan sementara Keputusan Menteri bukan,” kata Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya, Teguh P. Nugroho.
<!--more-->
Bantuan Sosial
Selama pembatasan sosial, penyaluran bantuan sosial atau bansos juga kerap bermasalah di tengah pandemi ini. Pemerintah bakal menyalurkan bantuan kepada warga terdampak Covid-19 selama masa PSBB ini.
Pemerintah DKI telah membagikan bantuan berupa sembako sejak 9 April atau sehari sebelum PSBB tahap pertama di Ibu Kota berjalan. Di dalam rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo, Anies menyampaikan 3,7 juta jiwa warga DKI perlu dibantu.
Ketika rapat juga disepakati bahwa pemerintah DKI bakal mendistribusikan bansos untuk 1,1 juta jiwa. Sementara pemerintah pusat menanggung sisanya sebanyak 2,6 juta jiwa. Kementerian Sosial memberikan bantuan presiden tahap pertama pada 20 April 2020.
Beberapa hari kemudian, Menteri Sosial Juliari Batubara mendapati penerima bantuan presiden sudah mendapatkan bansos dari DKI. Padahal, menurut dia, kesepakatan awal saat ratas tak demikian.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy juga menemukan adanya tumpang tindih data. Dia berujar sempat menegur dan bersitegang dengan Anies.
Tak cuma bansos DKI yang bermasalah, bantuan presiden di Jakarta pun memunculkan persoalan baru. Warga tak menerima utuh bantuan presiden berupa beras yang disalurkan Badan Urusan Logistik (Bulog).
Dua warga di Kebagusan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan hanya menerima 5 liter beras. Padahal, Muhadjir pernah mengatakan, pihaknya memberikan 25 kilogram beras per keluarga.
"Jenis bantuan untuk program bansos presiden tahap II ialah berupa beras 25 kilogram yang berasal dari Bulog," ujar Muhadjir dalam keterangan tertulisnya, Sabtu, 9 Mei 2020.
Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, menilai pemerintah seharusnya menggunakan sistem data real time untuk menghimpun penerima bansos. Dengan sistem ini, Agus meyakini dapat meminimalisasi penyaluran bansos salah sasaran.
"Mungkin masih bisa salah tapi error nya kecil sekali. Kalau sekarang error nya besar, 50 persen mungkin, sehingga dana bansos itu mudah sekali diselewengkan," jelas dia.
Ekonom senior Institut Harkat Negeri, Awalil Rizky, mengusulkan agar pemerintah memberikan bantuan berupa uang. Sebab, masa tanggap darurat sudah lewat. Secara teori, Awalil menganggap, lebih baik mentransfer uang ketimbang bantuan barang.
"Kelemahannya model-model bansos yang kemudian paketnya ada sarden, ada minyak gorengnya, macam ini menjadi ajang macam-macam," demikian saran Awalil soal bansos untuk warga terdampak pandemi Covid-19.