Iuran BPJS Kesehatan Naik, Jalan Pintas Menambal Tekor
Reporter
Fajar Pebrianto
Editor
Dewi Rina Cahyani
Kamis, 14 Mei 2020 16:03 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Keputusan pemerintah menaikkan iuran peserta mandiri BPJS Kesehatan mulai 1 Juli 2020 memancing keriuhan jagat Twitter. Tema iuran BPJS Kesehatan ini menjadi trending topic pada Rabu 13 Mei 2020.
Kenaikan iuran dianggap mengaduk-aduk emosi masyarakat. Bahkan netizen menyamakan keputusan pemerintah ini dengan drama Korea. “BPJS bikin emosi, melebihi nonton the world of the married,” tulis pemilik akun @Prilysupril. The World of The Married adalah judul salah satu drama Korea (drakor) yang sedang digandrungi penonton Indonesia saat ini.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah meneken Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020. Beleid tersebut salah satunya menetapkan perubahan tarif iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan atau BPJS Kesehatan untuk peserta bukan penerima upah atau peserta mandiri.
"Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan," dilansir dari salinan beleid yang diterima Tempo, Rabu, 13 Mei 2020. Beleid tersebut ditandatangani Jokowi pada 5 Mei 2020 dan diundangkan pada 6 Mei 2020.
Berdasarkan beleid tersebut, tarif iuran BPJS Kesehatan untuk kelas mandiri antara lain Kelas I sebesar Rp 150.000 per orang per bulan, Kelas II Rp 100.000, Kelas III Rp 25.500 dan menjadi Rp 35.000 pada 2021. tarif tersebut berlaku mulai Juli 2020.
Adapun pada April hingga Juni 2020, tarif yang berlaku antara lain Kelas III Rp 25.500 per orang per bulan, Kelas II Rp 51.000, dan Kelas I Rp 80.000. Tarif pada periode tersebut turun setelah Mahkamah Agung membatalkan kenaikan iuran yang berlaku mulai awal tahun 2020.
Pada Januari-Maret 2020, tarif yang berlaku antara lain Kelas III Rp 42.000 per orang per bulan, Kelas II Rp 110.000, dan Kelas I Rp 160.000. Apabila dalam perjalanannya ada kelebihan pembayaran dari PBPU dan peserta BP, maka BPJS Kesehatan akan memperhitungkan kelebihan pembayaran iuran dengan pembayaran di bulan berikutnya.
Sebelumnya, Mahkamah Agung membatalkan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan). Pembatalan itu dilakukan melalui putusan judicial review terhadap Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.
Dalam putusannya, MA menyatakan Pasal 34 Ayat 1 dan 2 Perpres Jaminan Kesehatan tak memiliki kekuatan hukum mengikat. Selain itu, pasal tersebut juga dinyatakan bertentangan dengan sejumlah undang-undang.
Pasal 34 Perpres Nomor 75 Tahun 2019 yang dibatalkan oleh MA memuat mengenai tarif iuran BPJS Kesehatan naik yang mencapai 100 persen. "Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Juru Bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro, Senin, 9 Maret 2020.
<!--more-->
Staf Ahli Menteri Keuangan Kunta Wibawa Dasa menyatakan kenaikan iuran peserta merupakan salah satu upaya menambah defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Sampai akhir tahun lalu, BPJS sudah tekor alias menanggung defisit Rp 15,5 triliun.
“Perlu ada upaya untuk memperbaiki defisit BPJS,” kata dia dalam diskusi bersama media di Jakarta, Kamis, 14 Mei 2020. Beban defisit ini diperkirakan akan bertambah Rp 6,9 triliun pada 2020.
Tak hanya defisit, per 13 Mei 2020, BPJS Kesehatan juga mempunyai utang jatuh tempo kepada Rumah Sakit (RS) sebesar Rp 4,4 triliun. Di luar itu, BPJS juga memiliki utang yang belum jatuh Tempo sebesar Rp 1 triliun.
Sebenarnya, ujar Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani, iuran BPJS Kesehatan untuk peserta mandiri atau segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) kelas III tidak naik. Karena dalam realisasinya, peserta hanya cukup membayar iuran Rp 25.500 dan sisanya sebesar Rp 16.500 disubsidi oleh pemerintah pusat.
"Memang di regulasi disebutkan tarif iuran kelas III untuk PBPU dan BP naik menjadi Rp 42 ribu. Hanya naik implementasi di dalam Perpres, tapi sebenarnya tidak mengalami kenaikan," kata Askolani dalam konferensi pers melalui video di Jakarta, Kamis, 14 Mei 2020.
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan disebutkan iuran peserta mandiri kelas III sebesar Rp 42.000 mulai berlaku Juli 2020.
Namun, di dalam ketentuan Pasal 34 ayat 1 Perpres Nomor 64 Tahun 2020 disebutkan peserta hanya cukup membayarkan iuran sebesar Rp 25.500 saja karena sisanya sebesar Rp 16.500 disubsidi oleh pemerintah pusat. Artinya, peserta segmen PBPU dan BP kelas III tetap membayar iuran seperti saat ini atau tidak mengalami kenaikan iuran sama sekali untuk tahun 2020.
Lebih jauh, Askolani mengatakan pemerintah menyadari dalam kondisi perekonomian masyarakat sedang melemah pada situasi pandemi virus Corona atau Covid-19 saat ini. Oleh karena itu pemerintah memutuskan untuk memberikan bantuan pendanaan berupa subsidi iuran BPJS Kesehatan bagi peserta PBPU dan BP kelas III.
"Setoran yang diberikan masyarakat peserta PBPU dan BP kelas III tidak mengalami kenaikan, itu tetap Rp 25 ribu. Implementasi di lapangan tidak ada tetap dibantu pemerintah," ucap Askolani.
Adapun kenaikan besaran iuran peserta mandiri kelas III baru diberlakukan pada Januari 2021 menjadi Rp 35 ribu per bulan, dengan selisih iuran sebesar Rp 7 ribu masih disubsidi oleh pemerintah. Namun, iuran Rp 35 ribu tersebut masih bisa mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah dengan dibayarkan seluruhnya atau sebagian dengan ketentuan yang diatur selanjutnya.
Sedangkan bagi peserta PBPU dan BP kelas II ditetapkan iuran sebesar Rp 100 ribu dan kelas I sebesar Rp 150 ribu yang mulai berlaku pada Juli 2020, sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 34 Ayat 3 dan 4 Perpres.
Untuk subsidi peserta BPJS Kesehatan kelas III ini, pemerintah telah mengucurkan Rp 3,1 triliun pada 2020. “Pemerintah telah berkomitmen dan memasukkan ke dalam anggaran 2020 sebesar Rp 3,1 triliun,” kata Askolani dalam diskusi daring di Jakarta, Kamis, 14 Mei 2020.
Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar menyoroti hal ini. Menurut dia, peserta mandiri adalah kelompok masyarakat pekerja informal yang sangat terdampak Covid-19. Mereka juga tergabung dalam Kelas I maupun Kelas II. “Pemerintah dengan sepihak menaikkan lagi iuran yang tidak berbeda jauh dengan iuran sebelumnya, pada Perpres 75 Tahun 2019,” kata dia.
Timboel menilai pemerintah sudah kehabisan akal dan nalar sehingga dengan seenaknya menaikkan iuran. “Tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat,” ujarnya.
BISNIS | ANTARA | FAJAR PEBRIANTO