Masa Depan Industri Minyak di Tengah Fluktuasi Harga Minyak Dunia
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Dewi Rina Cahyani
Kamis, 23 April 2020 17:44 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Gonjang ganjing harga minyak dunia menyebabkan ketidakpastian kepada pelaku industri. Perusahaan yang bergerak di sektor ini pun ketar-ketir dengan fluktuasi harga minyak yang tidak tertebak, khususnya di tengah mewabahnya Virus Corona alias COVID-19.
Salah satu pemain raksasa dari Singapura, Hin Leong Trading, pun diambang kebangkrutan akibat melesunya industri minyak belakangan ini. Dilansir dari Bisnis, perusahaan yang didirikan oleh Lim Oon Kuim itu berhasil menyembunyikan kerugian sekitar US$ 800 juta selama bertahun-tahun. Mengutip pengajuan ke pengadilan tanggal 17 April 2020, perseroan kini sedang mengupayakan moratorium pembayaran utang selama enam bulan dengan beban sekitar US$ 3,85 miliar pada 23 bank.
Langkah Hin Leong untuk mencari perlindungan pengadilan dari para kreditur dilakukan ketika harga minyak mencapai titik terendah selama dua dekade. Harga minyak sempat anjlok pada awal pekan ini diperkirakan akibat adanya perang harga dari dua produsen minyak dunia, Arab Saudi dan Rusia, serta imbas turunnya permintaan akibat wabah Corona.
Pengajuan pengadilan perusahaan menunjukkan bahwa masalahnya telah dimulai jauh lebih awal karena telah kehilangan uang selama beberapa tahun terakhir. Dalam sebuah presentasi kepada para krediturnya awal bulan ini, Hin Leong mengungkapkan pihaknya memiliki total kewajiban US$ 4,05 miliar dengan aset senilai hanya US$ 714 juta.
Perusahaan tidak menanggapi permintaan komentar melalui email. Putra satu-satunya Lim, Evan Lim Chee Meng, mengatakan dalam pernyataan terpisah bahwa ayahnya menjual sejumlah persediaan minyak perusahaan dan menggunakan hasilnya sebagai dana umum, meskipun barel dijaminkan sebagai jaminan untuk mendapatkan pinjaman dari bank. "Akibatnya ada kekurangan persediaan yang besar dibandingkan dengan jumlah persediaan yang telah diamankan untuk pemberi pinjaman bank yang telah menyediakan pembiayaan persediaan," tulis Evan, dilansir Forbes, Rabu, 22 April 2020.
Harga minyak mentah acuan global Brent sempat jatuh ke level terendahnya dalam hampir 21 tahun pada perdagangan Rabu, 22 April 2020. Kemarin, harga minyak Brent kontrak Juni 2020 anjlok 16 persen ke tingkat US$ 16,20 per barel di ICE Futures Europe exhange London pada pukul 12.21 siang waktu Singapura.
Pada hari ini, minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Juni naik 8,9 persen ke level US$14,27 per barel di New York Mercantile Exchange pukul 8:13 pagi waktu Sydney. WTI sebelumnya ditutup menguat US$ 2,21 untuk pada perdagangan Rabu di level US$13,78 per barel, setelah jatuh hingga US$ 10,26. Sementara itu, minyak Brent untuk kontrak Juni turun ke level US$ 15,98 per barel, terendah sejak Juni 1999, sebelum ditutup menguat US$ 1,04 pada level US$ 20,37.
Di Indonesia, pelaku industri hulu minyak dan gas bumi juga mencoba melakukan renegosiasi kontrak seiring melemahnya harga minyak dunia. Upaya tersebut beriringan dengan langkah para kontraktor melanjutkan produksi secara efisien.
"Ya berusaha tetap survive, berproduksi terus dengan biaya seefesien mungkin, termasuk renegosiasi kontrak-kontrak dengan vendor," kata Direktur Indonesian Petroleum Association (IPA) Nanang Abdul Manaf, Selasa, 21 April. Nanang berharap pemerintah dapat memberikan insentif kepada para kontraktor agar dapat melewati masa sulit saat ini. Misalnya, dengan memberikan kebijakan fiskal seperti menaikkan split atau menurunkan tarif pajak.
Masih di sektor Hulu, PT Pertamina (Persero) berencana meningkatkan optimalisasi di berbagai aspek untuk menjaga produksi hulu migas pada tahun 2020 ini tetap berada di level normal. Meskipun, situasi saat ini dipenuhi tekanan wabah COVID-19 dan anjloknya harga minyak.
Upaya efektifitas biaya juga menjadi salah satu prioritas yang dilakukan terutama terkait dengan aktivitas yang tidak terkait langsung dengan produksi dan penambahan cadangan migas. Direktur Hulu Pertamina, Dharmawan H. Samsu menjelaskan, perseroan terus memantau perkembangan situasi global sambil terus menjalankan rencana untuk tetap berupaya mengejar target produksi hulu migas.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi saat ini telah mengakibatkan berbagai konsekuensi secara operasional maupun finansial, seperti terganggunya mobilitas dan jadwal pergantian pekerja lapangan, terhambatnya logistik dan interaksi dengan para stakeholder serta kemungkinan menurunnya pendapatan dari sektor hulu.
Di hilir, Pertamina masih belum menurunkan harga jual bahan bakar minyak di tingkat eceran, meski harga minyak mentah dunia sudah sangat murah. Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan harga BBM dibentuk menggunakan formula harga yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM.
Dari sisi Pertamina, lanjutnya, penyesuaian harga akan sangat mudah jika pihaknya berperan sebagai perusahaan perdagangan alias trading. “Memang mudah sekali ketika harga BBM yang kita beli murah, maka kita langsung bisa kita jual,” katanya.
Di sisi lain, karena bisnis Pertamina intergrasi hulu – hilir, maka sebagai BUMN pihaknya tidak dapat seenaknya menghentikan produksi kilang dan produksi migas. Pertamina mengklaim, produksi kilang jauh di atas harga crude yang berlaku saat ini. “Kalau dalam kondisi ini, maka sebetulnya secara HPP, Pertamina impor crude harganya 25 persen, karena kami prioritaskan crude dalam negeri,” ujar dia.
<!--more-->
Belum lagi, ia pun menyebut harga crude dalam negeri relatif lebih mahal dibandingkan dengan impor. Untuk itu, Pertamina sedang berdiskusi dengan Kementerian ESDM agar pihaknya tetap dapat menyerap crude lokal, tetapi diberikan relaksasi harga. Harga produksi BBM melalui kilang Pertamina masih kalah murah dibandingkan dengan impor produk. Dia mencontohkan, harga impor BBM senilai US$ 22,5 per barel sementara harga beli crude Pertamina pada pertengahan Maret lalu senilai US$ 24 per barel.
Namun demikian, Nicke mengatakan perseroan tidak bisa menutup semua kilang dan beralih ke impor saja. Sebab, sebagai BUMN, perseroan dituntut menjadi penggerak ekonomi nasional. Selain itu, Pertamina juga memiliki karyawan mencapai 62.000 orang. Dengan adanya penghentian produksi kilang ataupun migas, akan memengaruhi nasib karyawan. Kendati demikian, Pertamina akan ikut arahan pemerintah terkait penyesuaian harga BBM.
Pakar ekonomi energi dari Universitas Gajah Mada Fahmy Radhi mengatakan anjloknya harga minyak memiliki dampak signifikan kepada Indonesia. Salah satu dampak negatifnya adalah terjadi penurunan pendapatan dari ekspor minyak dan komoditas lainnya, yang penetapan harganya dikaitkan dengan harga minyak, misalnya gas dan batubara.
Meskipun, Indonesia juga menangguk dampak positif sebagai pengimpor minyak, yakni nilai impor minyak mentah dan BBM menjadi lebih murah. Sehingga, Pertamina bisa meraup laba besar dengan tidak menurunkan harga BBM, pada saat harga minyak dunia mencapai minus
Sebenarnya, menurut Fahmy, Rendahnya harga minyak dunia itu tidak begitu berpengaruh terhadap investor hulu. Pasalnya, fluktuasi harga minyak merupakan permasalahan jangka pendek. Sedangkan, investasi hulu lebih ke jangka panjang, sehingga masih ada ekspektasi harga minyak akan menguat.
Melemahnya harga minyak, diperkirakan Fahmy, bisa menjadi momentum tepat bagi Pertamina dan pemerintah menurunkan harga BBM subsidi dan non-subsidi. Penurunan harga itu diharapkan bisa mendongkrak daya beli masyarakat sehingga bersumbangsih kepada pertumbuhan ekonomi.
Di sisi lain, ia tidak menyarankan perseroan menutup kilangnya meski harga impor saat ini cukup rendah. Sebab, langkah itu dinilai akan membahayakan ketahanan energi dan menimbulkan ketergantungan impor. "Pada saat harga minyak kembali tinggi, kilang yang ditutup tidak bisa serta merta dioperasikan, pada saat itu, Pertamina tetap harus impor dengan harga tinggi."
Belakangan, bekas Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar memperkirakan harga minyak akan melejit kembali pada 2021. Karena itu, sangat penting bagi semua pihak mengembangkan strategi yang tepat agar jatuhnya harga minyak saat ini dapat dioptimalkan untuk kepentingan di masa depan.
Prediksi lonjakan harga minyak itu, kata Arcandra, dipicu oleh rencana Amerika Serikat memangkas produksi minyaknya dari 12,7 juta barel per hari menjadi sekitar 10,5 juta barel per hari. Dengan AS memangkas produksi hampir 2,2 juta barel per hari dan OPEC+ menyunat produksi 9,7 juta barel per hari, maka diperkirakan ketika permintaan minyak dunia naik di 2021 dengan harapan wabah COVID-19 sudah mereda, harga minyak pun naik tajam.
"Kondisi prediksi kenaikan kebutuhan minyak di dunia tahun 2021 diperparah lagi lantaran selama lima tahun terakhir tidak banyak proyek eksplorasi minyak konvensional yang dikembangkan di seluruh dunia," ujar Arcandra.
Anjloknya harga minyak, menurut Arcandra, dapat menjadi momentum momentum pengembangan industri hilir migas di dalam negeri. Sejumlah industri hilir migas yang dimaksud adalah proyek kilang migas, petrokimia dan infrastruktur lain seperti jaringan gas bumi. "Harapannya ketika infrastruktur selesai dibangun rata-rata butuh 3 sampai 5 tahun, ketika sudah siap saat itu harga minyak kembali normal," kata Arcandra.
CAESAR AKBAR | BISNIS | ANTARA