Kritik PSBB: Pembatasan Sosial Berskala Birokratis

Reporter

Tempo.co

Minggu, 5 April 2020 15:14 WIB

Seorang personil Palang Merah Indonesia, mengenakan pakaian pelindung, menyemprotkan disinfektan di sepanjang jalan di daerah pemukiman padat penduduk rumah susun, di tengah penyebaran wabah Virus Corona di Jakarta, 4 April 2020. REUTERS/Willy Kurniawan

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai isi Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB terlalu birokratis.

"Yang membuat terlalu birokratis adalah ada tim tersendiri yang dibentuk untuk merekomendasikan suatu daerah bisa PSBB atau tidak," ujar Staf Biro Penelitian Pemantauan dan Dokumentasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rivanlee Anandar, saat dihubungi pada Ahad, 5 April 2020.

Menurut Rivan, alur yang berbelit-belit hanya membuat penanganan virus corona lambat atas nama administrasi. Padahal, di situasi darurat sekarang ini, seharusnya pemerintah, baik daerah maupun pusat, melakukan deregulasi agar penanganan efektif dan cepat ke masyarakat.

"Sebab, jika alur terlalu rumit, penyebaran virus semakin tidak terkontrol dan sistem layanan kesehatan akan tidak mampu mengatasi pandemi ini," kata Rivan.

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto telah resmi meneken Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor 9 tahun 2020 tentang pedoman pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Advertising
Advertising

Dari salinan Permen yang diterima Tempo, PSBB didefinisikan sebagai pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-I9).

Disebutkan bahwa pemerintah daerah, bisa mengajukan daerahnya untuk menjadi wilayah PSBB. Permohonan dapat dibuat oleh Gubernur untuk tingkat provinsi, dan Bupati atau Wali Kota untuk tingkat Kabupaten/Kota.

Adapun daerah yang akan ditetapkan sebagai wilayah PSBB, harus memenuhi dua kriteria. Pertama, adalah adanya jumlah kasus dan/atau jumlah kematian akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat ke beberapa wilayah. Kedua, wilayah tersebut memiliki kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain.

Saat mengajukan, kepala daerah akan dimintai sejumlah data. "Dalam mengajukan permohonan PSBB kepada Menteri, harus disertai dengan data: peningkatan jumlah kasus menurut waktu, penyebaran kasus menurut waktu, dan kejadian transmisi lokal," tulis pasal 4 ayat 1.

Data peningkatan jumlah kasus harus disertai dengan kurva epidemiologi. Untuk data penyebaran kasus disertai dengan peta penyebaran menurut waktu. Sedangkan Data kejadian transmisi lokal wajib disertai dengan hasil penyelidikan epidemiologi yang menyebutkan telah terjadi penularan generasi kedua dan ketiga.

Selain itu, lewat Permenkes itu, Menteri Kesehatan juga meminta informasi mengenai kesiapan daerah tentang aspek ketersediaan kebutuhan hidup dasar rakyat, sarana dan prasarana kesehatan, anggaran dan operasionalisasi jaring pengaman sosial, dan aspek keamanan.

Setelah mendapat permohonan dari kepala daerah, Menteri Kesehatan akan membentuk tim. Fungsinya untuk melakukan kajian epidemologis dan kajian terhadap aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, pertahanan, dan keamanan. Tim ini juga akan berkoordinasi dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Virus Corona.

"Tim memberikan rekomendasi penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar kepada Menteri dalam waktu paling lama 1 (satu) hari sejak diterimanya permohonan penetapan," tulis Permenkes tersebut.

Menkes akan memutuskan menerima atau menolak permohonan kepala daerah itu dalam waktu 2 hari sejak pengajuan.

"Dalam hal kondisi suatu daerah tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Menteri dapat mencabut penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar," tulis Pasal 10.

Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Saleh Partaonan Daulay khawatir Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 malah menyulitkan penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Dia beralasan, peraturan yang ditandatangani Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto itu tak progresif dan terkesan sangat birokratis.

"Karena panjangnya alur birokrasi dikhawatirkan akan memperlambat tugas dalam penanganan Covid-19, "kata Saleh kepada wartawan, Ahad, 5 April 2020.

Alur birokrasi yang dimaksud misalnya tata cara penetapan PSBB yang harus melalui tahapan yang panjang. Menteri harus membentuk tim yang melakukan kajian epidemiologis, politik, ekonomi, sosial budaya, agama, pertahanan, dan keamanan.

Tim kajian juga harus berkoordinasi dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Seteah itu, tim kajian juga ditugaskan memberi rekomendasi kepada Menteri Kesehatan.

Saleh mengatakan prosedur birokratis seperti itu sepintas baik. Namun dia khawatir hal itu justru akan memperlambat penanganan Covid-19 di Indonesia.

"Penyebaran virus ini berlangsung cepat, tidak menunggu proses birokrasi dan hasil kajian seperti yang diurai dalam Permenkes tersebut," kata politikus Partai Amanat Nasional ini.

Selain itu, Saleh menganggap kepala daerah juga bisa terkendala data dan kriteria yang cukup banyak untuk mengusulkan penetapan PSBB.

Misalnya, kepala daerah selaku ketua gugus tugas setempat harus menyertakan data jumlah peningkatan kasus disertai kurva epidemiologi, data peta penyebaran menurut waktu, dan data penyelidikan epidemiologi bahwa telah terjadi penularan generasi kedua dan ketiga.

Ia mempertanyakan seperti apa kurva epidemiologi yang dimaksud dan siapa yang berhak membuatnya. Kata Saleh, bahkan pemerintah pusat pun belum pernah merilis peta penyebaran secara resmi, melainkan hanya penambahan jumlah kasus.

"Kalau di pusat saja hal itu sulit dikerjakan, saya khawatir ini malah akan menyulitkan penerapan PSBB di daerah," ujar dia.

Selain memperjelas prosedur dan birokrasi penetapan PSBB, Saleh menilai tak ada yang progresif dari Permenkes ini. Ia juga menyoroti tidak adanya sanksi bagi yang melanggar aturan PSBB, baik dalam Permenkes ini maupun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 yang diteken Presiden Joko Widodo.

"Saya khawatir Peraturan Pemerintah dan Permenkes Pembatasan Sosial Berskala Besar ini hanya akan menjadi dokumen kearifan yang berada di tempat yang tinggi tetapi tidak terimplementasi di bumi," kata Saleh.

Berita terkait

BPOM Pastikan Vaksin AstraZeneca Sudah Tidak Beredar di Indonesia

1 hari lalu

BPOM Pastikan Vaksin AstraZeneca Sudah Tidak Beredar di Indonesia

Koordinator Humas Badan Pengawas Makanan dan Obat (BPOM) Eka Rosmalasari angkat bicara soal penarikan vaksin AstraZeneca secara global.

Baca Selengkapnya

Mengenal Gejala Virus MERS-CoV, Varian Corona dari Unta yang Harus Diwaspadai Jemaah Haji

2 hari lalu

Mengenal Gejala Virus MERS-CoV, Varian Corona dari Unta yang Harus Diwaspadai Jemaah Haji

Kemenkes mengimbau seluruh jemaah haji mewaspadai MERS-CoV. Kenali asal usul dan gejalanya.

Baca Selengkapnya

7 Fakta MERS-CoV, Varian Corona dari Unta yang Harus Diwaspadai Jamaah Haji

2 hari lalu

7 Fakta MERS-CoV, Varian Corona dari Unta yang Harus Diwaspadai Jamaah Haji

Pemerintah meminta seluruh jamaah haji Indonesia mewaspadai MERS-CoV yang ditemukan di Arab Saudi.

Baca Selengkapnya

4 Tahun Pandemi Covid-19, TPU di Jakarta sempat Kehabisan Tempat Penguburan Korban Virus Corona

13 Maret 2024

4 Tahun Pandemi Covid-19, TPU di Jakarta sempat Kehabisan Tempat Penguburan Korban Virus Corona

Di Jakarta, setidaknya ada dua TPU yang jadi tempat permakaman korban saat pandemi Covid-19, yakni TPU Tegal Alur dan Pondok Ranggon.

Baca Selengkapnya

Kilas Balik Hari-hari Menegangkan 4 Tahun Lalu Saat Mula Wabah Pandemi Covid-19

12 Maret 2024

Kilas Balik Hari-hari Menegangkan 4 Tahun Lalu Saat Mula Wabah Pandemi Covid-19

WHO tetapkan 11 Maret 2020 sebagai hari pertama pandemi global akibat wabah Covid-19. Kini, 4 tahun berlalu, masihkan patuhi protokol kesehatan?

Baca Selengkapnya

Pria Ini Sudah Disuntik Vaksin Covid-19 217 Kali, Apa Dampaknya?

7 Maret 2024

Pria Ini Sudah Disuntik Vaksin Covid-19 217 Kali, Apa Dampaknya?

Seorang pria di Jerman mendapat suntikan Vaksin Covid-19 sebanyak 217 kali dalam waktu 29 bulan.

Baca Selengkapnya

Jangan Lupakan Masa Pandemi Covid-19: Protokol Kesehatan, Jaga Jarak, Pakai Masker hingga Rapid Test

6 Maret 2024

Jangan Lupakan Masa Pandemi Covid-19: Protokol Kesehatan, Jaga Jarak, Pakai Masker hingga Rapid Test

Saat Pandemi Covid-19 berbagai kehidupan 'normal' berubah drastis. Saat itu yang kerap terdengar seperti protokol kesehatan, jaga jarak, rapid test.

Baca Selengkapnya

4 Tahun Pasca Kasus Pertama Covid-19 di Indonesia, Berikut Kilas Baliknya

6 Maret 2024

4 Tahun Pasca Kasus Pertama Covid-19 di Indonesia, Berikut Kilas Baliknya

Genap 4 tahun pasca kasus Covid-19 teridentifikasi pertama kali di Indonesia pada 2 Maret 2020 diikuti sebaran virus yang terus meluas.

Baca Selengkapnya

Kasus Covid-19 Melonjak 200 Persen, Wali Kota Depok Terbitkan Surat Edaran Berisi 8 Imbauan

6 Januari 2024

Kasus Covid-19 Melonjak 200 Persen, Wali Kota Depok Terbitkan Surat Edaran Berisi 8 Imbauan

Wali Kota Depok menerbitkan surat edaran berisi delapan poin imbauan. Hal yang mendasari SE ini karena kasus Covid-19 di Depok melonjak.

Baca Selengkapnya

Ragam Istilah Ketika Pandemi Covid-19, Masih Ingat dengan Social Distancing?

6 Januari 2024

Ragam Istilah Ketika Pandemi Covid-19, Masih Ingat dengan Social Distancing?

Kendati Covid-19 tidak lagi berstatus pandemi jadi endemi Covid-19, tapi masyarakat diimbau agar tetap waspada. Ini istilah saat Covid-19 mewabah.

Baca Selengkapnya