Lobster, Antara Effendi Gazali dan Susi Pudjiastuti
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Kodrat Setiawan
Rabu, 19 Februari 2020 16:30 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Effendi Gazali berulang-ulang mengucapkan kalimat yang sama di depan peserta diskusi soal lobster di lantai I gedung Minabahari III, kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan, Rabu, 19 Februari 2020. Isi kalimatnya: "Bu Susi (Susi Pudjiastuti), kami masih menunggu."
Ketua Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik KKP itu mengajak Susi berdiskusi secara terbuka untuk membahas pelonggaran ekspor bibit lobster dan kondisi habitatnya saat ini. Effendi mengatakan telah melayangkan surat terbuka melalui Twitter.
Diskusi publik yang bertajuk "Lobster, Antara Apa Adanya dan Ada Apanya" tersebut sejatinya merupakan buntut dari adu pendapat antara Effendi dan Susi. Pada pekan lalu, keduanya terlibat twit-war atau perang cuitan di media sosial.
Mengakui mengantongi data valid, Effendi menjelaskan bahwa kondisi bibit lobster terkini di Indonesia jauh dari ancaman kepunahan. Ia menyebut, saat ini jumlah telur lobster telah mencapai 26,9 miliar ekor per tahun. Sementara itu, larva lobster berjumlah 24,7 miliar ekor per tahun dan yang menjadi benih sekitar 12,3 miliar per tahun. "Punah dari sebelah mana?" kata Effendi.
Melalui aku Twitter-nya, Susi Pudjiastuti menyahut. Ia mengakui berduka atas ungkapan Effendi.
"Keilmuan tinggi seorang guru besar Doctor dalam menjustifikasi / memperlihatkan/ meninggikan/ membenarkan Ignorances untuk pembenaran Ekspor Bibit Lobster. Saya tidak berilmu dan saya berduka," tutur Susi.
Tempo telah menghubungi Susi untuk menanyakan lebih lanjut terkait diskusi dan kebijakan-kebijakan KKP yang dikritik Susi. Namun, hingga berita ini ditulis, Susi belum memberikan jawabannya.
Via akun media sosialnya Desember lalu, Susi menilai hasil ekspor benur tidak sepadan dengan resiko kerusakan ekosistem. Pasalnya, ekspor benur dalam jumlah besar mengancam kelangsungan hidup lobster di habitatnya.
<!--more-->
Seteru perkara lobster antara Susi dan menteri penggantinya, Edhy Prabowo, telah bergulir sejak akhir tahun lalu. Edhy mulanya menyatakan niatnya untuk merevisi Peraturan Menteri Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Ranjungan dari Indonesia.
Salah satu poin revisi itu ialah membuka keran ekspor bibit lobster yang sempat dilarang pada masa Susi. Alasannya untuk mencapai nilai tambah di level petani.
Guna melancarkan niatnya, Edhy mengangkat tim bayangan bernama KP2 KKP yang diketuai Effendi. Tim itu akan mengkaji revisi-revisi peraturan menteri sekaligus mengkomunikasikan rencana kebijakan baru dengan stakeholder, nelayan, dan masyarakat luas.
Effendi mengatakan tim telah menggelar diskusi selama beberapa kali. Bahkan, sebuah diskusi yang menghadirkan nelayan hingga pengusaha berlangsung hingga 11 jam. Dari diskusi itu, tim merangkum permintaan terkait revisi peraturan menteri dan kemungkinan budidaya serta ekspor bibit lobster menjadi sebuah kajian.
Menurut Effendi, hasil kajian itu memuat syarat-syarat yang harus dipatuhi kementerian bila ingin membuka ekspor bibit lobster. Pertama, KKP harus memastikan adanya pembentukan hatchery atau tempat penetasan lobster.
Kementerian, kata dia, setidaknya akan mengimitasi teknologi hingga cara kerja tempat penetasan lobster dari Australia. Untuk memastikan pembentukan hatchery ini, KKP juga mesti meneken nota kesepahaman dengan calon pembudidaya.
"Kita setidaknya akan punya MoU dulu terkait hatchery," katanya.
Selanjutnya, KKP akan membuka kebijakan budidaya lobster, kepiting, dan ranjungan dalam revisi aturan itu. Dalam beleid itu akan diatur mekanisme terkait pihak-pihak yang boleh mengambil bibit lobster untuk budidaya dan besaran bibit yang bisa diambil untuk dikembangkan.
<!--more-->
Adapun ihwal kuota ekspor, Effendi menjelaskan bahwa kementerian akan melibatkan Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan atau Komnas Jiskan. Komnas Jiskan berwewenang menentukan kuota ekspor di tiap-tiap wilayah pengelolaan perikanan atau WPP.
"Jadi Permen baru itu akan menyerahkan kebijakan pada rekomendasi Komnas Jiskan di wilayah mana bibit yang boleh diekspor, berapa jumlahnya, sehingga punya basis ilmiah," katanya.
Effendi mengatakan revisi beleid itu akan difinalisasi pada akhir pekan ini. Setelah dirampungkan, hasil kajian tim bakal diserahkan kepada Edhy untuk disetujui.
Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia (BRSDM) KKP Sjarief Widjaja mengatakan kementeriannya pada masa mendatang tidak akan melarang budidaya lobster, melainkan mengatur. Menurut dia, pembukaan budidaya tersebut akan memberikan edit value dan membawa efek multiplier.
Sebab, dengan budidaya, masyarakat yang akan memperoleh hasilnya bukan hanya dari segmen nelayan. Melainkan pengambil penih, penyedia pakan, dan pengumpul bahan pakan.
Namun demikian, dalam perjalanannya, Sjarief menyatakan kementerian akan melakukan evaluasi selama dua tahun sekali. "Setiap 2 tahun sekali ada rekomendasi close-open supaya kita bisa melihat manfaatnya," tuturnya.
Pakar lobster dari Universitas New South Wales, Bayu Priyambodo, berpendapat bahwa pemerintah memiliki pelbagai tantangan seumpama akan membuka budidaya dan ekspor lobster. Pertama, pemerintah harus memastikan bahwa pembudidaya dibekali kemampuan teknis.
Selanjutnya, pembudidaya harus memahami betul penyakit-penyakit yang biasa menyerang lobster. "Soal ekspor puerulus (benur/bibit lobster) juga merupakan tantangan," ujarnya.
Seumpama ekspor benih dilegalkan, pemerintah mesti menjamin nelayan-nelayan kecil harus mendapatkan manfaatnya. Kemudian, pemerintah juga harus bisa menuntaskan persoalan mahalnya biaya logistik dan mampu menghadapi dominasi pasar lobster Vietnam.
<!--more-->
Ketua Pelaksana Harian Kesatuan Nelayan Tradisional Iindonesia Dani Setiawan meminta pemerintah tidak buru-buru membuka wacana ekspor benih lobster sebagai bagian dari kebijakan pelonggaran budidaya. Menurut dia, wacana itu harus didasari kepentingan kelompok nelayan kecil atau nelayan tradisional.
"Jangan hanya berorientasi ke devisa. Kalau hanya menguntungkan kelompok tertentu, saya kira sama saja," ujar Dani.
Dani menyatakan, selama ini, nelayan kecil sudah menelan pil pahit akan adanya Permen 56 Tahun 2016, utamanya nelayan-nelayan di Pulau Lombok--pusat budidaya lobster terbesar di Indonesia. Sebab, dengan terbitnya aturan itu pada era lampau, nelayan tidak dapat lagi menangkap lobster, kepiting, dan rajungan untuk kepentingan budidaya.
Dalam revisi peraturan itu, Dani meminta pemerintah memberikan keleluasaan kepada nelayan tradisional untuk mengambil benih lobster agar budidaya lobster dalam negeri berkembang. Selain itu, ia memandang pemerintah perlu memberikan insentif kepada nelayan kecil seumpama kebijakan ekspor dieksekusi.
Rencana mengubah aturan soal lobster diduga diwarnai oleh lobi-lobi para pengusaha. Dilansir dari Laporan Majalah Tempo, pembahasan soal benih lobster muncul dalam pertemuan Edhy bersama sejumlah anggota Kamar Dagang dan Industri alias Kadin Indonesia pada 26 Oktober 2019. Artinya, pertemuan itu hanya berselang tiga hari setelah ia dilantik sebagai anggota Kabinet Indonesia Maju, menggantikan Susi.
Kala itu, Wakil Ketua Umum Bidang Kelautan dan Perikanan Kadin Yugi Prayanto memimpin rombongan. Dalam forum pertama itu, para pengusaha dan pengurus asosiasi menumpahkan semua keluhannya tentang kebijakan Susi kepada Edhy. Tak terkecuali soal larangan penangkapan benih lobster yang otomatis menutup keran ekspor benih.
Kadin mengusulkan, daripada benih lobster diselundupkan, mending kuota ekspor dibuka sekalian, dan dibatasi dengan ketat. “Mereka yang hidup-matinya dari penangkapan benur harus dicarikan solusi. Tapi yang ideal memang budi daya di sini,” ucap Yugi.
Anggota staf khusus Menteri Edhy, Miftah Sabri, yang menemani bosnya dalam pertemuan itu, mengatakan persamuhan sebatas courtesy call antara menteri baru dan para pemangku kepentingan. Miftah membantah informasi bahwa ada usul spesifik membuka keran ekspor benur lobster. “Justru mereka menyampaikan kenapa enggak dibudidayakan saja,” ujar Miftah.
Miftah mengingatkan bahwa bosnya diberi tugas Presiden Joko Widodo untuk membangun komunikasi dua arah bagi stakeholder. “Kedua, mengembangkan sektor budi daya semaksimal mungkin,” tuturnya.
Berbekal daftar keluhan pengusaha itu, Edhy Prabowo langsung menerbitkan instruksi menteri kepada bawahannya pada 26 November 2019. Instruksi ini ditujukan untuk mengkaji 29 aturan yang terbit pada era Susi. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 yang mengatur penangkapan dan perdagangan lobster hanya salah satunya.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA | MAJALAH TEMPO