Kala Virus Corona Menggoyang Ekonomi Indonesia
Reporter
Fajar Pebrianto
Editor
Rahma Tri
Kamis, 6 Februari 2020 18:53 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Penyebaran virus corona yang tak kunjung reda bahkan semakin meluas tak pelak membuat pemerintah Indonesia panas-dingin. Bagaimana tidak, Cina, negara pusat penyebaran virus mematikan itu, adalah mitra utama Indonesia dalam segala lini bisnis. Ketergantungan ekonomi antara kedua negara ini sangat besar.
“Turis Cina yang datang ke Indonesia juga mencapai 2 juta orang tahun lalu,” kata Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Iskandar Simorangkir, saat dihubungi di Jakarta, Kamis, 6 Februari 2020.
Di sisi investasi, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM ) mencatat Cina sebagai negara yang menanamkan investasi terbesar di Indonesia sepanjang Triwulan IV 2019. Nilai investasi Cina di Indonesia sebesar US$ 1,4 miliar atau 20,4 persen dari seluruh investasi.
"FDI (Foreign Direct Invesment) Tiongkok itu meningkat. Memang kami tawarkan ke semua negara. Pemerintah Indonesia tidak memberikan skala prioritas kepada Cina tapi mereka lebih agresif," kata Kepala BKPM Bahlil Lahadalia di kantornya, Jakarta, 29 Januari 2020.
Dia mengatakan realisasi investasi Cina pada 2019 sebesar 83 persen. Bahlil mengatakan Cina berani berinvestasi di banyak sektor, salah satunya di infrastruktur hilir yang tidak banyak dilakukan negara lain. "Feasibility study dan intuisi (Cina) itu seimbang. Kalau Jepang lama. Makanya Jepang tergeser," ujar dia.
Di sisi perdagangan, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, selama ini 16 persen komoditas ekspor Indonesia dikirim ke Cina. Pun sebaliknya, 22 persen produk impor yang masuk ke Indonesia berasal dari Negeri Tirai Bambu ini.
Iskandar juga menyampaikan, tahun 2019 lalu, total ekspor non-migas Indonesia mencapai US$ 154,99 miliar (92,52 persen dari total ekspor). Dari jumlah ini, negara tujuan terbesar ekspor non-migas Indonesia adalah Cina dengan nilai US$ 25,85 miliar atau 16,68 persen.
Situasi yang sama terjadi pada impor. Tahun 2019, total impor non-migas Indonesia mencapai US$ 148,84 miliar (87,18 persen dari total impor). Dari jumlah ini, negara asal impor terbesar kembali adalah Cina, dengan nilai US$ 44,58 miliar atau 29,95 persen.
<!--more-->
Contoh nyata ketergantungan Indonesia akan produk impor asal Cina sudah terlihat nyata di pasar tradisional hari ini. Belum lagi pemerintah resmi menghentikan secara total impor produk makanan dari Cina, harga bawang putih di pasaran sudah meroket lebih dari 100 persen. Awal Januari, harga bawang putih di Pasar Induk Kramatjati, Jakarta masih berkisar Rp 22.000 per kilogram. Kini harga bawang putih sudah melambung sampai lebih dari Rp 50.000 per kg karena stok di pasaran sudah menipis. Selama ini, Indonesia memenuhi kebutuhan bawang putih nasional dengan mengimpornya dari Cina.
Begitu ada kabar keran impor bawang dan makanan lain dari Cina ditutup, pasar kalang kabut. Harga-harga melambung. Inflasi pun di depan mata.
Tak hanya hubungan perdagangan yang erat, di bidang pariwisata pun Indonesia bisa dibilang tergantung pada Cina. Turis Cina termasuk yang paling banyak bertandang ke Indonesia, setelah turis Malaysia dan Singapura. Tahun 2019, Indonesia didatangi oleh 16,1 juta wisatawan mancanegara atau turis asing. Dari jumlah ini, 2 juta atau 12,8 persen di antaranya merupakan turis asal Cina.
Tapi kini, setelah ‘goyangan’ virus corona, mau tak mau Indonesia harus bersiap-siap menghadapi segala risiko. Pertama, mulai terjadi penurunan volume ekspor-impor yang menyebabkan keterisian ruang muat kapal kargo berkurang. Ketua Umum Asosiasi Pemilik Kapal Nasional Indonesia (INSA) Carmelia Hartoto menyebut penurunan volume muatan kapal ini mencapai 10 persen.
Peneliti Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance atau Indef, Abdul Manap Pulungan bahkan memperkirakan pertumbuhan ekonomiIndonesia pada 2020 tidak akan mencapai target 5,3 persen. Hal itu tak lain karena virus corona telah menyebar ke berbagai negara.
"Pertumbuhan ekonomi 5,3 persen tidak realistis untuk 2020. Kondisi global tertekan karena performa Cina yang turun dan menyebarnya virus corona," kata Abdul Manap di ITS Tower Jakarta, Kamis, 6 Februari 2020.
<!--more-->
Saat ini, larangan memang baru berlaku untuk rute penerbangan Indonesia-Cina khusus penumpang komersial. Selain itu, juga ada larangan baru terbatas pada impor produk hewan hidup. Namun, kata Carmelia, penurunan tingkat keterisian ruang muat ini terjadi karena importir ikut berhati-hati mengimpor bahan pangan lainnya. “Karena khawatir tidak ada yang beli di sini,” ujar Carmelia.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Pariwisata, Kosmian Pudjiadi, mengatakan sejumlah hotel di Bali mulai kehilangan tamu. Sebab, 1,4 juta dari 2 juta turis Cina, memiliki destinasi ke Bali. “Mereka sekarang enggak ada turisnya,” kata Kosmian.
Kosma juga mendapat kabar bahwa aktivitas beberapa pabrik mulai terganggu, Sebab, ada pekerja mereka yang merupakan warga Cina, belum bisa kembali ke Indonesia akibat penerbangan Indonesia-Cina sudah ditutup sementara oleh Kementerian Perhubungan. “Pabriknya stuck, kebanyakan di proyek PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap),” kata Kosmian.
Atas berbagai situasi ini, berbagai langkah antisipasi mulai dilakukan pemerintah. Salah satunya untuk mengantisipasi dampak bagi daerah-daerah yang bakal kehilangan turis Cina. Daerah-daerah itu adalah Bali, Kepulauan Riau, Manado, dan Danau Toba, Sumatera Utara.
Dalam rapat terbatas dua hari lalu, Iskandar menyebut pemerintah bakal memprioritaskan perjalanan dan acara dinas di daerah-daerah ini. “Pesannya ke semua menteri yang melaksanakan,” kata Iskandar.
Menanggapi situasi ini, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Piter Abdullah juga melihat bahwa wabah virus corona akan memangkas pertumbuhan ekonomi Indonesia di Triwulan I 202. Situasi ini terjadi dari turunnya kinerja sektor pariwisata, hingga pasokan bahan baku industri manufaktur dari Cina yang terhambat.
Untuk itu, Piter menyarankan pemerintah untuk lebih fokus dalam ekonomi domestik, sebagai solusi atas berbagai potensi pelemahan ini. Salah satunya dengan menjaga daya beli masyarakat untuk mendorong konsumsi.
Setidaknya, kata Piter, kebijakan-kebijakan yang menggerus daya beli masyarakat harus dihentikan, di tengah situasi penyebaran wabah virus corona ini. “Jangan ada lagi kebijakan seperti menaikkan iuran BPJS Kesehatan, cukai rokok, hingga harga gas,” kata dia
FAJAR PEBRIANTO | HENDARTYO HANGGI | BISNIS