100 Hari Pemerintahan Jokowi, Ekonomi Melemah Sampai Kapan?
Reporter
Ghoida Rahmah
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Rabu, 29 Januari 2020 17:51 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kinerja perekonomian masih belum mengkilap pada periode 100 hari pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah berujar target Presiden Jokowi untuk memacu pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen di periode Kabinet Indonesia Maju ini pun kian diwarnai pesimisme.
“Kebijakan-kebijakan yang diambil justru bersifat menahan pertambahan ekonomi,” ujar dia kepada Tempo, Selasa 28 Januari 2020. Pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun lalu justru menunjukkan tren melambat, tak kunjung beranjak dari posisi 5 persen.
Piter menuturkan daya beli masyarakat yang terpangkas akibat penurunan harga komoditas dan dampak pelemahan global, semakin tertekan dengan sejumlah kebijakan kenaikan harga di awal tahun ini.
Di antaranya adalah kenaikan tarif iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan cukai rokok, penyesuaian tarif tol, hingga perubahan pola penyaluran subsidi gas LPG. “Pemerintah seperti melupakan bahwa konsumsi merupakan mesin utama pendorong pertumbuhan ekonomi,” katanya.
Kinerja investasi yang menjadi salah satu fokus utama Presiden Jokowi juga belum sesuai harapan. “Dua tahun terakhir kan memang sudah melambat karena katanya dampak pemilu sehingga orang wait and see, tapi nyatanya setelah usai juga masih lesu,” ujar Ekonom PT Bank Central Asia Tbk, David Sumual.
Indonesia juga kalah cepat dari negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand dalam menarik investor Cina yang ingin merelokasi pabriknya sebagai imbas dari perang dagang.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listyanto menambahkan kegiatan usaha sektor riil belum sepenuhnya bangkit, yang tercermin dari pertumbuhan kredit perbankan yang tak sampai 7 persen di penghujung 2019. “Padahal suku bunga acuan sudah turun, tapi permintaan kredit modal kerja untuk sektor perdagangan maupun manufaktur masih terbatas,” ucapnya.
Eko mengatakan stimulus sektor riil harus terus dilanjutkan untuk menggerakkan roda perekonomian dan mengerek kinerja investasi lebih optimal.
“Inisiatif deregulasi dan pemberian insentif dengan mencetuskan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja maupun Perpajakan saat ini cukup memberikan sentimen confidence pada pelaku usaha, tapi sayangnya masih belum terbaca arahnya seperti apa karena pembahasan yang cenderung tertutup dan tergesa-gesa,” kata dia.
<!--more-->
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta Widjaja Kamdani menambahkan kebijakan insentif yang bergulir selama ini, khususnya di sisi fiskal juga belum memberikan dampak ekonomi yang signifikan. “Karena rasio aplikasi insentif dengan penerima isnentifnya masih rendah,” ujarnya. “Dari sisi sistem juga masih belum ada penyempurnaan yang memadai dalam perizinan terintegrasi atau Online Single Submission (OSS), sehingga kendala yang dihadapi pelaku usaha di lapangan masih relatif sama.”
Menurut Shinta, ke depan Omnibus Law harus segera dituntaskan dan dipastikan memiliki konsistensi dalam pelaksanaannya di lapangan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengatakan tekanan terhadap perekonomian dan kinerja investasi beberapa waktu terakhir tak terlepas dari kondisi perlambatan ekonomi global. “Ini mempengaruhi turunnya volume perdagangan dan harga komoditas, dan ini tidak hanya dirasakan Indonesia saja tapi negara-negara lainnya juga terdampak,” ucapnya.
Dia menjelaskan kondisi eksternal yang menantang itu juga memukul kinerja ekspor Indonesia, yang kemudian berdampak pada defisit neraca perdagangan. “Tahun 2019 bukan tahun yang mudah, pelemahan ekonomi global mulai merembes ke domestik, namun daya tahan ekonomi kita tetap remarkable,” ujar Sri Mulyani.