Telegram Kapolri dan Pelemahan Penindakan Korupsi di Daerah
Reporter
Egi Adyatama
Editor
Ninis Chairunnisa
Senin, 6 Januari 2020 19:57 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pada 31 Desember 2019T, Kapolri Jenderal Idham Azis mengeluarkan telegram terbaru bernomor ST/3388/XII/HUM.3.4/2019. Telegram itu berisi petunjuk teknis untuk para Kepala Kepolisian Daerah, dalam menyelidiki perkara tindak pidana korupsi di daerah. Belum lama dikeluarkan, aturan ini langsung mendapat sorotan masyarakat.
Kelompok koalisi masyarakat sipil menyoroti langkah Kapolri itu sebagai bentuk perpanjangan pemerintah pusat untuk pasang badan demi investasi. Mereka menilai instruksi menindaklanjuti pesan Presiden Jokowi itu, berpotensi membuat pemerintah dan penegak hukum permisif terhadap korupsi.
"Ini artinya mencoba untuk permisif terhadap korupsi yang terjadi di pemerintahan. Padahal kalau bicara korupsi kan kejahatan luar biasa," kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah kepada Tempo, Ahad, 5 Januari 2020.
ICW melihat akar permasalahan ada pada instruksi yang meminta Kepolisian di daerah dan satuan di bawahnya, agar lebih mengendepankan upaya pencegahan korupsi.
Lebih detailnya, telegram itu berisi tiga arahan utama, yakni penanganan pengaduan masyarakat soal dugaan korupsi penyelenggara daerah; pelaksanaan pencegahan, pengawasan, dan penanganan permasalahan dana desa; dan upaya pencegahan, penyelidikan, dan penyidikan tindak pidana korupsi yang lebih profesional.
Kapolri juga menginstruksikan penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi di pemerintahan daerah, agar dilakukan dengan mengedepankan koordinasi dengan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dalam rangka audit.
Ada dua lembaga besar yang menjadi APIP, yakni inspektorat jenderal dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Inspektorat dan BPKP, hanya bertugas melakukan pengawasan. Penindakan pelanggaran hukum, tetap berada di ranah kewenangan polisi.
Wana mengatakan jangan sampai audit dan komunikasi dengan APIP menjadi langkah penyelesaian secara damai.
Senada dengan Wana, peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Rivanlee Anandar meyakini koordinasi dengan APIP akan melemahkan penegakan hukum terhadap kasus korupsi alih-alih preventif.
Menurut Rivanlee, penegakan hukum adalah konsekuensi dari adanya tindak pidana korupsi. Terlebih, ada pula Pasal 4 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan pengembalian kerugian negara tak menghapus tindak pidana.
"Tak boleh ada keistimewaan terhadap investor atau pun yang terkait dengan dana desa yang rentan diselewengkan," ujar Rivanlee.
Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit, sejak awal enggan menyebut hal ini sebagai bentuk pelemahan penindakan korupsi. Ia mengatakan tujuan penerbitan surat telegram ini adalah hanya untuk menjelaskan tentang tindakan yang harus dihindari oleh kepolisian.
Tujuannya, agar mencegah korupsi dan prosedur penanganan laporan tindak pidana korupsi yang melibatkan pemerintah daerah serta permasalahan dana desa. "Untuk melakukan program pencegahan korupsi sekaligus penindakan terhadap korupsi," kata Kabareskrim Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit, Sabtu malam, 4 Januari 2020.
Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Oce Madril, mengatakan jika dibiarkan, telegram semacam ini bisa dimaknai sebagai penghindaran Polri dari langkah penindakan tegas. Hal ini, kata Oce, akan jadi preseden buruk.
Oce mengatakan ia lebih setuju jika telegram itu berisi kebijakan tentang teknis bagaimana membenahi cara Kepolisian secara internal menangani dugaan korupsi secara profesional. "Misalnya bagaimana mereka mengusut itu secara profesional, bagaimana mereka melaporkan perkembangannya dibuat transparan. Agar tak ada salah sangka bahwa penegakan hukum di daerah bermain mata," kata Oce saat dihubungi Tempo, Senin, 6 Januari 2020.
BUDIARTI PUTRI UTAMI | ANTARA