Banjir Jakarta: Normalisasi, Naturalisasi, dan Debat Itu
Reporter
Fransisco Rosarians Enga Geken
Editor
Dwi Arjanto
Sabtu, 4 Januari 2020 15:45 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -Polemik klasik normalisasi versus naturalisasi itu mencuat kembali.
Pemulihan kondisi sungai, yang menjadi salah satu cara untuk menangkal banjir Jakarta, menjadi perdebatan, seperti saat air merendam Ibu Kota pada April tahun lalu.
Menurut Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimoeljono, normalisasi Sungai Ciliwung tidak ampuh menangkal banjir karena proyek tersebut tidak kunjung selesai.
Saat ini, proyek pemerintah pusat itu baru berjalan di 16 dari 33 kilometer. Sisanya mandek karena pembebasan lahan oleh pemerintah DKI tidak kunjung dilanjutkan sejak Anies Baswedan menjadi gubernur pada 2017.
"Pemerintah provinsi bagian sosialnya karena untuk lahan sodetan memakai anggaran pendapatan dan belanja negara," ujar Basuki di Jakarta, Jumat, 3 Januari 2020.
Saat banjir mulai merendam Jakarta, Rabu 1 Januari 2020 lalu, Basuki mengklaim lokasi yang telah dinormalisasi terbebas dari luapan air Kali Ciliwung.
Tapi Anies membantahnya. "Di sini memang telah dilakukan normalisasi. Tapi faktanya masih tetap terjadi banjir," ujar Anies di Kampung Pulo, Jakarta Timur, dua hari lalu.
<!--more-->
Basuki menjawab banjir di Kampung Pulo itu akibat normalisasi baru berjalan sepenggal, sehingga air dari sungai bergerak merendam permukiman yang lebih rendah dari beton di tubir Ciliwung. "Tapi air tidak melimpasi parapet yang kami bikin," kata dia.
Mandeknya normalisasi Ciliwung berkaitan dengan naturalisasi sungai ala Anies. Dari Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2019 tentang Naturalisasi Sungai, definisinya adalah pengelolaan sungai melalui pengembangan ruang terbuka hijau dengan memperhatikan kapasitas tampungan, fungsi pengendalian banjir, dan konservasi.
Konsep itu tidak menggunakan beton di tepian, melainkan bronjong batu kali. Anies menerapkannya di empat sungai, di antaranya Kali Sunter.
"Buat saya, mau naturalisasi, mau normalisasi, dikerjakan. Jangan enggak dikerjakan," kata Menteri Basuki. Menurut dia, kedua konsep itu memiliki persamaan, yaitu pelebaran badan dan pengerukan sungai untuk memperbesar kapasitas.
Anies memilih tidak memperpanjang perselisihan mengenai kedua konsep itu. "Sesudah semua ini selesai, baru kita diskusikan tentang apa yang harus dikerjakan, termasuk perdebatan itu," ujar dia di lokasi pengungsian banjir di Rawabuaya, Jakarta Barat, Jumat petang.
Dia mengatakan konsentrasi penanganan banjir Ibu Kota berada di wilayah hulu dengan membangun bendungan.
Tempo mendatangi lokasi normalisasi dan naturalisasi, kemarin. "Warga ada yang mengungsi, ada juga yang bertahan. Sama seperti banjir biasanya," kata Putri Andini, warga RW 3, Kampung Pulo. Menurut perempuan berusia 30 tahun itu, beton proyek normalisasi tidak menghambat luapan air Ciliwung memasuki permukiman mereka.
<!--more-->
Sementara itu, Lurah Sunter Agung, Jakarta Utara, Danang Wijanarko mengatakan naturalisasi kali dan Danau Sunter oleh Dinas Sumber Daya Air sejak September 2019 menghindarkan warganya dari ancaman banjir.
Petugas juga memulihkan fungsi pintu-pintu air yang sudah bertahun-tahun rusak dan membuat sejumlah kolam tampungan tambahan.
“Makanya, saat daerah lain banjir, kami kering. Memang sempat ada genangan air beberapa puluh sentimeter. Tapi langsung surut,” ujar Danang.
Borgias Da Silva, warga Sunter Jaya, menceritakan cepatnya air banjir surut pada 1 Januari lalu. Menurut dia, banjir yang rutin datang saban tahun di sana seolah berhenti. “Kami bahkan sudah siap ke pengungsian. Ternyata air justru surut,” kata guru berusia 33 tahun itu.
Meski demikian, efek naturalisasi Kali Sunter tidak dirasakan merata oleh warga Jakarta Utara. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jakarta mencatat luapan Kali Sunter turut menyebabkan banjir 40 sentimeter yang belum surut di Kelurahan Rorotan, Cilincing.
Deputi Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Herizal, menilai polemik naturalisasi dan normalisasi tak tepat dalam pembahasan banjir Ibu Kota.
<!--more-->
Dia mengatakan banjir diperparah oleh limpasan air dari hulu atau Bogor serta berkurangnya kapasitas waduk, danau, kali, dan sungai akibat sedimentasi. Tapi faktor utama penentu lokasi dan tinggi banjir awal tahun ini tersebut adalah jumlah intensitas hujan di daerah tersebut.
Menurut Herizal, banjir besar yang menerjang Jakarta dan sekitarnya pada malam pergantian tahun itu disebabkan oleh peningkatan curah hujan secara ekstrem.
Krisis iklim, dia melanjutkan, telah menambah intensitas curah hujan sebanyak 10-20 milimeter per hari setiap 10 tahun. “Hujan-hujan besar yang dulu sangat jarang terjadi saat ini berpeluang kerap hadir,” kata dia kepada Tempo.
Banjir di wilayah utara dan barat DKI pada 2007 dan 2015 tercatat mencapai 150 milimeter per hari. Angka itu belum apa-apa dibanding 95 kelurahan di Jakarta Timur dan Barat yang diterjang hujan dengan intensitas 226-377 milimeter per hari pada malam pergantian tahun lalu. “Ini rekor baru untuk curah hujan yang jatuh di DKI Jakarta sejak pencatatan 1866,” kata Herizal.
Pakar lingkungan hidup dari Universitas Indonesia, Tarsoen Waryono, menilai penanganan banjir Jakarta dapat menggabungkan konsep normalisasi dan naturalisasi.
Di satu sisi, pemerintah harus mencegah degradasi badan sungai, seperti pada normalisasi, serta membangun sumur resapan, restorasi tandon air, dan rehabilitasi lahan untuk memulihkan air tanah di sisi lain. “Daerah tangkapan efektif pada daerah aliran Sungai Ciliwung hanya 13 persen. Maka, daerah hilir pasti banjir, air tanah terganggu, sampah, dan sedimen,” ujar dia terkait debat normalisasi atau naturalisasi.
CAESAR AKBAR, IMAM HAMDI, AHMAD FAIZ, ADAM PRIREZA, ANWAR SISWADI, LANI DIANA