Veto Para Menteri Koordinator, Kebijakan Lepas Tangan Jokowi?
Reporter
Friski Riana
Editor
Endri Kurniawati
Minggu, 27 Oktober 2019 13:01 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - "Tidak ada visi misi menteri. Yang ada adalah visi misi presiden dan wakil presiden" menjadi arahan pertama Presiden Joko Widodo atau Jokowi kepada menteri Kabinet Indonesia Maju saat memimpin sidang kabinet paripurna pertamanya di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis, 24 Oktober 2019.
Jokowi meminta para menteri di kabinet jilid II mencatat arahan pertamanya. Presiden Jokowi menyampaikan bahwa pada lima tahun periode pertama pemerintahannya, sejumlah menteri yang belum paham mengenai payung hukum keputusan rapat. "Kalau sudah diputuskan dalam rapat, jangan sampai di luar masih diributkan lagi."
Selain itu, Jokowi juga mengatakan kerja kabinet merupakan kerja tim yang dikoordinasikan para menteri koordinator. Mantan Wali Kota Solo itu tak mau ada lagi menterinya yang bekerja sektoral dan sendiri-sendiri. Pasalnya, kata dia, ada menteri yang tidak pernah menghadiri undangan rapat menko. "Ada yang seperti ini. Saya juga baru dengar. Bagaimana kita bisa mengkonsolidasi, koordinasi, diundang rapat oleh menko tidak pernah hadir? Hal seperti ini yang harus saya garis bawahi. Sekali lagi, kerja tim."
Agar kejadian serupa tak terulang di kabinet baru, Jokowi memberi kewenangan pada keempat menteri koordinatornya. Yaitu memveto kebijakan menteri yang dianggap bertentangan dengan visi presiden dan bentrok dengan kebijakan menteri lain yang sejajar.
Kebijakan para menteri yang bisa dibatalkan, kata Menko Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, salah satunya adalah peraturan menteri. Menurut dia, para menko nantinya bisa langsung menggunakan hak vetonya kepada menteri yang membuat kebijakan yang bertentangan itu tanpa melapor kepada presiden. Jika masih ada keraguan, para menko bisa melapor dan berkonsultasi. "Kalau sudah gamblang, masa apa-apa mau lapor," kata Mahfud.<!--more-->
Rencana Jokowi memberikan hak veto kepada para menko ditanggapi dingin oleh Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komaruddin. Ia menilai ada motif politik di balik kebijakan itu. "Bisa saja ini motif kalau Presiden cuci tangan kalau ada hal yang salah tak mau disalahkan. Sepertinya arahnya ke situ," kata Ujang saat dihubungi Tempo, Sabtu, 26 Oktober 2019.
Ujang menuturkan, tugas para menko sifatnya koordinatif dan tak seharusnya diberikan hak veto. Sebab, menteri-menteri dalam koordinasi memiliki kebijakan yang sama dengan semua menteri, termasuk dengan menko. Sehingga, para menteri bisa langsung ke presiden, bukan kepada menko.
Kebijakan lepas tangan, kata akademisi Universitas Al-Azhar Indonesia ini juga pernah dilakukan Jokowi saat membubarkan kelompok Hizbut Tahrir Indonesia atau HTI. "Seolah-olah yang disalahkan Menko Polhukam, bukan Presiden. Ini akan lebih dikeraskan lagi," kata dia.
Selain itu, Ujang juga melihat karena Jokowi sudah tidak bisa mencalonkan di pemilihan presiden mendatang, maka menteri koordinator yang menjadi tameng menghadapi kemarahan masyarakat atas kebijakan pemerintah. Misalnya, tentang masyarakat ingin Perpu KPK, yang hingga hari ini belum dikeluarkan. “Ada indikasi tidak dikeluarkan. Kalau masyarakat marah, yang jadi tameng Menko Polhukamnya. Ini sepertinya arahnya ke situ."