Menaruh Asa Baru pada Startup Berlabel Unicorn
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Rahma Tri
Kamis, 10 Oktober 2019 16:06 WIB
TEMPO.CO, Jakarta – Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyebut saat ini di Indonesia sudah ada lima startup atau perusahaan rintisan digital yang menyandang status unicorn. Artinya, kelima startup ini memiliki valuasi US$ 1 miliar atau lebih dari Rp 14 triliun. Ini adalah asa baru untuk menggerakkan perekonomian, di saat bisnis konservatif telah memasuki senja kala.
Lima unicorn itu adalah Gojek, Tokopedia, Bukalapak, Traveloka, dan yang terbaru Ovo. Diharapkan, akhir tahun ini akan ada tambahan satu unicorn lagi di Tanah Air. Namun, Rudiantara belum menyebut startup mana yang akan menjadi unicorn berikutnya.
"Kalau kita lihat secara teori, itu mengikuti aliran uang. Dilihat dari APBN kita 20 persen untuk pendidikan atau lebih dari Rp 500 triliun," Rudiantara memberikan sedikit petunjuk, dalam wawancara dengan Tempo di kantornya, Jakarta, Selasa, 8 Oktober 2019.
Rudiantara melihat terwujudnya lima unicorn saat ini tidak terlepas dari peran pemerintah. Sebab, tanpa iklim yang kondusif, tidak akan ada investor yang mau menanamkan modalnya di perusahaan-perusahaan rintisan tersebut. Peran Kementerian Kominfo pun berubah dari regulator, menjadi fasilitator, dan bahkan akselerator.
"Lebih baik minta maaf dari pada minta izin. Kalau kita minta izin terus, tidak akan kita punya unicorn lima ini. Kalau minta izin, kita tidak punya ekosistem startup yang kayak begini," kata Rudiantara.
Menteri yang juga profesional telekomunikasi ini mengenang, pada 2018, Kominfo mengeluarkan 18 peraturan menteri, namun "membunuh" 70 peraturan menteri. Tahun ini, Kominfo menerbitkan lagi 37 Permen, dan "membunuh" ada 90 lebih Permen. "Anak muda bos, diregulasi ketat-ketat, mana mau, mana bisa mereka, biarin saja bertumbuh besar. Jadi pindah dari regulator jadi fasilitator, bahkan akselerator," ujar Rudiantara.
Sejumlah studi menunjukkan, potensi ekonomi digital di Indonesia dari tahun ke tahun makin besar. Dalam riset berjudul e-Conomy SEA 2019 yang dilansir Google, Temasek dan, Bain & Company menaksir potensi ekonomi digital Tanah Air bakal menyentuh US$ 133 miliar atau Rp 1.862 triliun di tahun 2025 mendatang. “Untuk prediksi realisasi tahun ini saja bertumbuh menjadi US$ 40 miliar,” kata Manajeng Director Google Indonesia Randy Jusuf di kantornya, Senin 7 Oktober 2019.
Salah satu cermin tumbuh pesatnya ekonomi digital di Indonesia adalah munculnya unicorn terbaru, yakni Ovo. Perusahaan pembayaran digital itu diduga telah mencapai US$ 2,9 miliar atau Rp 41 triliun.
<!--more-->
Presiden Direktur PT Visionet Indonesia alias Ovo Karaniya Dharmasaputra mengatakan label unicorn yang diraih perusahaannya adalah hasil dari terbangunnya ekosistem keuangan digital di Indonesia. "Kami bisa tumbuh kayak sekarang enggak mungkin tanpa dukungan pemerintah, apalagi kami difintechyang highly regulated. Karena itu ekosistem menjadi penting," ujar Karaniya beberapa waktu lalu.
Potensi ekonomi yang besar dari startup—terutama unicorn—ini tentunya harus dimanfaatkan dengan baik agar dapat memberikan multiplier effectpada perekonomian nasional. Pemerintah pun sadar betul akan hal ini sehingga terus berupaya meningkatkan kualitas startup. Salah satunya, dengan menggelar program 1.000 startup, kawah candradimuka bagi perusahaan rintisan agar mampu melewati proses inkubasi, akselerasi hingga menjadi startup yang kuat.
Akan tetapi, harapan besar yang digantungkan pada bisnis rintisan tidak bisa terpenuhi dengan mudah begitu saja. Data menunjukkan, sekitar 95 persen startup atau perusahaan rintisan di dunia gagal mencapai kesuksesan atau sekadar meningkatkan valuasinya.
Menyikapi fakta ini, Rudiantara berdalih, mayoritas perusahaan rintisan itu tersungkur karena keliru memvalidasi pasar. “Kebanyakan karena market validation (validasi pasar). Orang enggak dihitung pasarnya berapa besar, lalu enggak dites seberapa cocok pasarnya. Kebanyakan failed (gagal) di situ,” ujar Rudiantara saat ditemui di Hotel Hermitage, Jakarta Pusat, Kamis, 10 Oktober 2019.
Persoalan lainnya yang membuat perusahaan rintisan gagal berkembang ialah benturan aturan. Rudiantara memandang, saat ini aturan mendirikan entitas berbentuk rintisan belum luwes.
Ranah peraturan pendirian usaha digital sendiri ada di Badan Ekonomi Kreatif atau Bekraf. Menukil Panduan Pendirian Usaha Pengembangan Aplikasi Digital yang diterbitkan Bekraf, setidaknya ada enam persyaratan yang mesti dipenuhi bila orang atau kelompok orang ingin memperoleh legalisasi usaha aplikasi.
Pertama, mesti memiliki surat keterangan domisili atau SKDU yang dikeluarkan oleh kantor kelurahan atau kecamatan tempat usaha didirikan. Kedua, entitas wajib memiliki Nomor Wajib Pajak atau NPWB yang diterbitkan oleh kantor pelayanan pajak atau kantor pengamatan potensi perpajakan.
Ketiga, pelaku usaha harus mengantongi izin usaha mikro kecil dari perangkat pemerintah daerah. Keempat, perusahaan mesti memiliki nomor tanda daftar perusahaan atau TDP. Bentuk perusahaan bisa berupa badan usaha, koperasi, firma, atau perseroan terbatas.
Kelima, perusahaan mesti mengantongi izin keterangan gangguan yang menyatakan bahwa keberadaan perusahaan itu tidak mengganggu lingkungan sekitar. Izin ini bakal diterbitkan oleh pemerintah kabupaten atau kota. Kemudian, keenam, perusahaan mesti mengantongi surat izin usaha perdagangan atau SIUP.
<!--more-->
Rudiantara berpendapat, untuk mendukung penetrasi pertumbuhan bisnis perusahaan rintisan, perusahaan semestinya memberikan kelonggaran izin. Ia khawatir, jika persoalan regulasi tidak tertangani, angka perusahaan rintisan di Indonesia yang masuk golongan succes rate akan makin kecil.
Chief Executive Officer Halodoc Jonathan Sudharta tak menampik bahwa butuh upaya besar untuk mengentaskan perusahaan rintisan hingga mencapai succes rate. Ia membeberkan, untuk mengail perolehan pendapatan Series B+, perusahaan teknologi yang berfokus menghubungkan masyarakat dan penyedia layanan kesehatan itu perlu waktu tiga tahun. “Untuk mencapai itu, kami mesti melewati dua tahap. Tahap pertama, berfokus pda paid pain (kesakitan). Karena rata-rata startup yang gagal itu terjebak pada solution (solusi),” ujarnya.
Artinya, startup yang jalan di tempat rata-rata hanya berfokus mencari solusi tanpa memusatkan perhatiannya pada kelemahan perusahaan. Kedua, fokus membidik pasar sesuai dengan pangsanya. Bila sudah mampu menjaring pasar, perusahaan akan lebih mudah menjajaki kerja sama dengan entitas lain untuk meningkatkan pendanaan.
Jalan panjang bisnis rintisan sebagai tumpuan baru pertumbuhan ekonomi Indonesia tampaknya masih berliku. Partner dan Leader of Asia Pacific Digital Practice dari Bain & Company Florian Hoppe mengatakan Indonesia memiliki kesamaan karakteristik dengan negara raksasa digital Cina. Menurut dia, untuk bisa mengejar potensi seribu triliun, Indonesia harus bisa memaksimalkan utilisasi pembayaran digital. “Dari kisaran 264 juta penduduk, hanya 42 juta yang memiliki rekening bank, ini peluang besarnya,” kata Florian.
Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance atau Indef, Nailul Huda, optimistis, bertambahnya jumlah unicorn di Indonesia menandakan potensi ekonomi digital di Indonesia masih sangat besar. Ia berpendapat, saat ini masih banyak sektor-sektor yang masih bisa dimasuki oleh perusahaan rintisan.
“Mengacu kepada laporan Google dan Temasek, besaran ekonomi digital di Indonesia menyentuh angka yang sangat besar. Hal ini akan mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi,” tuturnya. Ke depan, ia mengatakan peluang pertumbuhan ekonomi digital masih cukup cerah. Namun, ada beberapa hambatan dari resesi yang mengakibatkan aliran investasi menjadi seret.
Menurut Nailul, pertumbuhan perusahaan rintisan dengan mentasnya unicorn-unicorn anyar ini bakal mendorong peningkatan kontribusi ekonomi digital terhadap pendapatan produk domestik bruto menjadi 11 persen. Adapun tahun ini, kontribusi ekonomi digital terhadap PDB ditaksir baru menyentuh 8-9 persen. Dua persen lagi untuk mewujudkan asa yang disematkan di bahu sang unicorn...
HENDARTYO HANGGI | ANDI IBNU | EKO WAHYUDI | CAESAR AKBAR