Alasan Kenapa Tak Butuh Buzzer Lagi Setelah Pemilu

Minggu, 6 Oktober 2019 14:22 WIB

Ilustrasi buzzer. Shutterstock

TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Staff Kepresiden Moeldoko angkat bicara soal ribut-ribut para buzzer alias pendengung di media sosial. Ia mengatakan sudah beberapa kali meminta para buzzer ini agar berhenti gaduh di media sosial.

"Buzzer ini kan muncul karena perjuangan menjaga marwah pemimpinnya. Dalam situasi ini, relatif sudah enggak perlu lagi buzzer-buzzeran," kata Moeldoko di Gedung Krida Bhakti, Jakarta, Jumat, 4 Oktober 2019.

Moeldoko mengatakan, yang diperlukan saat ini adalah dukungan politik yang membangun, bukan yang bersifat destruktif. Para pendengung, kata Moeldoko, selalu melemparkan kata-kata yang tidak enak didengar dan tidak enak di hati. "Itu lah destruktif, dan itu sudah tidak perlu lah," ujarnya.

Belakangan ini, desakan agar pemerintah menertibkan buzzer semakin menguat. Alasannya, dalam beberapa isu para pendengung ini malah memanaskan suasana. Dalam isu revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, misalnya, para pendengung ini malah terkesan mendukung pelemahan KPK dengan cara yang tak patut.

Berdasarkan pemantauan Drone Emprit, misalnya, para buzzer ini menggunakan cara bagi-bagi hadiah alias give away untuk menggalang tagar yang mendukung revisi UU KPK. Drone Emprit merupakan aplikasi pemantau percakapan di media sosial buatan Fahmi Ismail.

Advertising
Advertising

"Ketika membangun isu di KPK itu pelan-pelan, ada tagar-tagar yang diangkat. Tagar-tagar ini menggunakan semuanya, cyber troop dan computational propaganda," kata penemu Drone Emprit, Ismail Fahmi.

Ia mengatakan ketika membangun isu KPK, pasukan siber yang terdiri dari tim buzzer, influencer, dan strategist secara perlahan mengangkat tagar-tagar bernarasi positif yang terekam Drone Emprit pada 10-17 September 2019. Contoh tagar yang digunakan, yaitu #RevisiUUKPKForNKRI, #KPKKuatKorupsiTurun, #DukungRevisiUUKPK, #KPKLebihBaik, #KPKPatuhAturan.

Di samping itu, kata Ismail, ada isu yang sudah lama namun kembali diangkat, yaitu KPK dan Taliban. Narasi yang dibangun ialah seolah-olah di dalam KPK ada Taliban, dan bertujuan untuk memecah opini publik pada saat pengesahan revisi UU KPK.

Sebab, kemunculan narasi itu membuat persepsi publik terhadap KPK menjadi negatif. Padahal, Taliban yang dimaksud tidak memiliki asosiasi terhadap kelompok Taliban di Afghanistan."Opini publik pecah antara yang mendukung, yang mendukung mulai ragu-ragu, tidak percaya," katanya.

Agar tagar-tagar tersebut trending, Ismail mengatakan bahwa pasukan siber ini menggunakan skema giveaway atau memberi hadiah bagi netizen. Akun @MenuWarteg salah satunya yang mengadakan undian berhadiah dengan menggunakan tagar #KPKPatuhAturan. Selain mengadakan undian berhadiah, pasukan siber ini juga membuat meme yang banyak. "Ini sistematisnya bagus, kampanyenya bagus, step by step membangun opini publik, dan it works," ujar Ismail.

Ismail menuturkan, serangan KPK dengan isu Taliban sangat kuat. Hal ini pun berdampak pada akun-akun yang membela KPK ikut tenggelam di media sosial, karena mereka bergerak secara sporadis dan tidak terorganisir seperti pasukan siber.

Peneliti Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), Rinaldi Camil, mengatakan penggunaan buzzer untuk kepentingan politik sebenarnya sudah tak diperlukan lagi. CPIG meneliti soal buzzer pada 2017.

Keterlibatan buzzer di Indonesia dalam peristiwa politik, masih dari penelitian CIPG, telah berkontribusi negatif terhadap citra dan pemaknaan khalayak terhadap buzzer. Sejak saat itu, buzzer mendapat cap negatif sebagai pihak yang dibayar untuk memproduksi konten negatif di media sosial.

Sebetulnya, kata Rinaldi, peran buzzer tidak diperlukan lagi setelah pemilu atau ketika kandidat sudah menang. Sebab, keberadaannya malah menjadi distorsi. Sehingga, akan sulit membedakan mana aspirasi publik yang otentik. "Penggunaan buzzer untuk aktivitas mendukung pemerintah secara citra itu tidak akan membantu, karena akan menciptakan gap antara citra dan realitas," kata dia.

Berdasarkan penelitian lembaga ini, penggunaan buzzer untuk kepentingan politik mulai digunakan pada 2009. "Brand masuk melihat peluang marketing melalui jasa buzzer influencer pada 2006. Kemudian itu masuk ke politik untuk membangun citra kandidat," kata Rinaldi saat ditemui Tempo di Jakarta, Kamis, 3 Oktober 2019.

Pada perkembangannya, buzzer digunakan untuk melawan kampanye hitam dan meningkatkan citra positif kandidat agar berpengaruh terhadap potensi keterpilihan.

Rinaldi menjelaskan, buzzer memiliki kemampuan dalam mengamplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian atau membangun percakapan. Buzzer biasanya memiliki jaringan luas, misalnya punya akses ke informasi kunci, mampu menciptakan konten sesuai konteks, cakap menggunakan media sosial, persuasif, dan digerakkan motif tertentu (bayaran dan sukarela).

Namun, istilah buzzer ini juga kerap overlap dengan influencer. Orang menilai influencer juga buzzer karena sama-sama memiliki kemampuan mengamplifikasi pesan. Yang membedakan dengan buzzer, influencer dianggap memiliki keahlian dalam bidang tertentu sehingga suaranya laik didengar publik.

"Dalam konteks ini buzzer bermanfaat untuk politik pragmatis dimana ada opini-opini yang perlu dimenangkan, supaya citra kandidat itu tidak tenggelam dengan fitnah-fitnah," katanya.

Berita terkait

Standard Chartered Perkiraan Pertumbuhan PDB Indonesia 2024 Menjadi 5,1 Persen

17 jam lalu

Standard Chartered Perkiraan Pertumbuhan PDB Indonesia 2024 Menjadi 5,1 Persen

Standard Chartered menurunkan perkiraan pertumbuhan produk domestik bruto atau PDB Indonesia tahun 2024 dari 5,2 persen menjadi 5,1 persen.

Baca Selengkapnya

Sri Mulyani: Anggaran Pemilu 2024 Belum Terbelanjakan Rp 12 Triliun

3 hari lalu

Sri Mulyani: Anggaran Pemilu 2024 Belum Terbelanjakan Rp 12 Triliun

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan masih ada Rp 12,3 triliun anggaran Pemilu 2024 yang belum terbelanjakan.

Baca Selengkapnya

Junimart Minta Seleksi Petugas Badan Adhoc Pilkada Dilakukan Terbuka

3 hari lalu

Junimart Minta Seleksi Petugas Badan Adhoc Pilkada Dilakukan Terbuka

Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Junimart Girsang mengatakan, badan Adhoc Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), harus diseleksi lebih ketat dan terbuka untuk menghindari politik transaksional.

Baca Selengkapnya

Pakar Hukum Unand Beri Catatan Putusan MK, Termasuk Dissenting Opinion 3 Hakim Konstitusi

4 hari lalu

Pakar Hukum Unand Beri Catatan Putusan MK, Termasuk Dissenting Opinion 3 Hakim Konstitusi

Pakar Hukum Universitas Andalas atau Unand memberikan tanggapan soal putusan MK dan dissenting opinion.

Baca Selengkapnya

Tim Joe Biden akan Terus Gunakan TikTok untuk Kampanye Walau Dilarang DPR

4 hari lalu

Tim Joe Biden akan Terus Gunakan TikTok untuk Kampanye Walau Dilarang DPR

Tim kampanye Joe Biden berkata mereka tidak akan berhenti menggunakan TikTok, meski DPR AS baru mengesahkan RUU yang mungkin melarang penggunaan media sosial itu.

Baca Selengkapnya

Pemilu Rawan Politik Uang Kaesang Usulkan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup, Ini Bedanya dengan Proporsional Terbuka

8 hari lalu

Pemilu Rawan Politik Uang Kaesang Usulkan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup, Ini Bedanya dengan Proporsional Terbuka

Ketua Umum PSI yang juga putra Jokowi, Kaesang Pangarep usulkan pemilu selanjutnya dengan sistem proporsional tertutup karena marak politik uang.

Baca Selengkapnya

Menkominfo Ungkap Kesan Pertemuan Tim Cook Apple dan Prabowo

10 hari lalu

Menkominfo Ungkap Kesan Pertemuan Tim Cook Apple dan Prabowo

Budi Arie Setiadi mengatakan Tim Cook mengapresiasi hasil pemilu presiden Indonesia atas terpilihnya Prabowo.

Baca Selengkapnya

64 Tahun PMII, Respons Mahasiswa Muslim terhadap Situasi Politik

12 hari lalu

64 Tahun PMII, Respons Mahasiswa Muslim terhadap Situasi Politik

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan salah satu dari sekian banyak organisasi mahasiswa yang masih eksis sampai saat ini.

Baca Selengkapnya

Kilas Balik Pelaksanaan Pemilu 2019, Pertama Kalinya Pilpres dan Pileg Serentak

12 hari lalu

Kilas Balik Pelaksanaan Pemilu 2019, Pertama Kalinya Pilpres dan Pileg Serentak

Hari ini, 17 April 2019 atau Pemilu 2019 pertama kali Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) dilakukan secara serentak.

Baca Selengkapnya

Hindari Urusan Politik, Anies Baswedan Disebut Masih Fokus Silaturahmi Lebaran

18 hari lalu

Hindari Urusan Politik, Anies Baswedan Disebut Masih Fokus Silaturahmi Lebaran

Anies Baswedan tengah berfokus pada urusan internal dan silaturahim hari raya Idulfitri 2024.

Baca Selengkapnya