Compang Camping Penanganan Demonstrasi

Reporter

Tempo.co

Editor

Febriyan

Sabtu, 28 September 2019 14:50 WIB

Sejumlah kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) menggelar aksi solidaritas di depan Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Kamis malam, 26 September 2019. Aksi solidaritas tersebut dilakukan untuk mendoakan almarhum Randi, salah satu mahasiswa Universitas Haluoleo yang tewas saat mengikuti demonstrasi di depan kantor DPRD Sulawesi Utara. TEMPO/Hilman Fathurrahman W

TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah pihak yang terlibat dalam demonstrasi menentang sejumlah undang-undang bermasalah di berbagai mengalami kekerasan baik secara fisik maupun psikis. Korban berjatuhan dan Polisi dituding melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Korban jiwa jatuh di Kendari pada Kamis, 26 September 2019. Dua mahasiswa Universitas Halu Oleo, Randi dan Muhammad Yusuf Kardawi tewas saat demonstrasi di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Tenggara.

Randi, tewas tertembak peluru tajam sementara Yusuf tewas setelah sempat dirawat. Yusuf mengalami cedera parah di bagian kepalanya.

"Masuknya (peluru dari) ketiak kiri melewati jalur panjang dan bengkok, menembus organ paru kanan dan kiri, pembuluh darah dan bagian mediastinum, yakni organ di antara rongga paru kanan dan kiri," ujar Raja Al Fatih, Ketua Tim Dokter Forensik Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Abunawas, Kota Kendari, menjelaskan hasil otopsi terhadap Randi, Jumat 27 September 2019.

Kepala Kepolisian Sulawesi Tenggara Brigjen Iriyanto membenarkan Randi tewas karena terkena tembakan peluru tajam kaliber 9 milimeter. Namun dia membantah anggotanya menggunakan senjata api saat membubarkan massa demonstrasi. Dia pun berjanji akan mengusut siapa pun pelaku penembakan.

Advertising
Advertising

"Kami akan tegakkan aturan. Jika memang anggota saya (yang menembak), akan diproses sebagaimana ketentuan. Berikan kami waktu, kami akan temukan siapa pun pelakunya," ujar Iriyanto di Polres Kendari Jumat kemarin.

Mahasiswa Halu Oleo juga mensinyalir adanya penggunaan kekerasan berlebihan dari aparat terhadap Yusuf, rekan mereka yang tewas lainnya. Mahasiswa yang tak mau disebutkan namanya itu menyatakan melihat Yusuf dianiaya aparat saat hendak lari dan terjatuh di depan pagar Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sultra, tak jauh dari Gedung DPRD Sultra.

"Ada (polisi) yang menghampiri Yusuf dan menendang. Jarak saya dengan Yusuf sekitar enam meter," kata mahasiswa yang ikut mengantar Yusuf ke rumah sakit itu kepada Tempo Kamis malam, 26 September 2019.

<!--more-->

Di Jakarta, mahasiswa Universitas Al-Azhar, Faisal Amir, juga diduga menjadi korban represifitas aparat. Faisal ditemukan tergeletak di area sekitar Gedung DPR RI pada Selasa 24 September 2019.

Faisal adalah koordinator aksi mahasiswa dari Universitas Al-Azhar. Rekan-rekannya menyebutkan dia maju ke depan saat massa aksi dipukul mundur oleh polisi di sekitar Stasiun Palmerah. Faisal berniat menyelamatkan rekan-rekannya yang lain yang masih terjebak di depan.

Naas, dia kemudian menghilang dan ditemukan sudah terkapar dengan luka cukup parah di bagian kepalanya. Faisal dibawa ke Rumah Sakit Pelni dan harus menjalani operasi pengangkatan tengkorak karena terjadi pendarahan di area otaknya. Dia pun kini sudah sadar. Hanya saja sedikit mengalami hilang ingatan.

"Dia sudah bisa menyebut papah dan mamahnya. Tapi waktu saya tanya apa yang dia alami kemarin, dia bilang lupa," kata Ratu Agung, ibunda Faisal kepada Tempo Kamis kemarin.

Kepala Kepolisan Republik Indonesia, Jenderal Tito Karnavian menyebut adanya korban tewas pada demonstrasi di ibu kota. Namun Tito menyebutkan korban tersebut bukan bagian dari demonstran, tetapi perusuh.

"Informasinya sementara ini yang bersangkutan meninggal dunia. Bukan pelajar dan mahasiswa, tapi kelompok perusuh itu," kata Tito dalam konferensi pers di Kantor Kemenkopolhukam, Kamis kemarin.

Tito tak membuka identitas korban tewas tersebut. Hanya saja, dia membantah korban tewas tersebut akibat kekerasan polisi. Menurut dia, korban tewas karena sesak napas setelah menghirup terlalu banyak gas air mata.

“Tak ada satupun luka tembak atau penganiayaan, karena saya juga sudah sampaikan untuk tidak gunakan senjata tajam sehingga (korban tewas) itu diduga kekurangan oksigen atau gangguan fisiknya," kata Tito.

Pihak Rumah Sakit Polri Kramat Jati yang disebut menjadi tempat otopsi korban pun tutup mulut. Saat Tempo mencoba mengkonfirmasi, tak ada satu pun petugas yang mau berbicara soal identitas korban meninggal yang diucapkan Tito.

Korban juga berjatuhan di Makassar, Medan dan sejumlah kota lainnya. Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) menuding hal itu merupakan bentuk arogansi polisi. Mereka juga menganggap polisi telah melanggar HAM terhadap mahasiswa.

“Saat ditangkap, massa mendapat penganiayaan, baik dari yang berseragam atau yang berpakaian sipil. Kami memandang polisi arogan, ini pelanggaran HAM," kata Koordinator Badan Pekerja KontraS Sumut Amin Multazam Lubis, Kamis, 26 September 2019.

<!--more-->

Tak hanya kekerasan fisik, mahasiswa dan sejumlah pelajar yang mengikuti demonstrasi juga ditahan polisi tanpa status yang jelas. Lembaga Bantuan Hukum Jakarta menyatakan sempat mendapatkan kabar ada sekitar 90 mahasiswa yang ditangkap polisi pasca kerusuhan tiga hari kemarin.

Kepala Advokasi LBH Jakarta Nelson Nikodemus Simamora mengatakan data itu merupakan rekapitulasi dari pengaduan masyarakat.

"Sekitar 90-an orang sempat dilaporkan oleh keluarga, kerabat, dan teman-temannya bahwa mereka tak kembali ke rumah," kata Nelson di kantornya, Jakarta Pusat, Jumat, 27 September 2019.

Nelson merinci, 90 orang itu meliputi para mahasiswa, alumni, pelajar, hingga masyarakat umum. Dia mengatakan data itu belum termasuk pengaduan yang belum terekapitulasi, maupun data orang-orang yang sempat ditahan oleh Kepolisian kemudian dilepaskan.

"Datanya per malam ini, belum diperbarui," ujarnya.

Direktur LBH Jakarta Arif Maulana menyatakan polisi melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana karena status mahasiswa yang ditangkap tak jelas. Pasalnya mahasiswa tersebut ditahan lebih dari 1x 24 jam.

“Harusnya satu kali dua puluh empat jam itu dilepaskan demi hukum, atau kemudian dilakukan penahanan tapi statusnya dinaikkan. Persoalannya sampai tanggal 26 malam, bahkan tadi ketika memantau informasinya, status teman-teman belum jelas," kata dia.

Tim Advokasi untuk Demokrasi yang dibentuk sejumlah kelompok masyarakat sipil pun sempat mengeluhkan sulitnya akses untuk mendampingi mahasiswa. Mereka menyebut tak diberikan akses oleh polisi untuk bertemu dengan para mahasiswa.

"Kami pertanyakan itu, karena tidak menutup kemungkinan di dalam terjadi sesuatu yang tidak kami inginkan, seperti dugaan tindakan penyiksaan, dan dugaan tindak pidana terhadap kemanusiaan," kata Staf Advokasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Muhammad Andi Rizaldi.

Polisi membantah menahan mahasiswa tak sesuai prosedur. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya menyebutkan bahwa Polisi telah memulangkan nyaris semua mahasiswa pada Kamis malam 26 September.

“Pada prinsipnya, pemeriksaan itu kami menyiapkan penasehat dan kami menawarkan juga kepada yang bersangkutan bantuan hukum,” kata Argo.

Kepala Unit 4 Subdirektorat Resmob Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Rovan Richard pada Jumat kemarin menuturkan hanya menahan dua mahasiswa. Keduanya adalah Hatif Adilrrahman dari Universitas Padjajaran, Bandung dan Ahmad Nabil Bintang dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Keduanya sempat ditetapkan sebagai tersangka karena merampas barang milik polisi saat demonstrasi. Hatif dituding mencuri tameng polisi sementara Ahmad mengambil Handy Talkie milik polisi dan melontarkan cacian.

Rovan menyatakan kasus terhadap keduanya telah dihentikan. “Ya tersangka, tapi kami pulangkan ke keluarga. Udah SP3 jatuhnya, pembinaan,” ujarnya Jumat kemarin.

<!--more-->

Tak hanya mahasiswa, jurnalis pun menjadi korban aparat dalam kejadian itu. Di Jakarta, kekerasan dialami empat jurnalis dari Kompas.com, IDN Times, Katadata dan Metro TV saat meliput aksi demonstrasi 24 September 2019. Mereka diintimidasi karena merekam aksi brutal aparat terhadap massa demonstran. Tak hanya itu, jurnalis dari IDN Times dan Katadata juga disebut mengalami kekerasan fisik berupa pemukulan dan pengeroyokan.

Kamis dini hari kemarin, pasca demonstrasi pelajar yang berujung ricuh, kekerasan terhadap jurnalis berlanjut. Dua wartawan harian Kompas dan satu dari Detikcom diintimidasi polisi karena merekam kebengisan aparat memukuli massa.

“Isi handphone saya diperiksa semua dari isi WhatsApp sampai galeri. Polisi juga menghapus dua video dan beberapa foto,” kata Farih Maulana Sidik, jurnalis detikcom yang menjadi korban.

Intimidasi terhadap pekerja media juga terjadi di Makassar. Aliansi Jurnalis Independen Makassar mencatat ada tiga korban kekerasan oleh polisi, yaitu Muhammad Darwin Fathir dari Antara, Saiful dari Inikata dan Ishak Pasabuan dari Makassartoday.

Aliansi Jurnalis Independen Makassar menilai kekerasan yang berlanjut terhadap jurnalis itu karena lemahnya pemahaman polisi terhadap Undang-Undang Pers yang melindungi jurnalis dalam menjalankan tugasnya. Dia juga menyatakan, selama ini kekerasan terhadap jurnalis kerap disepelekan dan tak ditindak tegas.

“Tidak ada pelaku kekerasan (dari pihak polisi) yang dipidana. Jadi tidak ada efek jera,” kata Koordinator Advokasi AJI Makassar, Sahrul Ramadhan, kepada Tempo.

AJI Jakarta menilai kekerasan terhadap jurnalis muncul karena polisi tak mau aksi brutal mereka terekspose ke publik. Mereka menilai kekerasan terhadap jurnalis kali ini sama polanya seperti saat yang dialami jurnalis ketika meliput kerusuhan aksi 21-22 Mei lalu.

"Yang pasti pola kekerasan yang dialami jurnalis pada beberapa hari terakhir ini sama persis seperti saat aksi 21-22 Mei. Aparat tidak menginginkan jurnalis merekam aksi kebrutalan mereka ke para demonstran," ujar anggota Divisi Advokasi AJI Indonesia, Joni Aswira.

<!--more-->

Tim medis yang seharusnya dilindungi dalam menjalankan tugasnya menolong korban juga sempat menjadi korban kebrutalan aparat polisi. Palang Merah Indonesia Kota Jakarta Timur merilis pernyataan soal anggota mereka yang mendapatkan penganiayaan oleh polisi.

Pernyataan itu muncul setelah polisi melalui akun twitter @TMCPoldaMetro menuding adanya ambulans DKI yang mengangkut batu dan bensin untuk para perusuh pada Kamis dini hari, 26 September 2019.

E Komalasari, Kepala Markas PMI Jakarta Timur dalam keterangan tertulisnya menjelaskan bahwa peristiwa itu terjadi pada Rabu malam sekitar pukul 23.30 WIB di depan lobby menara BNI, Pejompongan. Saat itu, tim medis sedang mengobati korban kerusuhan.

Tak jelas penyebabnya, menurut pernyataan resmi itu, aparat Brimob menyantroni mobil ambulans secara tiba-tiba. Dengan dalih sedang melakukan sweeping, aparat Brimob tersebut langsung membuka paksa pintu ambulans dan menarik serta memukul seorang korban yang sedang mendapat pertolongan pertama.

Menurut keterangan tersebut, aparat Brimob langsung melakukan sweeping ke ambulans tersebut karena mencurigai adanya batu dan bensin yang disimpan pendemo di dalam ambulans.

Tak berhenti sampai di situ, oknum brimob itu disebut merusak ambulans hingga kaca belakang pecah dan berhamburan ke dalam.

"Oknum Anggota Brimob melayangkan pukulan dengan tongkat kayunya kepada semua tim medis PMI yang ada di dalam ambulans. Petugas PMI terkena pukulan di bagian kepala, bahkan salah satu perawat kami jatuh tersungkur ke belakang stretcher karena didorong dan kemudian diinjak oleh salah satu oknum Anggota Brimob," tulis pernyataan tersebut.

Dua orang petugas PMI juga disebut sempat ditarik keluar paksa dari ambulans. Oknum aparat tersebut pun melakukan pemecahan kaca samping kiri ambulans.

Polisi menahan enam ambulans malam itu, satu milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta lima milik PMI. Kombes Argo Yuwono, akhirnya meralat tudingan ambulans membawa batu dan bensin atau bom Molotov tersebut.

Menurut dia, barang-barang itu milik para perusuh yang berupaya bersembunyi di dalam ambulans dengan berpura-pura sakit. Dia pun menyatakan telah memulangkan ambulans beserta petugas medis kepada Pemprov DKI Jakarta dan PMI.

Namun Argo tak sedikit pun membahas soal tindak kekerasan terhadap para petugas medis dari aparat polisi.

“Anggapan dari anggota Brimob di sana diduga mobil itu yang digunakan untuk perusuh. Tapi ternyata perusuh yang masuk ke mobil untuk mencari perlindungan dengan membawa batu, bom Molotov dan kembang api,” ujarnya.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pun mendesak polisi untuk menuntut tuntas semua bentuk kekerasan dalam penanganan demonstrasi di tanah air sepekan terakhir.

"Bagi kami situasi sejak Senin sampai hari ini tidak kondusif. Kami harap situasi bisa dipulihkan secepatnya, salah satunya kepastian proses dan penegakan hukum terhadap siapa pun yang melakukan tindakan kekerasan," kata Komisioner Komnas HAM Amiruddin Al Rahab dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat.


ROSNIAWATY |DIDIT| IMAM HAMDI| EGY| BUDIARTI| JULNIS

Berita terkait

Gelombang Protes Kampus Pro-Palestina di Amerika Serikat Direpresi Aparat, Dosen Pun Kena Bogem

2 hari lalu

Gelombang Protes Kampus Pro-Palestina di Amerika Serikat Direpresi Aparat, Dosen Pun Kena Bogem

Polisi Amerika Serikat secara brutal menangkap para mahasiswa dan dosen di sejumlah universitas yang menentang genosida Israel di Gaza

Baca Selengkapnya

Mahasiswa Adukan Universitas Columbia Soal Represi Demo Pro-Palestina

2 hari lalu

Mahasiswa Adukan Universitas Columbia Soal Represi Demo Pro-Palestina

Mahasiswa Universitas Columbia mengajukan pengaduan terhadap universitas di New York itu atas tuduhan diskriminasi dalam protes pro-Palestina

Baca Selengkapnya

Gelombang Protes Dukung Palestina Menyebar di Kampus Bergengsi di AS

3 hari lalu

Gelombang Protes Dukung Palestina Menyebar di Kampus Bergengsi di AS

Mahasiswa di sejumlah kampus bergengsi di Amerika Serikat menggelar protes untuk menyatakan dukungan membela Palestina.

Baca Selengkapnya

Apa Kata Media Asing soal Penetapan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden?

3 hari lalu

Apa Kata Media Asing soal Penetapan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden?

Prabowo-Gibran resmi ditetapkan menjadi presiden dan wakil presiden terpilih oleh KPU. Berikut pemberitaan media asing soal penetapan itu.

Baca Selengkapnya

AS Jatuhkan Sanksi kepada Batalion Netzah Yehuda, Apa Tuduhannya?

5 hari lalu

AS Jatuhkan Sanksi kepada Batalion Netzah Yehuda, Apa Tuduhannya?

Amerika Serikat akan menjatuhkan sanksi terhadap batalion Netzah Yehuda Israel atas perlakuan mereka terhadap warga Palestina di Tepi Barat.

Baca Selengkapnya

Pemimpin Partai Buruh Israel Desak Pembubaran Batalion IDF dengan Sejarah Pelanggaran HAM

6 hari lalu

Pemimpin Partai Buruh Israel Desak Pembubaran Batalion IDF dengan Sejarah Pelanggaran HAM

Pemimpin Partai Buruh Israel mengatakan batalion Netzah Yehuda dalam Pasukan Pertahanan Israel (IDF) membunuh warga Palestina "tanpa alasan yang jelas".

Baca Selengkapnya

AS akan Jatuhkan Sanksi pada Batalion Israel atas Pelanggaran HAM, Netanyahu: Saya Lawan!

6 hari lalu

AS akan Jatuhkan Sanksi pada Batalion Israel atas Pelanggaran HAM, Netanyahu: Saya Lawan!

PM Israel Benjamin Netanyahu akan melawan sanksi apa pun yang menargetkan unit militer Israel atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia.

Baca Selengkapnya

Google Kembali Melakukan PHK, Ini Alasannya

9 hari lalu

Google Kembali Melakukan PHK, Ini Alasannya

Dalam beberapa bulan terakhir Google telah melakukan PHK sebanyak 3 kali, kali ini berdampak pada 28 karyawan yang melakukan aksi protes.

Baca Selengkapnya

Eks Danjen Kopassus Soenarko hingga Din Syamsuddin Hadiri Demo di MK Jelang Putusan Sengketa Pilpres

9 hari lalu

Eks Danjen Kopassus Soenarko hingga Din Syamsuddin Hadiri Demo di MK Jelang Putusan Sengketa Pilpres

Din Syamsuddin dan eks Danjen Kopassus, Soenarko, turut hadir di unjuk rasa jelang putusan MK soal sengketa Pilpres 2024

Baca Selengkapnya

Polisi Kerahkan 2.713 Personel Jaga Demo Jelang Putusan Gugatan Pilpres di MK

9 hari lalu

Polisi Kerahkan 2.713 Personel Jaga Demo Jelang Putusan Gugatan Pilpres di MK

2.713 personel gabungan dikerahkan untuk menjaga demonstrasi di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) jelang putusan sengketa Pilpres 2024.

Baca Selengkapnya