Jokowi Didesak Tak Hanya Tunda RKUHP, Tapi Juga Revisi UU KPK
Reporter
Dewi Nurita
Editor
Syailendra Persada
Minggu, 22 September 2019 11:09 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Usai Presiden Joko Widodo atau Jokowi meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menunda pengesahan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP, desakan mencabut Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan menunda pengesahan Revisi UU Permasyarakatan atau RUU PAS pun mengalir.
Dari oposisi, Wakil Ketua Komisi Hukum DPR dari Partai Gerindra, Desmond J. Mahendra bersuara. Jika Jokowi bisa menunda RKHUP atas dasar tekanan masyarakat, kata dia, maka UU KPK yang terlebih dahulu harus dicabut. Sebab, UU tersebut yang mendapat gelombang protes paling besar dari masyarakat.
"UU KPK itu kan belum diundangkan, kenapa enggak cabut aja sekalian? Semuanya protes itu," ujar Desmond saat dihubungi Tempo pada Sabtu, 21 September 2019.
Dengan penundaan pengesahan RKUHP, ujar Desmond, maka pengesahan revisi UU Pemasyarakatan atau RUU PAS juga harus ditunda. "Kenapa? Karena satu napas dengan KUHP ini juga," ujar Desmond.
Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar mengatakan jika RKHUP ditunda, maka sangat memungkinkan untuk membatalkan pengesahan Revisi UU Pemasyarakatan dan Jokowi harus mencabut revisi UU KPK dengan Perppu.
<!--more-->
Fickar menjelaskan korelasinya, jika tindak pidana korupsi diatur dalam KUHP, maka akan menurunkan statusnya tidak lagi sebagai tindak pidana luar biasa atau extra ordinary crime, melainkan menjadi tindak pidana umum. Demikian juga Revisi UU PAS yang mencabut PP 99/2012, maka narapidana tindak pidana korupsi diperlakukan seperti narapidana tindak pidana biasa.
"Jadi itu korelasinya, KUHP sebagai induk atau payung dari hukum atau UU Pidana pasti akan menjadi rujukan UU atau aturan lain yang bersifat pidana," kata Fickar saat dihubungi Tempo pada Ahad, 22 September 2019.
Direktur Pusat Studi Konstitusi atau Pusako Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan, menunda pengesahan RKUHP tidak berarti kealpaan Jokowi menyetujui revisi UU KPK termaafkan. "Cabut UU KPK dengan menerbitkan Perppu. Tidak ada kata terlambat jika niatnya memperbaiki legislasi yang dikoruptif," ujar Feri saat dihubungi Tempo pada Jumat malam, 20 September 2019.
Dalam sebulan belakangan, gelombang protes bergejolak karena DPR dan Pemerintah sepakat mengesahkan Revisi UU KPK yang dinilai melemahkan lembaga antirasuah. Setelah itu, RKUHP pun dikebut pengesahannya hingga akhir periode, 30 September 2019. Sementara protes kencang, proses menuju pengesahan tetap berlanjut.
Setelah semakin kencang kritik media hingga mahasiswa turun ke jalan, Jumat lalu, Presiden Jokowi tiba-tiba meminta DPR RI menunda pengesahan RKUHP. Padahal, Jokowi mengutus Menkumham Yasonna Laoly membahas RKUHP bersama DPR dan telah menghasilkan keputusan; membawa RKUHP ke pembahasan tingkat dua dalam rapat paripurna untuk segera disahkan.
"Setelah mendengar masukan-masukan saya berkesimpulan masih ada meteri yang membutuhkan pendalaman lebih lanjut. Agar disampaikan ke DPR, pengesahan RUU KUHP ditunda dan pengesahan tidak dilakukan oleh DPR periode ini," kata Jokowi saat jumpa pers pada Jumat, 20 September 2019.
Sejumlah anggota Komisi Hukum DPR mencak-mencak menyebut Jokowi tidak menghargai waktu dan biaya yang telah dikeluarkan untuk membahas RKHUP tersebut. "Jokowi tidak mengerti aturan. DPR tidak dihargai. Kami sudah RDPU kemana-mana, enggak ada angin enggak ada hujan tiba-tiba dicabut. Kami keberatan," ujar Anggota Panitia Kerja (Panja) dari Fraksi PAN, Muslim Ayub saat dihubungi Tempo, kemarin.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyebut Jokowi terlambat mengambil keputusan, karena rapat bamus sudah digelar dan jadwal paripurna sudah ditetapkan pada Selasa, 24 September 2019. "Paripurna sudah terjadwal, sudah terlambat," ujar Fahri Hamzah lewat pesan singkat kepada Tempo pada Jumat malam, 20 September 2019.
Sementara itu, mayoritas partai pendukung Jokowi-Ma'ruf menyatakan manut saja akan perintah Jokowi.
Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani menyatakan mengatakan DPR dan pemerintah sama-sama pembentuk UU dan mereka tak bisa memaksakan posisi yang diambil satu sama lain. "Tentu fraksi yang koalisinya masuk ke pemerintahan akan mendukung yang disampaikan Presiden," kata Arsul, Jumat lalu.
<!--more-->
Anggota Komisi Hukum Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir Djamil menyebut, dengan kekuatan mayoritas di parlemen, tentu keinginan Jokowi tersebut akan terpenuhi. "Saat ini tidak ada yang berani melawan presiden,” ujar Nasir, Jumat lalu.
Dari 10 anggota fraksi masing-masing partai yang diwawancarai Tempo, enam menyatakan sepakat dan empat menyatakan tidak sepakat menunda pengesahan RKUHP. Adapun yang sepakat adalah mayoritas partai pendukung Jokowi-Ma'ruf yakni; PDIP, Golkar, PPP, Nasdem, Hanura. Dari oposisi, Gerindra mendukung. Adapun yang tidak sepakat pengesahan RKUHP ditunda yakni; PKB, PKS, PAN, dan Demokrat.
Merujuk pada Pasal 69 ayat (3) UU 12/2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan dan Pasal 153 ayat (3) Peraturan DPR Tentang Tatib, sejumlah pakar hukum tata negara menyebut, penundaan pengesahan RKUHP bisa dilakukan jika tidak ada persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah.
"Jadi, nanti waktu paripurna, pihak pemerintah bisa menyatakan ketidaksetujuannya dan itu akan membuat RUU tidak jadi disahkan menjadi UU. Dan saya yakin, presiden juga sudah berbicara dengan partai-partai koalisinya untuk juga meminta penundaan," ujar Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti saat dihubungi Tempo, Ahad, 22 September 2019.
Pakar Hukum Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, di undang-undang administrasi pemerintahan, Presiden juga bisa saja menerbitkan surpres baru yang berisi pencabutan persetujuan pengesahan RUU. "Dengan surpres itu, dari sekarang juga bisa dicabut," ujar Feri Amsari saat dihubungi, Jumat lalu.