Menagih Janji Jokowi Atasi Karhutla
Reporter
Egi Adyatama
Editor
Syailendra Persada
Minggu, 15 September 2019 15:18 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di sejumlah wilayah di Indonesia masih semakin memburuk. Musim kemarau panjang yang terjadi di tahun ini, tak hanya menjadi pemicu kebakaran, namun juga memperburuk situasi ini. Upaya pemerintah menekan titik panas dan menghilangkan asap mulai menemui jalan buntu.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo mengatakan Provinsi Riau menjadi daerah dengan kebakaran yang paling parah. Hal ini tak terlepas dari sumber kebakaran yang merupakan area gambut.
"Lahan gambut yang terluas terbakarnya, itu ada di Riau. Mencapai 40 ribu hektare," kata Doni saat konferensi pers di Graha BNPB, di Jalan Pramuka, Jakarta Timur, Sabtu, 14 September 2019.
Merujuk pada data BNPB, dari total 50 ribu hektare wilayah di Riau yang mengalami kebakaran, 40.553 hektare di antaranya adalah lahan gambut. 15 helikopter dari BNPB dan perusahaan swasta telah turun untuk memadamkan api lewat upaya water bombing di Riau.
Namun Doni mengatakan memadamkan api di lahan gambut bukan pekerjaan mudah. Banyaknya armada bukan merupakan menjamin api bisa cepat padam.
Akibatnya, asap dan polutan di Provinsi Riau semakin memburuk. Tak hanya serangan penyakit ISPA yang mengancam masyarakat, fasilitas umum seperti sekolah hingga bandara terpaksa berhenti beroperasi akibat asap ini.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan untuk Provinsi Riau saja, jumlah warga terserang ISPA terbanyak ada di Pekanbaru mencapai 9.512 orang. Sementara jumlah tertinggi penderita ISPA ada di Kota Jambi dengan 64.147 orang dalam wilayah Provinsi Jambi.
Di Sumatera Selatan, penderita ISPA tertinggi ada di Palembang mencapai 106.550 orang, dan di Kalimantan Tengah korban terbanyak di Palangkaraya mencapai 23.324 orang.
Sebagai penanganan, Kemenkes telah mendistribusikan 1.269.320 masker ke sejumlah wilayah terdampak asap karhutla. Sementara dari Dinkes Provinsi Riau sebanyak 644.450 masker disalurkan, dan dari Dinkes Provinsi Sumatera Selatan mendistribusi 20 ribu masker untuk masing-masing daerahnya.
<!--more-->
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan salah satu penyebab buruknya asap di Provinsi Riau, disebabkan oleh kondisi angin yang bertiup dari selatan provinsi tersebut.
"Kenapa asapnya banyak? Karena juga angin itu di selatan Riau bertiup lebih kencang tapi melambat di zona atas Riau," ujar Dwikorita di Graha BNPB, Jakarta Timur, Sabtu, 14 September 2019.
Upaya menekan asap dan polutan coba dilakukan lewat langkah teknologi modifikasi cuaca (TMC) berupa pembuatan hujan buatan. Namun langkah ini juga diakui sulit karena tak minimnya awan hujan, yang dibutuhkan menjadi pemicu awal hujan buatan.
"Upaya yang dilakukan BNPB sejak Juli untuk membuat hujan buatan itu tidak mudah untuk berhasil. Karena bibit awan yang akan disemai itu hampir tidak ada," Dwikorita.
Meski begitu, BMKG menemukan sedikit harapan, dengan mulai terlihatnya awan hujan di tujuh daerah, yakni Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kalimantan Utara, Papua Barat, dan Papua. Karena itu, Dwikorita meminta agar Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), agar selalu siap jika ada awan hujan muncul.
"Setiap menit kita pantau kapan awan muncul, kami minta Pak Doni (Kepala BNPB) untuk segera bertindak di lapangan menembak awan itu dengan garam supaya menyemaikan untuk awan hujan,” ujar Dwikorita.
Selain berharap dari modifikasi cuaca, BNPB juga berharap banyak dari penanganan karhutla lewat jalur udara dan darat. Meski di tingkat nasional koordinasi antara lembaga sudah padu, Doni Monardo mengatakan eksekusi penanggulangan karhutla di tingkat lapangan nyatanya masih tak optimal.
Dari laporan TNI-Polri di lapangan, Doni mengatakan masih banyak kepala daerah yang terkesan tak peduli dengan kebakaran ini. Bahkan ketidakpedulian ini ditunjukan dengan tak pernah hadir dalam rapat koordinasi penanganan karhutla ini.
"Kita ada beberapa keluhan dari unsur TNI-Polri di lapangan, karena adanya kurang peduli dari pejabat daerah. Saya tak menyinggung pejabat siapa, tapi rata-rata pejabat atau pemimpin tingkat Kabupaten Kota," kata Doni.
Padahal, Doni mengatakan 99 persen penyebab kebakaran adalah manusia. Sedangkan 80 persen dari lahan yang bekas terbakar ini, kemudian jadi kebun untuk dimanfaatkan. Hal ini menunjukan adanya upaya sengaja dari sejumlah pihak untuk membakar hutan.
Karena itu, kesadaran kepala daerah terhadap bencana ini sangat penting. Masyarakat harus terus diingatkan, bahwa upaya pembukaan lahan dengan cara membakar, tak bisa lagi digunakan. Bahkan jika perlu, Doni siap menampung warga yang biasa dibayar untuk membakar hutan, untuk membuka lahan.
"Kami (akan) pekerjakan sebagai bagian dari satgas pemadaman api. Kita bayar, lebih baik kita membayar rakyat, dari pada rakyat dibayar orang lain untuk membakar," kata Doni.
Gerak terbatas dalam pemadaman dan pencegahan Karhutla ini seakan bertolak belakang dengan permintaan Presiden Joko Widodo. Pada Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan atau Karhutla di Istana Negara, Selasa 6 Agustus 2019 lalu, Jokowi pernah mengancam akan mencopot Kapolda dan Pangdam yang tak bisa mengatasi kebakaran hutan dan lahan.
<!--more-->
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) pun kemudian menagih janji ini. Tak hanya TNI dan Polri, namun Walhi juga meminta sikap tegas Presiden diberikan pada seluruh lembaga yang kerja-kerjanya terlibat dengan kebakaran.
“Review kerja lembaga yang strategis entah Badan Restorasi Gambut (BRG) atau Kementerian Pertanian juga punya tanggung jawab terhadap restorasi gambut di kawasan HGU, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga, bukan hanya pemadam, Polisi dan TNI,” kata Manajer Kampanye Walhi, Wahyu A. Perdana.
Sebenarnya, pemerintah lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan telah berupaya menyelesaikan kasus ini. 43 perusahaan disegel atas nama penegakan hukum.
"Sampai hari ini ada 42 lokasi perusahaan yang kami lakukan penyegelan dan 1 milik masyarakat. Total ada 43 lokasi," ujar Direktur Penegakkan Hukum Kementerian LHK, Rasio Ridho Sani.
Meski begitu, Sekretaris Jenderal Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) Isnadi Esman masih meyakini sikap pemerintah terhadap korporasi masih belum tegas. Berbagai upaya penanggulangan yang dilakukan pemerintah, mulai dari pembangunan sekat kanal hingga sumur bor, akan sulit berjalan.
Pasalnya, ia menyebut masih banyak ditemukan di lapangan, perusahaan menutup pintu air yang mengarah ke areal masyarakat secara permanen ketika musim kemarau. Alhasil, areal konsesi tetap basah, sementara areal permukiman dan wilayah kelola masyarakat kering, sehingga mudah terbakar.
"Substansi masalah kegagalan restorasi gambut saat ini bukan di masyarakat, tapi kelemahan pemerintah yang tunduk pada korporasi. Tidak berani mengintervensi secara maksimal kepada perusahaan untuk melakukan upaya restorasi, tidak mampu memberikan sanksi atas kerusakan gambut yang disebabkan perusahaan," kata Isnadi.