Algojo Itu Bernama Revisi UU KPK
Reporter
M Rosseno Aji
Editor
Endri Kurniawati
Minggu, 8 September 2019 17:56 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah pegawai menutupi lambang Komisi Pemberantasan Korupsi di Gedung Merah Putih di Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan dengan kain hitam, Ahad, 8 September 2019. Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang dan ratusan pegawai lainnya menyaksikan penutupan lambang itu. Ini aksi simbolik yang dilakukan bila revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 atau revisi UU KPK disetujui.
Mereka menggambarkan pemberantasan korupsi ke depan bakal gelap jika revisi UU KPK usulan DPR itu disetujui dan dipimpin oleh calon komisioner bermasalah. "KPK akan diselimuti kegelapan ketika revisi UU KPK isinya dapat melumpuhkan KPK disetujui," kata Saut.
Ketua KPK Agus Rahardjo menyebutkan ada sembilan poin perubahan yang berpotensi bikin lembaganya mandul. Dia mengatakan bila disetujui maka independensi KPK terancam, penyadapan dipersulit dan dibatasi, pembentukan dewan pengawas yang dipilih oleh DPR, sumber penyidik dan penyelidik dibatasi.
Revisi, kata Agus, juga bisa menyebabkan penuntutan perkara korupsi harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung, perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria, kewenangan pengambilalihan perkara ke tahap penuntutan dipangkas kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan, serta kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara turut dipangkas. “KPK di ujung tanduk.”
Indonesia Corruption Watch menyatakan pembatasan penyadapan bakal membuat KPK tak bertaji. Dalam RUU KPK Pasal 12 B diatur bahwa KPK mesti mendapatkan izin dari Dewan Pengawas untuk menyadap. Menurut ICW, aturan ini justru memperlambat penanganan tindak pidana korupsi dan bentuk intervensi penegakan hukum di KPK. “Selama ini, fakta hukum yang didapatkan KPK menjadi bukti penting untuk proses persidangan,” kata peniliti ICW, Kurnia Ramadhana.
Keberadaan Dewan Pengawas juga dipersoalkan oleh Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Andalas Feri Amsari. Feri menuturkan bakal muncul konflik kepentingan dengan adanya Dewan Pengawas. Apalagi menurut draf RUU, Dewan Pengawas terdiri dari tiga orang yang dipilih DPR, dua lainnya dipilih presiden. “Akan ada banyak intervensi politik dalam setiap penanganan perkara di KPK.”<!--more-->
Kewenangan memberikan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3), kata Feri, juga akan berakibat buruk untuk komisi antirasuah. Pemberian kewenangan bakal mempermudah intervensi terhadap penanganan kasus di KPK. “Kalau ada SP3, akan ada langkah politik yang bisa ditempuh untuk mendapatkan surat itu.”
Kepala Bagian Perancangan Peraturan dan Produk Hukum KPK, Rasamala Aritonang sudah bisa memprediksi nasib buruk yang menimpa lembaganya bila revisi ini disetujui. Dia mengatakan tidak akan ada lagi operasi tangkap tangan. Menurut dia, tugas KPK cuma akan jadi mirip agen penyuluhan. “Sekedar pencegahan seperti sosialisasi di sana-sini,” kata dia.
Kalau sudah begitu, kata dia, pelaku korupsi akan bisa bergerak lebih leluasa untuk merampok uang negara tanpa ditindak tegas. Efeknya buruknya, kata Rasamala, bukan cuma kepada penindakan korupsi itu sendiri. Melainkan juga akan menghilangkan demokrasi dan merapuhkan perekonomian. “Dari lahir sampai mati, semua masalah kita berakar dari korupsi, dan itu enggak akan pernah selesai kalau revisi ini diberlakukan.”
Pembahasan revisi UU KPK disahkan DPR dalam rapat paripurna, Kamis, 5 Februari 2019. Berlangsung secara kilat, rapat itu dihadiri 70 dari 560 anggota dewan periode 2014-2019. Semua fraksi menyetujui usul amandemen UU KPK dan bila mulus RUU itu bakal disahkan pada September ini.
Proses pengusulan revisi UU KPK berlangsung kurang dari sepekan, tapi rancangannya sudah disiapkan dari jauh hari. Revisi UU KPK juga tidak masuk dalam 55 RUU prioritas Program Legislasi Nasional 2019. Namun Badan Legislasi menggarapnya dengan antusias.
Proses ini, menurut Pusako, melanggar syarat-syarat formil proses legislasi. Peneliti Pusako, Heni Lavour Febrinandez dalam keterangan tertulis, Sabtu 7 September 2019. “Ada kekeliruan jika DPR tiba-tiba mendahulukan revisi UU KPK ketimbang mendahulukan membahas UU prolegnas prioritas.”
Heni memaparkan pelanggaran yang dilakukan DPR karena Pasal 45 ayat (1) UU nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan bahwa pembahasan RUU harus berdasarkan program legislasi nasional (prolegnas). "RUU KPK tidak termasuk dalam prolegnas tahun 2019.” Sehingga telah terjadi pelanggaran formil dalam pembahasan perubahan kedua UU KPK.
Jika ngotot draf RUU tetap diproses di luar prolegnas, ada syarat yang harus dipenuhi oleh presiden dan DPR. Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 mensyaratkan dua hal, yakni: mengatasi keadaan luar biasa, konflik, atau bencana alam, dan; keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atau RUU yang dapat disetujui bersama oleh kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. "Pembahasan tentang revisi UU KPK oleh DPR tidak memenuhi unsur yang diatur dalam pasal itu."
Kalangan DPR ngotot. Salah satu pengusul revisi UU KPK, anggota Komisi Hukum DPR Masinton Pasaribu mengatakan usul ini juga sudah ada sejak masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini mengatakan perubahan UU KPK diperlukan untuk mengikuti perkembangan reformasi hukum yang mengedepankan hak asasi manusia. Sehingga, sejumlah poin perubahan yang diusulkan mengenai pengawasan KPK.
Misalnya saja, kata dia, soal kewenangan memberikan SP3. Menurut dia, dengan adanya SP3 di KPK maka azas kepastian hukum dapat terpenuhi. Selain itu, Masinton mengatakan keberadaan Dewan Pengawas dan izin penyadapan juga diperlukan agar KPK tak bisa sewenang-wenang menguping pembicaraan orang. “Penyadapan itu melanggar privasi manusia.” Sehingga, penyadapan harus diatur UU atau pengadilan.<!--more-->
Masinton membantah tudingan berbagai pihak yang menyatakan DPR mencoba melemahkan KPK melalui revisi ini. Menurut dia tidak ada satu pun tugas dan fungsi KPK yang dipangkas oleh DPR. “Agar penegakan hukum sesuai, maka KPK perlu diatur,” kata dia.
Ia juga menepis tuduhan bahwa revisi UU KPK ada kaitannya dengan kasus yang ditangani lembaga antirasuah itu. “Tidak ada kaitannya dengan kasus di KPK, framingnya selalu ke situ,” ujar politikus PDIP ini.
Namun Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Asfinawati mengatakan ada penyesatan informasi yang dilakukan DPR mengenai revisi UU KPK. Pertama, DPR mengatakan revisi adalah upaya penguatan KPK. Padahal, jika dilihat dari naskahnya, menurut dia, revisi UU KPK justru melemahkan KPK. DPR lupa bahwa zaman digital membuat masyarakat bisa mengakses draft RUU KPK serta dapat membaca dan memahami isinya.
"Kalau revisi diberlakukan, KPK akan berhenti. Shut down sebelum diisi lagi dengan penyidik seusai revisi itu," kata Asfina di kantor ICW, Jakarta, Ahad, 8 September 2019.
Ketika revisi diberlakukan, maka penyidikan, penyelidikan dan penuntutan akan menggunakan ketentuan UU baru. Jika disahkan, seluruh tersangka yang berada di KPK saat ini harus dikembalikan. "Ratusan atau ribuan (perkara) akan berhenti dan mulai dari nol.” Secara hukum mereka bisa menuntut negara untuk membayar ganti rugi karena sudah pernah dituntut, disidik dan dibawa ke pengadilan.
Kedua, DPR mengatakan bahwa revisi UU KPK sudah diketahui dan atas permintaan pimpinan KPK. Baru saja mantan Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki juga membantah pernah menyetujui revisi UU KPK pada 2015.
"Ruki mengatakan itu tidak benar. Kalo mereka bicara sekarang, harusnya yang ditanyakan data-datanya adalah dari pimpinan KPK sekarang.” Dan sudah jelas pimpinan KPK sudah mengatakan tidak setuju dan bahkan ikut aksi solidaritas kematian KPK.
Pengamat sekaligus pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menyarankan Presiden Joko Widodo menyatakan sikapnya mengenai pembahasan revisi UU KPK yang diusulkan DPR. "Penting bagi presiden untuk mengatakan bahwa dia mendukung KPK yang sekarang ini yang kuat dan tidak mau melemahkan KPK," kata Bivitri, Sabtu, 7 September 2019.
Sikap dan keputusan presiden bisa menghentikan proses legislasi revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Caranya, menolak membahas revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan tidak mengirimkan surat presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat. "Presiden bisa menolak membahas (revisi UU KPK) dengan cara tidak mengirimkan surat presiden.” Atau mengirim surat Presiden yang menyatakan tidak mau membahas revisi UU KPK.
M ROSSENO AJI | HALIDA BUNGA FISANDRA | FIKRI ARIGI