Catatan Merah Capim KPK
Reporter
M Rosseno Aji
Editor
Syailendra Persada
Senin, 2 September 2019 08:02 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Catatan warna merah itu disematkan Komisi Pemberantasan Korupsi ke nama-nama calon pimpinan lembaga itu (capim KPK) yang diduga memiliki catatan buruk. Dari 20 calon pimpinan yang sudah dijaring panitia seleksi, ada beberapa nama dengan catatan merah. Sisanya bisa dibilang aman karena ditulis dengan tinta merah.
"Terdapat sejumlah calon yang bisa dikatakan punya rekam jejak cukup baik, namun masih ada nama-nama yang teridentifikasi memiliki catatan," kata juru bicara KPK, Febri Diansyah, Jumat, 23 Agustus 2019.
Febri melanjutkan dari sejumlah nama itu, ada pula yang diduga pernah menerima gratifikasi dan tidak patuh membuat Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Rekam jejak itu, kata Febri, didapatkan dari masyarakat, data penanganan perkara di KPK, hingga pelaporan LHKPN dan gratifikasi. "Kemudian sudah kami cek lapangan," kata dia.
Salah satu calon yang berkasnya ditulis dengan huruf merah adalah Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan Inspektur Jenderal Firli Bahuri. Dewan Pertimbangan Pegawai KPK pada 17 Mei 2019 bermufakat menemukan cukup bukti pelanggaran berat yang dilakukan Firli semasa menjabat Deputi Penindakan.
Ia dituding melanggar kode etik karena bertemu dengan Gubernur Nusa Tenggara Barat Tuan Guru Bajang Zainul Majdi. Padahal, saat itu KPK tengah menelisik dugaan korupsi divestasi Newmont. TGB berstatus saksi di perkara ini.
Pertemuan Firli dan TGB ditengarai tak hanya terjadi sekali. Persamuhan terjadi saat Firli pergi ke NTB dengan izin menghadiri acara perpisahan komandan rayon militer pada Mei 2018. DPP juga memiliki bukti video ketika Firli bertemu dengan TGB di lapangan tenis.
Pansel sempat mengungkit pertemuan itu saat Firli mengikuti uji publik capim KPK, di Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa, 27 Agustus 2019. Firli membenarkan bertemu dengan TGB, namun menampik pertemuan itu dilakukan dengan sengaja. “Tidak ada fakta yang mengatakan saya melanggar,” ujarnya.
Selain Firli, nama Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Irjen Antam Novambar juga diketik merah. Menurut dokumen rekam jejak untuk pansel, Antam diduga pernah mengancam Direktur Penyidikan KPK Komisaris Endang Tarsa pada Februari 2015. Peristiwa itu terjadi di restoran McDonald’s, Ciledug, Tangerang.
Antam memaksa Endang menjadi saksi meringankan di sidang praperadilan Budi Gunawan. Ketika itu, KPK menetapkan BG sebagai tersangka aliran dana mencurigakan di rekeningnya.
Panitia seleksi menanyakan ini ke Antam saat uji publik. Antam menyangkal pernah mengancam Endang. Mantan Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Teroris ini mengatakan justru Endang yang mengajaknya bertemu. Endang, kata Antam, mengaku memiliki informasi tentang kasus BG di KPK. “Saya tidak meneror Endang Tarsa,” ujar dia.
<!--more-->
Catatan merah untuk dua perwira polri ini tak cuma itu. Menurut catatan KPK untuk pansel, Antam dan Firli disebut memiliki catatan tidak bagus soal kepatuhan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Menurut dokumen itu, Firli tak pernah menyetorkan LHKPN sejak 2002 hingga 2016. Sementara Antam tercatat tiga kali tidak melaporkan LHKPN ke KPK. Antam dan Firli menampik bahwa mereka tidak patuh LHKPN.
Selain Antam dan Firli, ada lima kandidat yang namanya juga ditandai merah oleh KPK. Widyaiswara Madya Sekolah Pimpinan Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri Bambang Sri Herwanto masuk karena empat kali tidak menyerahkan LHKPN. Direktur Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung Johanis Tanak turut masuk karena dua kali tidak menyerahkan LHKPN.
Setelah itu, ada mantan jaksa, M. Jasman Pandjaitan yang sebelas kali tidak menyetor LHKPN. Disusul rekan sejawatnya, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan Sugeng Purnomo. Pada tahun 2000, Sugeng diduga terkait penggelapan kayu gelondongan terhadap lima kapal asing. “Maaf pak, saat kasus itu terjadi KPK belum lahir, saya pastikan,” kata Sugeng ketika mengikuti uji publik Kamis, 29 Agustus 2019.
Terakhir ada pengajar di Universitas Jember, Nurul Ghufron. Dalam catatan KPK, Ghufron diduga menggunakan mobil dinas untuk kepentingan pribadi dan jarang melaporkan LHKPN. Dalam uji publik, ia menampik tudingan itu. “Saya punya mobil pribadi.”
Ketua Panitia Seleksi, Yenti Ganarsih mengatakan pihaknya memang menerima catatan dari KPK dengan kandidat yang ditandai merah dan hitam. Ia mengatakan pansel telah mempertimbangkan catatan dari KPK dan dari lembaga lainnya ketika menyeleksi capim. “Semua masukan dan catatan yang mereka sampaikan sudah kami pertimbangkan, kenapa kami disalahkan terus, ya?” kata Yenti.
<!--more-->
Melihat hal itu, sejumlah pegawai KPK, bersama koalisi masyarakat sipil antikorupsi menggelar aksi saat Car Free Day, di Jalan M.H Thamrin, Jakarta Pusat, Ahad, 1 September 2019. Membentangkan tulisan berbunyi ‘Jokowi Harus Berani’, mereka berharap Presiden Joko Widodo mencoret kandidat bermasalah dari daftar yang akan diserahkan ke DPR. “Kita tahu persis dari 20 orang itu masih ada banyak masalah,” kata perwakilan koalisi dari Tranparency International Indonesia, Agus Sarwono.
Koalisi, kata dia, dan pegawai KPK meminta Jokowi mendengarkan masukan publik sebelum menentukan sepuluh kandidat yang bakal diserahkan ke DPR. Dia bilang ada indikasi kuat upaya pelemahan KPK dalam seleksi kali ini. Upaya menggerus KPK, menurutnya, sudah terlihat sejak penunjukan anggota yang pansel yang terindikasi memiliki konflik kepentingan.
Koalisi menyatakan, Jokowi bahkan perlu menyaring ulang capim KPK yang diserahkan pansel. Pansel, kata dia, kerap mengabaikan masukan publik dan lembaga negara, seperti KPK dan Pusat Pelaporan dan Analasis Transaksi Keuangan mengenai rekam jejak calon.