Mamadamkan Bara di Tanah Papua
Reporter
Egi Adyatama
Editor
Amirullah
Minggu, 1 September 2019 13:26 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Jokowi secara mendadak menggelar rapat terbatas pada Jumat malam, 30 Agustus 2019, di Istana Merdeka, Jakarta Pusat. Pembahasannya terkait langkah penyelesaian konflik di Papua yang kembali memanas.
Jokowi seakan tak mau lagi membuang waktu untuk membahas hal ini. Ratas itu diadakan tepat setelah Jokowi mendarat di Jakarta, usai berkunjung ke Yogyakarta selama dua hari. Seakan menambah urgensi rapat ini, para pejabat di bidang keamanan itu langsung menuju Istana Merdeka, tak seperti biasanya yang turun di area dekat Istana Negara.
"Saya perintahkan agar situasi keamanan dan ketertiban di Papua benar-benar dijaga dan segera cepat-cepatnya dipulihkan," ujar Jokowi saat membuka ratas itu.
Sehari sebelumnya, Jokowi juga telah menggelar konferensi pers di Purworejo, Jawa Tengah. Saat itu, kerusuhan baru saja pecah di Deiyai dan Jayapura, Papua. Kerusuhan ini menelan satu korban jiwa dari TNI. Sedangkan korban dari masyarakat sipil, hingga saat ini informasinya masih simpang siur. Ada yang melaporkan dua orang tewas, namun ada pula yang menyebut enam orang.
Kerusuhan di Deiyai dan Jayapura masih terkait dengan kerusuhan yang terjadi di Manokwari, Fakfak, hingga Mimika, sepekan sebelumnya. Kerusuhan ini bermula dari aksi protes terhadap insiden rasial dan diskriminatif terhadap mahasiswa asal Papua di Surabaya dan Malang, pada pertengahan Agustus lalu.
<!--more-->
Meski telah berlangsung selama dua pekan, pemerintah seakan belum menemukan formula tepat untuk meredam amarah masyarakat Papua. Mereka justru membatasi koneksi internet di tanah Papua dengan alasan untuk menghentikan hoaks, yang dianggap sebagai pemantik kerusuhan.
Tak hanya memblokir internet, pemerintah juga mengirim pasukan pengamanan tambahan ke Papua. Setidaknya 2.500 pasukan gabungan dari TNI-Polri dikirim. Itu pun hanya ke Jayapura saja, yang memang menjadi lokasi kerusuhan terakhir.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto mengatakan dalam rapat itu, Jokowi meminta agar pihak keamanan memilih pendekatan yang lebih persuasif, ketimbang bertindak represif. "Beliau minta agar masayakat dilindungi. Masyarakat yang tidak bersalah, tidak tahu masalah, jangan sampai jadi korban aksi-aki demo anarkis," kata Wiranto.
Meski begitu, langkah-langkah pemerintah ini dinilai tak cukup untuk menuntaskan masalah di tanah Papua. Apalagi, dalam aksi protes itu, isu yang dibawa justru semakin berkembang menjadi referendum, tak lagi menyoal rasisme dan aksi diskriminatif.
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan pemerintah saat ini seakan hanya fokus pada kerusuhan di tanah Papua saja. Padahal, Usman mengatakan, yang terjadi di Papua hanya sebatas asap dari api yang berasal dari insiden di Surabaya dan Malang.
"(Insiden Surabaya dan Malang) Itu adalah akar masalahnya. Itu lambat ditangani. Padahal kejahatan itu terjadi di hadapan aparat hukum. Ada paradigma hukum yang ngaco. Masih ada kekakuan pandangan politik di dalam tubuh aparat negara yang seharusnya independen," kata Usman saat dihubungi Tempo, Ahad, 1 September 2019.
<!--more-->
Apalagi, Usman mengatakan permasalahan Papua tak hanya menyoal isu rasisme dan diskriminasi. Tanah Papua memiliki sejarah panjang dalam urusan konflik dengan pemerintah. Berbagai pelanggaran HAM hingga ketidakkonsistenan pemerintah dalam menjalankan otonomi khusus di sana, membuat permasalahan di Papua semakin rumit.
Peneliti Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Aisah Putri Budiarti, mengatakan peristiwa yang terjadi di Papua belakangan ini tidak berdiri sendiri. Berdasarkan riset LIPI pada 2009, ada empat akar masalah di Papua yang harusnya diselesaikan pemerintah, namun hingga kini tak kunjung tuntas dilakukan.
Empat masalah itu adalah stigmatisasi dan diskriminasi, pelanggaran hak asasi manusia, kegagalan pembangunan, dan status serta sejarah politik Papua. Ia menuturkan peristiwa di Papua dipicu tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Jawa Timur.
"Diskriminasi dan rasisme itu hanya satu masalah saja, dan itu terbukti. Kita menemukannya di kejadian di Jawa Timur," katanya dalam diskusi "Bagaimana Sebaiknya Mengurus Papua" di Gado Gado Boplo, Cikini, Jakarta, Sabtu, 31 Agustus 2019.
Selain itu, kata Aisah, pemerintah berhutang untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Sayangnya, hingga kini Jokowi belum memenuhi janjinya itu. Pelanggaran HAM lainnya tetap terjadi di sana.
Menurut Aisah, empat hal itu tidak boleh ditinggalkan saat pemerintah pusat bicara tentang Papua. Ia menilai pemerintah cenderung melihat Papua dari sisi ekonomi saja.
"Paling tidak ada empat masalah yang harus dituntaskan namun pemerintah hanya fokus pada isu ekonomi saja. Pembangunan memang perlu, tapi nggak cukup. Harus melihat hal lain," kata Aisah.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Beka Ulung Hapsara menyarankan pemerintah menunjuk keluarga Presiden Indonesia ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai juru runding masalah Papua dan Papua Barat.
"Almarhum Gus Dur dan keluarganya sangat dihormati di sana," katanya di Restoran Gado Gado Boplo, Cikini, Jakarta, hari ini, Sabtu, 31 Agustus 2019.
Menurut dia, keluarga Gus Dur bisa diajukan sebagai juru runding atau negosiator antara pemerintah dan tokoh-tokoh Papua. Dia menilai yang kurang dilakukan saat ini adalah pendekatan pemerintah pusat terhadap masyarakat Papua dan Papua Barat.