Menambal Defisit BPJS Kesehatan dengan Menaikkan Iuran
Reporter
Muhammad Hendartyo
Editor
Kodrat Setiawan
Rabu, 28 Agustus 2019 15:33 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo yakin Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan tidak akan mengalami defisit anggaran setelah iuran dinaikkan. Syaratnya, BPJS Kesehatan ikut membantu dengan bauran kebijakan mengikuti rekomendasi hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
"Iya insya Allah tidak ada lagi, dengan optimalisasi semuanya. Jadi sudah dihitung, kalau sudah semuanya, tidak akan defisit lagi," kata Mardiasmo di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, 28 Agustus 2019.
Kemarin, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengusulkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan dalam rapat gabungan Komisi IX dan XI Dewan Perwakilan Rakyat di kompleks Parlemen. Alasannya, jika iuran tidak dinaikkan, defisit BPJS Kesehatan berpotensi membengkak dari perkiraan awal Rp 28,35 triliun menjadi Rp 32,84 triliun tahun ini.
Kementerian Keuangan mengusulkan iuran peserta mandiri kelas satu BPJS Kesehatan naik dua kali lipat dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu. Sedangkan peserta mandiri kelas II naik menjadi Rp 110 ribu dari sebelumnya Rp 51 ribu. Adapun untuk kelas III naik menjadi Rp 42 ribu dari sebelumnya Rp 23 ribu.
Usulan kenaikan iuran dari Kementerian Keuangan tersebut lebih tinggi dari rumusan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang telah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Untuk Kelas I contohnya. DJSN mengusulkan kenaikan menjadi Rp 120 ribu dari sebelumnya Rp 80 ribu.
Jika iuran BPJS Kesehatan sudah dinaikkan, kata Sri Mulyani, pemerintah bisa menambal defisit keuangan BPJS Kesehatan sebesar Rp 13,5 triliun. BPJS Kesehatan juga berpotensi menerima tambahan dana jika melakukan bauran kebijakan atau rekomendasi atas hasil audit yang telah dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Jika berhasil, BPJS Kesehatan berpeluang menerima dana hingga sekitar Rp 5 triliun.
<!--more-->
Kenaikan iuran kepada masyarakat biasa akan dimulai pada Januari 2020. Sedangkan untuk pekerja penerima upah atau PPU Pemerintah akan dimulai pada 1 Oktober 2019, sehingga BPJS Kesehatan memiliki tambahan dana dari pembayaran pemerintah. Kemudian, hal ini diperlukan, supaya BPJS Kesehatan dan pemerintah bisa melakukan sosialisasi yang lebih luas.
Sementara itu, untuk pembayaran PBI dari pemerintah pusat dan PBI melalui APBD, diusulkan dapat dilakukan perubahan anggaran mulai dari bulan Agustus. Dengan kata lain, pemerintah memberikan talangan dana lewat APBN untuk pembayaran PBI baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah lewat APBD.
Menurut Mardiasmo, kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan diundangkan melalui peraturan presiden. "Segera akan keluar perpresnya," kata dia.
Selain kenaikan iuran, Mardiasmo berharap BPJS Kesehatan juga memperbaiki semua hal baik dari sisi purchasing maupun lainnya. Ditambah lagi BPJS Kesehatan menjalani rekomendasi BPKP agar terjadi efisiensi.
Jika masih ada defisit setelah semua hal tersebut dilakukan, kata Mardiasmo, pemerintah akan menutupnya. Hal itu dilakukan dengan menghitung bagaimana penyesuaian iuran PBI, baik pusat maupun daerah, PBPU, swasta dan sebagainya.
"Tapi dengan tata kelola yang bagus. Rumah sakitnya, kolaborasi Kemenkes dengan BPJS kesehatan, BPJS Kesehatan harus juga optimal dalam melakukan penarikan iuran, Kemenkes juga cek ke rumah sakit, jadi semuanya lah keroyok, termasuk peran pemda," kata dia.
<!--more-->
Adapun Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris mengatakan perlu hati-hati dalam melihat usulan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Dia menjelaskan, kenaikan tersebut terutama harus bermanfaat bagi penerima bantuan iuran atau PBI khususnya dari golongan masyarakat miskin yang tidak mampu. Jika dihitung, kata Fahmi, besaran kenaikan sebesar Rp 19 ribu tidak lebih dari Rp 2 ribu per hari selama 1 bulan.
"Besarannya tentu kalau dari Rp 23 ribu menjadi Rp 42 ribu, kalau kita konversikan ke per hari kan tidak sampai Rp 2.000 per hari. Tapi kalau menyampaikannya kepada masyarakat yang mungkin berat," kata Fahmi.
Sedangkan Koordinator Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Watch, Timboel Siregar mengatakan kenaikan iuran peserta BPJS Kesehatan adalah hal yang memang harus dilakukan. Karena itu, kata dia, merupakan amanat Pasal 38 Pepres Nomor 82 Tahun 2018 yang menyatakan iuran JKN ditinjau paling lambat dua tahun dan itu artinya setiap dua tahun iuran dinaikkan.
"Lalu konstruksi hukum di UU SJSN, pendapatan utama JKN itu adalah dari iuran. Iuran jadi 'darahnya' JKN. Jadi iuran harus dinaikkan," kata Timboel saat dihubungi, Rabu, 28 Agustus 2019. "Nah berapa kenaikannya, itulah yang harus dibahas secara bijak."
Menurut dia, hendaknya kenaikan iuran untuk peserta mandiri dikaji dan diuji publik dulu, jangan langsung naik saja. Kenaikan iuran, kata dia, juga tidak otomatis menyelesaikan defisit, karena defisit dikontribusi juga oleh kegagalan mengendalikan biaya dan menghentikan masalah di rumah sakit.
HENDARTYO HANGGI | DIAS PRASONGKO | BISNIS