Bahaya Rencana Amandemen UUD 1945 Mengintai Demokrasi

Minggu, 11 Agustus 2019 11:54 WIB

Ilustrasi sidang MPR. Dok.TEMPO/Dhemas Reviyanto Atmodjo

TEMPO.CO, Jakarta - Rencana Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melakukan amandemen terhadap Undang-undang Dasar 1945 dan mengaktifkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) menuai kritik. Sejumlah pakar hukum ketatanegaraan menduga niat tersebut sarat kepentingan politik ketimbang pertimbangan memperkuat konstitusi.

Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai rencana amandemen UUD 1945 ini berpotensi sebagai kemunduran demokrasi. Nihil menjadi materi kampanye partai-partai politik selama Pemilihan Umum 2019, Feri menilai parlemen juga tak transparan ihwal agenda itu.

"Jangan-jangan ini merupakan rencana partai politik untuk mengembalikan semangat Orde Baru," kata Feri kepada Tempo, Sabtu malam, 10 Agustus 2019.

Belum jelas apa yang menjadi agenda MPR terkait amandemen UUD 1945. Selain ingin mengaktifkan GBHN, ada keinginan untuk memperluas kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dan mengembalikan UUD 1945 ke versi awal era Presiden Soekarno.

Menurut Feri, rencana MPR ini bermasalah dalam beberapa hal. Dia mengatakan kembalinya GBHN jelas berimplikasi terhadap sistem presidensial yang kini dianut di Indonesia. Imbasnya ialah sistem pertanggungjawaban presiden menjadi ganda, kepada Dewan Perwakilan Rakyat terkait pelaksanaan Undang-undang dan terhadap MPR dengan mengacu GBHN.

"Dua lembaga yang pada dasarnya sama tetapi melakukan dual crosscheck kepada pemerintahan. Bisa saja DPR menganggap sesuai UU tapi MPR merasa tidak sesuai GBHN," kata Feri.

Berikutnya, Feri menilai niat mengembalikan UUD 1945 ke versi asli sama saja ingin kembali ke masa suram presidensial Indonesia tatkala jabatan presiden bisa berlarut-larut. Feri pun khawatir partai-partai pendukung Joko Widodo yang menguasai 60 persen kursi parlemen periode 2019-2024 melakukan bujuk rayu terkait ini.

"Bisa saja bujuk rayu partai politik kepada presiden saat ini adalah potensi bisa menjabat untuk ketiga kalinya jika kembali kepada UUD yang lama. Kedua, juga bisa menyampaikan ke presiden jaminan dia akan terpilih kembali dengan sistem lama," ucapnya.

<!--more-->

Rencana mengaktifkan kembali GBHN ini datang dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dalam pidatonya di rapat kerja nasional partai pada Januari 2016, mengatakan partainya akan mengembalikan fungsi MPR menetapkan GBHN untuk mewujudkan Pola Pembangunan Semesta Berencana. Istilah ini muncul dari Ketetapan MPR Sementara Nomor II/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-1969.

Selain ide kembalinya GBHN, gagasan mengembalikan pemilihan presiden dan wakil presiden oleh MPR turut mengemuka. Meskipun gagasan itu tak tertuang dalam draf amandemen, dua politikus PDIP membenarkan partai banteng berkeinginan meniadakan pemilihan presiden secara langsung. Saat ini memang belum ada lobi politik untuk mengegolkan rencana tersebut. Menurut kedua narasumber, lobi masih di tahap awal untuk memastikan amandemen menjadi agenda MPR 2019-2024.

Namun hal ini dibantah oleh Wakil Ketua MPR dari Fraksi PDIP Ahmad Basarah. "Agenda PDIP hanya soal GBHN yang menjadi cetak biru pemerintahan di pusat dan daerah," kata Basarah, dikutip dari Majalah Tempo edisi 12-18 Agustus 2019. Basarah mengklaim GBHN diperlukan untuk memberikan arahan kepada presiden dan kepala daerah terpilih agar pembangunan berkesinambungan.

Keinginan PDIP ini mendapat dukungan dari sejumlah partai politik. Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa Abdul Kadir Karding dan Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional Viva Yoga Mauladi menyatakan partainya sepakat dengan amandemen UUD 1945. Namun mereka ingin membatasi agenda pada GBHN saja.

"GBHN ya oke GBHN saja, jangan ke mana-mana," kata Viva Yoga ketika ditemui Tempo pada Kamis, 8 Agustus lalu.

Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan yang juga anggota Komisi Hukum DPR, Arsul Sani, menyatakan partainya juga terbuka terhadap rencana kembalinya UUD 1945. Dia juga berpendapat perlunya mengevaluasi Mahkamah Konstitusi.

"Soal MK juga harus kita tata ulang. Menurut saya kalaupun putusan MK tetap final dan mengikat, nanti harus dikasih pagar. Jadi tafsir konstitusionalitasnya itu tidak seperti kita memberikan cek kosong kepada MK," kata Arsul kepada Tempo, pekan lalu.

Hanya Partai Golkar yang masih tak sepakat dengan amandemen. Ketua Fraksi Golkar MPR Agun Gunandjar Sudarsa mengatakan rencana amandemen harus dikaji mendalam terlebih dulu dengan melibatkan pelbagai pihak. Dia mengatakan wacana amandemen dan pengaktifan GBHN tak bisa cuma diserahkan sepenuhnya kepada MPR.

"Harus juga melibatkan seluruh elemen masyarakat yang di luar MPR itu," kata politikus yang hampir enam periode menjadi anggota Dewan ini. "Dan tak bisa serta merta."

Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto juga menolak jika amandemen UUD 1945 mengembalikan kewenangan MPR sebagai lembaga tertinggi serta memilih presiden. "Kami tidak mau presiden menjadi mandataris MPR lagi seperti zaman Orde Baru," kata Airlangga kepada Tempo, Selasa, 30 Juli lalu.

<!--more-->

Tak cuma mengajak koalisi Joko Widodo-Ma'ruf Amin, PDIP juga merangkul Gerindra untuk membicarakan agenda amandemen ini. Pengurus PDIP dan Gerindra mengatakan hal tersebut juga dibahas dalam pertemuan Megawati dan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto pada 24 Juli lalu.

Menurut mereka, Megawati dan Prabowo membicarakan pentingnya amandemen konstitusi. Isu yang dibicarakan bagaimana mencegah membesarnya gerakan Islam kanan dan radikalisme yang ingin mengubah dasar negara.

"Pertemuan itu membahas masa depan Indonesia agar tak ada penumpang gelap yang menggunakan cara-cara radikalisme," kata Wakil Ketua Bidang Pemuda dan Olahraga PDIP Eriko Sotarduga ketika dikonfirmasi.

Partai Gerindra memang tak menolak amandemen UUD 1945. Namun Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon mengatakan amandemen itu mestinya dilakukan dengan mengembalikan UUD 1945 ke versi asli terlebih dulu. "Kembalikan dulu pada UUD 1945 yang asli, kemudian rekonstruksi. Kalau kita berani melakukan itu sebagai sebuah overhaul (pemeriksaan seksama) ya," kata Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 8 Agustus 2019.

Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies Philips Jusario Vermonte mengatakan agenda amandemen konstitusi berpotensi menjadi bola liar, termasuk mengembalikan kewenangan MPR memilih presiden. Sebab, MPR hingga saat ini belum membuka kepada publik apa saja yang akan diamandemen. "Pasti potensinya bisa ke mana-mana," kata Philips di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat, 2 Agustus 2019.

Feri Amsari pun mengimbuhkan, sebagai partai yang dikerdilkan semasa Orde Baru, PDIP seharusnya menjadi pelopor yang menolak peluang amandemen yang menjadi pintu masuk kembalinya MPR sebagai lembaga tertinggi negara. "Semestinya PDIP memperjuangkan semangat reformasi itu dengan menolak kembalinya MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan menjadikan kedaulatan tetap ada di tangan rakyat," kata Feri.

Berita terkait

Koalisi Prabowo Rangkul PKB dan Partai Nasdem Bahayakan Demokrasi

1 hari lalu

Koalisi Prabowo Rangkul PKB dan Partai Nasdem Bahayakan Demokrasi

Upaya Koalisi Prabowo merangkul rival politiknya dalam pemilihan presiden seperti PKB dan Partai Nasdem, berbahaya bagi demokrasi.

Baca Selengkapnya

Dosen Politik Universitas Udayana Sebut 5 Skenario Potensial Putusan Sengketa Pilpres oleh Hakim MK

6 hari lalu

Dosen Politik Universitas Udayana Sebut 5 Skenario Potensial Putusan Sengketa Pilpres oleh Hakim MK

Dosen Ilmu Politik Universitas Udayana (Unud) prediksi 5 skenario potensial putusan MK sengketa Pilpres 2024 yang akan di gelar Senin, 22 April 2024

Baca Selengkapnya

Kelompok Pemantau Eopa: Pemilu Turki Belum Sepenuhnya Kondusif bagi Demokrasi

25 hari lalu

Kelompok Pemantau Eopa: Pemilu Turki Belum Sepenuhnya Kondusif bagi Demokrasi

Kelompok pemantau pemilu dari Dewan Eropa mengatakan lingkungan pemilu Turki masih terpolarisasi dan belum sepenuhnya kondusif bagi demokrasi.

Baca Selengkapnya

Respons Bambang Widjojanto Soal MK Panggil 4 Menteri Jokowi Jadi Saksi Sengketa Pilpres

25 hari lalu

Respons Bambang Widjojanto Soal MK Panggil 4 Menteri Jokowi Jadi Saksi Sengketa Pilpres

Bambang Widjojanto menilai MK ingin sungguh-sungguh memeriksa setiap bukti dalam sidang sengketa Pilpres 2024.

Baca Selengkapnya

Ketika Ganjar dan Mahfud Md Kompak Berharap MK Selamatkan Demokrasi

31 hari lalu

Ketika Ganjar dan Mahfud Md Kompak Berharap MK Selamatkan Demokrasi

Mahfud Md berharap MK mengambil langkah penting untuk menyelamatkan masa depan demokrasi dan hukum di Indonesia.

Baca Selengkapnya

Ganjar dan Mahfud Bakal Singgung Kemunduran Demokrasi di Sidang Sengketa Pilpres

31 hari lalu

Ganjar dan Mahfud Bakal Singgung Kemunduran Demokrasi di Sidang Sengketa Pilpres

Mahkamah Konstitusi menjadwalkan pemeriksaan pendahuluan kepada Ganjar dan Mahfud, hari ini, pukul 13.00 WIB.

Baca Selengkapnya

Deretan Partai Oposisi dari Masa ke Masa

33 hari lalu

Deretan Partai Oposisi dari Masa ke Masa

Oposisi menjadi bagian penting dalam sistem demokrasi sebagai upaya penerapan mekanisme check and balance, berikut deretan partai oposisi dari masa ke masa.

Baca Selengkapnya

Aktivis Masyarakat Sipil Sumbar Tolak Dwi Fungsi TNI hingga Dorong Hak Angket

38 hari lalu

Aktivis Masyarakat Sipil Sumbar Tolak Dwi Fungsi TNI hingga Dorong Hak Angket

Majelis Akademika dan Aktivis Masyarakat Sipil Sumatera Barat menyampaikan delapan tuntuntan untuk penyelamatan demokrasi.

Baca Selengkapnya

Faisal Basri sebut Jokowi Bikin Indeks Demokrasi RI Mendekati Nol, Lebih Rendah dari Papua Nugini dan Timor Leste

39 hari lalu

Faisal Basri sebut Jokowi Bikin Indeks Demokrasi RI Mendekati Nol, Lebih Rendah dari Papua Nugini dan Timor Leste

Berdasar V-Dem Democracy Index 2024, Faisal Basri sebut Jokowi membuat indeks demokrasi mendekati nol, lebih rendah dari Papua Nugini dan Timor Leste.

Baca Selengkapnya

Tak Kendur Guru Besar UGM dan UI Kritisi Jokowi, Kampus Menggugat dan Seruan Salemba Menguat

42 hari lalu

Tak Kendur Guru Besar UGM dan UI Kritisi Jokowi, Kampus Menggugat dan Seruan Salemba Menguat

Setelah menggelar aksi yang melibatkan puluhan kampus pada akhir Januari lalu, kini UGM, UI, dan UII kembali kritisi Jokowi. Apa poin mereka?

Baca Selengkapnya