Cerobong PLTU Diduga Sumbang Polusi Udara Jakarta
Reporter
Lani Diana Wijaya
Editor
Zacharias Wuragil
Sabtu, 10 Agustus 2019 16:40 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Temuan awal tim peneliti ITB mendapati senyawa organik dalam kandungan debu halus (berukuran 2,5 ppm) di antara polusi udara Jakarta. Membaginya ke dalam empat fraksi, bagian terbesar memang diidentifikasi dari debu jalanan sebesar 14 persen. Tapi yang mengejutkan kedua terbesar, yakni sampai 8 persen, identik dengan senyawa yang dihasilkan dari pembakaran batu bara di PLTU.
“Ada indikasi bahwa dari pembakaran batu bara ada yang sampai Jakarta,” kata Puji Lestari, Guru Besar Pengelolaan Udara dan Limbah di Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, saat ditemui Tempo di Bandung, pertengahan Juni 2019.
Puji dan tim mengumpulkan sampel debu di tiga lokasi, di antaranya area parkir Monumen Pancasila di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Hasil di lokasi ini sama dengan yang didapatinya dari Taman Kebon Jeruk Intercon, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Di lokasi perumahan mewah ini, senyawa organik dalam particulate matter atau PM2,5 yang diduga berasal dari cerobong PLTU bahkan sampai 9 persen.
Belum diketahui untuk hasil pengambilan sampel yang sama di lokasi ketiga yaitu Kompleks GBK Senayan, Jakarta Pusat, karena masih diteliti.Di tiga lokasi itu mereka mengambil sampel dan menguji kandungan kimianya sepanjang November 2018 sampai Februari 2019. Total pengambilan sampel sampai 30-40 kali dan akan diulangi lagi di musim kemarau ini.
Dari temuan awalnya, Puji memastikan adanya kandungan sisa pembakaran batu bara yang masuk ke Jakarta tersebut. Dia menyatakan harus melakukan riset lanjutan untuk melacak lokasi sumber pembakaran itu. “Saya belum melihat apakah itu semua murni berasal dari batubara pembangkit (PLTU) atau mungkin ada sumber yang lain,” ujar dia.
Penelitian terpisah yang dilakukan Greenpeace Indonesia menguatkan indikasi debu pembakaran batu bara bertamu di udara Jakarta. Greenpeace melakukannya lewat pemodelan perangkat lunak (software) Calmet Calpuff. Pemodelan itu memperhitungkan baku mutu emisi 12 PLTU dalam radius 100 kilometer di luar Jakarta—didapat dari dokumen Amdal setiap PLTU tersebut—dan kondisi klimatologis di sekitarnya.
Selusin pembangkit itu tersebar di 11 lokasi. Sebagian, yakni tujuh unit di antaranya, sudah beroperasi.
<!--more-->
Hasil pemodelannya, konsentrasi debu halus pembakaran batu bara yang selama ini berembus ke Jakarta ada di angka 15 ug/m3. Nilainya diperkirakan meningkat menjadi 20 ug/m3 apabila pemerintah merealisasikan rencana pembangunan lima PLTU baru dalam radius yang sama. Inilah yang menjadi sumber keresahan Greenpeace Indonesia.
“Artinya kalau lihat Jakarta, dalam kondisi maksimal bisa saja pembakaran PLTU menyumbang 20 ug/m3, ini belum ditambah dari sumber lain,” kata juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Ariyanu.
Membandingkannya dengan baku mutu PM2,5 secara keseluruhan yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, konsentrasi debu halus batu bara sebesar 15-20 ug/m3 itu hampir mencapai 30 persennya. Baku mutu PM2,5 dari Kementerian adalah 65 ug/m3.
Catatan diberikan Bayu bahwa angka baku mutu ketetapan kementerian itu tak pernah diperbarui selama 20 tahun. Dia mengambil pembanding angka yang digunakan WHO. Badan Kesehatan Dunia itu menetapkan ambang batas debu halus di udara harian tak boleh lebih dari 25 ug/m3. “Ini berarti standar nasional masih tiga kali lipat lebih lemah dibandingkan standar WHO. ” kata Bondan.
Data dan indikasi debu batu bara memperkeruh udara Ibu Kota diduga telah sampai pula ke meja Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Pada awal Juni lalu dia telah lebih dulu mengungkap sumber lain pencemar udara Jakarta di luar sumber yang selama ini dikenal yakni asap kendaraan bermotor.
<!--more-->
Sekian lama tak menyinggungnya, indikasi emisi pembangkit listrik merugikan warga Jakarta dimasukkannya dalam Ingub Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara. Dalam daftar instruksi yang ditekennya pada 1 Agustus lalu Anies menulis Kepala Dinas Lingkungan Hidup agar memastikan pula instalasi dan publikasi hasil continious emission monitoring sistem pada bangunan pembangkit listrik dan cerobong industri aktif.
Anies mengaku telah pula meminta langsung kepada Perusahaan Listrik Negara pemilik sejumlah pembangkit listrik dan PLTU. Dia meminta PLN memeriksa cerobong asap PLN yang berada di kawasan Jakarta dan memastikannya tidak memberikan dampak polusi udara yang lebih tinggi bagi Jakarta. "Kemarin dalam pertemuan dengan PLN saya meminta untuk mereview kembali cerobong-cerobong PLN yang berada di kawasan Jakarta," ujar Anies saat ditemui di Hotel Sultan, Jakarta Selatan, Kamis 8 Agustus 2019.
Executive Vice President Health Safety Security and Environment PLN Antonius RT Artono menepis data dan indikasi yang sama. Saat ditemui di kantornya di bilangan Blok M, Jakarta Selatan, Artono secara khusus mempertanyakan asumsi-asumsi yang digunakan dalam pemodelan Greenpeace.
Dia lalu menjelaskan teknologi penangkap debu elektro statik. Teknologi disebutkan diadopsi PLN dari negara maju untuk diterapkan di pembangkit-pembangkit listrik yang dikelolanya. Hasilnya, semua emisi PLTU milik PLN dipastikannya jauh di bawah baku mutu yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup.
“Kami sudah monitoring online dan real time. Sudah pasang otomatis monitor terus oleh KLHK juga. Jadi ga ada isu (polusi udara) sama kami,” katanya menegaskan.