Jungkir Balik Pencari Suaka di Kalideres Pasca DKI Stop Bantuan
Reporter
M Julnis Firmansyah
Editor
Dwi Arjanto
Sabtu, 3 Agustus 2019 14:36 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -Aktivitas sekitar 1.300 orang pencari suaka di Lapangan Bekas Kodim, Kalideres, Jakarta Barat, terlihat normal pada Kamis siang, 1 Agustus 2019.
Para pengungsi tetap terlihat mengantre makanan siap saji di salah satu tenda, walaupun sejak Rabu, 31 Juli Dinas Sosial DKI Jakarta telah menghentikan pemberian bantuan logistik untuk para pencari suaka tersebut.
"Itu yang memberikan suplai makanan ke para pengungsi adalah UNHCR. Diberikan untuk satu pekan ke depan," ujar Kepala Dinas Sosial DKI Jakarta Irmansyah saat dihubungi Tempo, Jumat, 2 Agustus 2019.
Irmansyah mengatakan Dinas Sosial telah memberikan bantuan makanan sejak 11 - 31 Juli 2019. Pihaknya menghentikan pemberian bantuan logistik karena ketiadaan anggaran. Namun, ia menjelaskan pihaknya tetap menyalurkan bantuan berupa air bersih dan logistik kepada pengungsi. Kedua hal tersebut merupakan hasil kerja sama Dinsos dengan PLN dan PD PAM Jaya.
"Walau tidak ada bantuan makanan dari DKI, mereka masih boleh menempati lahan eks. Kodim sampai waktu yang tidak ditentukan," ujar Irmansyah. Namun soal nasib kebutuhan pangan untuk pengungsi beberapa pekan ke depan, Irmansyah menyerahkannya ke UNHCR selaku penganggung jawab para pencari suaka.
Salah satu pencari suaka yang Tempo temui di lokasi, Abdul Halin Sulaiman Muhammad Ishaq, mengatakan selama tinggal di penampungan dirinya sangat menggantungkan diri pada bantuan makanan tersebut.
Sebab pencari suaka asal Sudan itu dilarang bekerja oleh pemerintah Indonesia, sehingga tak ada sumber pemasukan untuk membeli makanan atau kebutuhan lainnya.
<!--more-->
Abdul menceritakan sudah berada di Jakarta sejak November 2018. Pria berkulit gelap itu datang ke Indonesia untuk mencari perlindungan karena di negara asalnya perang sedang berkecamuk dan membuatnya dapat terbunuh kapan saja.
Abdul masuk ke Indonesia melalui jalur ilegal Malaysia - Medan dengan disusupkan agen gelap menggunakan kapal nelayan. Saat tiba di Jakarta 9 bulan silam, Abdul sama sekali tak memiliki uang sehingga terpaksa hidup menggelandang di pinggir jalan dan berpindah-pindah.
Pria berusia 17 tahun itu menjelaskan beberapa trotoar yang pernah ia cicipi untuk tinggal antara lain trotoar Jalan Jaksa, trotoar Kebon Sirih, hingga trotoar Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) di Kalideres. Selama hidup berpindah-pindah itu, Abdul bercerita ada saja masyarakat yang memberinya makanan, pakaian, hingga uang.
Lalu ketika direlokasi Pemprov DKI ke Lapangan Bekas Kodim, Jakarta Barat, pada 11 Juli 2019, Abdul mengaku senang.
Pasalnya, di penampungan yang berada di dalam Kompleks Daan Mogot Baru itu tersedia makanan dua kali sehari, air bersih, hingga bangunan untuk para pengungsi tidur.
"Kalau tidak boleh lagi di sini, mungkin saya akan kembali lagi ke trotoar dan berharap bantuan dari masyarakat," ujar Abdul.
Berbeda dengan Abdul yang sudah menjadi yatim piatu, beberapa nasib pengungsi lain masih terbilang cukup baik karena mendapat kiriman uang dari keluarga di negara asalnya.
Contohnya Ali Nazari, pencari suaka asal Afganistan itu mendapat kiriman uang rutin dan membuatnya bisa mengontrak rumah di kawasan Cisarua, Bogor, Jawa Barat.
"Alhamdulillah orang tua saya di Afganistan rutin mengirim uang," katanya.
Adapun alasan Ali terdampar di penampungan Kalideres, sebab pada satu bulan yang lalu ia mendapatkan kabar UNHCR sudah mendapat keputusan soal status suakanya. "Tapi ternyata hanya didata ulang kemudian diminta menunggu lagi, sementara uang sudah habis," kata dia.
Melihat nasib para pencari suaka yang sangat bergantung pada bantuan karena tidak bisa bekerja di sektor formal, membuat UNHCR mencari cara agar para pengungsi setidaknya dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
<!--more-->
Representatif United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) di Indonesia Thomas Vargas mengatakan pada awal tahun 2019 pihaknya telah bekerja sama dengan Universitas Atma Jaya dan Dompet Dhuafa untuk membuat program kewirausahaan untuk para pengungsi.
Ia menjelaskan konsep program ialah para pengungsi yang memiliki ide bisnis akan bekerja sama dengan wirausahawan Indonesia untuk menjalankan sebuah usaha.
Thomas mengatakan para pengungsi pada dasarnya merupakan individu kreatif yang memiliki kebudayaan dan dapat dikembangkan menjadi sebuah bisnis.
Dalam program itu, pengungsi tinggal mendaftar dan akan dicarikan partner dari Indonesia. Selanjutnya mereka akan membuat sebuah proposal bisnis yang akan diseleksi oleh UNHCR dan International Labour Organization (ILO). Ide bisnis terbaik selanjutnya akan diberikan sejumlah modal untuk menjalankan usaha.
Melalui cara ini, Thomas menjelaskan para pengungsi bisa mendapatkan uang secara legal dan di sisi lain program ini berkontribusi menumbuhkan geliat perekonomian di Indonesia. "Jadi program ini adalah win win solution," ujar Thomas.
Untuk saat ini, program kewirausahaan untuk para pengungsi baru berjalan di angkatan pertama, yakni pada bulan Januari 2019. Saat itu 30 pengungsi dan 30 orang Indonesia berpartisipasi mengembangkan ide bisnis mereka masing-masing.
Thomas menjelaskan pihaknya sedang membicarakan program ini dengan pemerintah Indonesia agar nantinya program kewirausahaan ini dapat mencakup lebih banyak pengungsi. "Tanggapan pemerintah sangat positif terhadap program ini," kata dia.
Adapun salah satu contoh pengungsi yang saat ini mandiri karena program tersebut adalah Bismillah Tahirzada. Pemuda asal Afghanistan ini menjadi pencari suaka yang rela jungkir balik jadi wirausahawan angkatan pertama dalam program tersebut.