Kritik dari Tujuh Penjuru Angin untuk Panitia Seleksi Capim KPK
Reporter
Ahmad Faiz Ibnu Sani
Editor
Endri Kurniawati
Senin, 29 Juli 2019 12:32 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Proses seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (capim KPK) periode 2019-2023 terus menuai kritik. Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil menganggap panitia seleksi (Pansel) tertutup dan bermasalah.
Indikasi tertutupnya Pansel terpotret dari sulitnya publik mengakses Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 54/P tahun 2019 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Masa Jabatan Tahun 2019-2023. Adapun dugaan Pansel bermasalah tampak dari lolosnya pendaftar dari kalangan aparat penegak hukum maupun yang telah purnatugas tidak patuh melaporkan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN).
Kepala Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora, bercerita jika Kementerian Sekretariat Negara menolak permintaan lembaganya untuk menyerahkan salinan Keppres. Hingga padahal LBH berencana menggugat Keppres ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). "Kementerian Sekretariat Negara menyatakan tidak dapat memberikan Kepres itu dengan alasan hanya untuk masing-masing anggota Pansel," kata Nelson dalam konferensi pers di kantor LBH Jakarta, Jalan Diponegoro, Jakarta, Ahad, 28 Juli 2019.
Penolakan ini menjadi pertanyaan lantaran berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Informasi Publik, Keppres Pansel KPK itu bukan termasuk informasi yang dikecualikan. "Penolakan ini membuktikan rezim Jokowi tertutup. Hanya untuk peraturan perundang-undangan saja tertutup," ucap Nelson.
Sikap peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, sama tentang pemerintah soal sembilan anggota Pansel Capim KPK itu. Menurut dia, mereka tidak berani memperlihatkan Keppres itu kepada publik. "Jadi Keppres-nya masih misterius."
Menteri Sekretaris Negara Pratikno membantah jika pemerintah dikatakan menutup-nutupi proses seleksi capim KPK. Istana, kata dia, tidak berani mengintervensi dan menyerahkan sepenuhnya kepada Pansel Capim KPK. "Kami jaga betul netralitas dan kami percaya kompetensi dan profesionalitas Pansel yang dibentuk Presiden Jokowi (Joko Widodo)," kata dia saat ditemui di kantornya, Senin, 29 Juli 2019.
Soal penolakan permintaan salinan Keppres, Pratikno mengatakan akan mengecek lebih dahulu. Menurut dia, tidak ada yang spesial dari isi Keppres itu. "Saya akan cek, ya. Itu isinya sederhana sekali pembentukan Pansel."
Keppres yang diteken Jokowi pada 17 Mei 2019 lalu itu mengangkat sembilan orang sebagai pimpinan dan anggota Pansel. Mereka adalah Yenti Ganarsih, Indriyanto Senoadji, Harkristuti Harkrisnowo, Marcus Priyo Gunarto, Hamdi Moeloek, Diani Sadia Wati, Mualimin Abdi, Hendardi, dan Al Araf.<!--more-->
Lolosnya Figur-figur Tak Taat Lapor LHKPN
Pansel KPK memutuskan meloloskan para pendaftar dari kalangan aparat penegak hukum maupun yang telah purnatugas yang tidak taat pelaporan LHKPN ke tahap tes psikologi. Ketua Pansel, Yenti Garnasih, berpendapat jika penyerahan LHKPN bukan syarat wajib dalam mendaftar calon pimpinan KPK. Ia mengatakan LHKPN baru wajib dilaporkan ketika pendaftar lolos menjadi pimpinan KPK.
Pernyataan Yenti itu menuai kritik. Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai mengumumkan LHKPN adalah salah satu syarat seseorang bisa menjadi pimpinan KPK. Hal itu seperti tertuang jelas dalam Pasal 29 angka 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. "Kalau Ketua Pansel KPK sendiri tidak membaca syarat-syarat bagaimana seseorang bisa layak menjadi pimpinan KPK, tentu saja pansel ini dipertanyakan kredibilitasnya."
Anggota Pansel, Hendardi, menjelaskan hal ini sama dengan seleksi pimpinan KPK empat tahun lalu. "Ketika itu bahkan Saut Situmorang (komisioner KPK sekarang) pada saat wawancara belum ada LHKPN. Namun ketika terpilih sudah dilengkapi oleh yang bersangkutan," ucapnya saat dihubungi Tempo.
Hendardi heran karena para aktivis itu baru mempermasalahkan isu LHKPN pada pemilihan calon pimpinan KPK periode ini. "Sedangkan pada periode-periode lalu tidak dimasalahkan oleh ICW dan kawan-kawan."
Menurut dia, sikap ICW ini menimbulkan dugaan ingin menjatuhkan orang-orang yang tidak mereka sukai dan mendorong figur favoritnya yang berasal dari kalangan KPK. "Karena pasti pekerja atau pejabat asal KPK sudah lebih siap dengan LHKPN karena dokumen itu memang pelaporannya ke KPK," kata Hendardi.
Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zainal Arifin Mochtar, menilai Pasal 29 Undang-Undang KPK yang berbunyi "Untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut..." bisa membuat orang beda penafsiran. Namun menurut dia, ada frasa "Untuk dapat diangkat" menunjukkan kewajiban penyerahan LHKPN sebagai syarat administrasi.
"Harusnya orang yang mendaftar, selama dia pejabat negara, harus menyerahkan LHKPN," kata dia saat dihubungi Tempo.
Menurut Zainal, rajin taat melaporkan LHKPN menjadi salah satu indikator calon memiliki integritas. Ia berharap Pansel KPK menjadikan kepatuhan terhadap LHKPN sebagai patokan utama untuk meloloskan para peserta dari tes psikologi. Tes psikologi untuk capim KPK seharusnya bisa melihat psikologi seseorang ketika ada kewajiban undang-undang tapi tidak melaksanakan. “Harusnya bisa dimasukkan sebagai item untuk mencoret."
AHMAD FAIZ | ROSSENO AJI NUGROHO