Ada Isu Radikalisme dalam Seleksi Calon Pimpinan KPK
Reporter
M Rosseno Aji
Editor
Rina Widiastuti
Senin, 24 Juni 2019 13:29 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan heran dituding radikal hanya karena jenggot dan cara berpakaiannya. Dia mempertanyakan kaitan mode yang ia pilih dengan isu ada penyidik 'Taliban' di KPK. "Ketika seseorang punya jenggot seperti saya, kadang menggunakan celana sesuai dengan sunah rasul, terus dipermasalahkan?" kata Novel di depan kantornya, Kamis, 20 Juni 2019.
Baca: Gandeng BNPT, Pansel KPK Dinilai Fokus Cari Figur Antiteroris
Isu berkembangnya radikalisme di tubuh KPK memang tengah mencuat di media sosial belakangan ini. Pegiat media sosial Denny Siregar menuliskan hal itu di laman Facebooknya pada 13 Juni 2019. Dalam tulisannya, ia mengaku mendengar desas-desus bahwa ideologi radikalisme berkembang di KPK sejak lama.
Dalam tulisannya, ia juga menyitir soal isu faksi 'Polisi Taliban' dan 'Polisi India' di KPK. Isu itu pertama kali diucapkan Direktur Indonesia Police Watch (IPW) Neta S. Pane. Dia menyampaikan hal itu dalam konteks perseteruan antara penyidik polri dan penyidik internal KPK pada April lalu.
Denny menyebut faksi Taliban adalah kelompok agamis dan ideologis. Ketika bicara soal faksi ini, Denny menyinggung nama Novel Baswedan dan mantan komisioner KPK Bambang Widjojanto. Menurut dia, kelompok Taliban memiliki pengaruh kuat di KPK. Kelompok ini bahkan bisa menentukan kasus yang harus diangkat dan kasus yang dihilangkan.
Tulisan tersebut kemudian disebarkan oleh kader Nahdlatul Ulama, Akhmad Sahal melalui akun Twitternya @Sahal_AS pada 13 Juni 2019. “Banyak pendukung KPK yg belakangan dirundung kecemasan.. Mrk bertanya2, betulkah kaum “Islam cingkrang” makin menguat di KPK? Tulisan Bung @Dennysiregar7 ini mencerminkan kecemasan tsb. Yuk kawal KPK. Jgn sampe lembaga vital NKRI ini terpapar radikalisme. #SaveKPK" twit akun itu.
Baca: Pansel KPK: Jokowi Dukung Pelibatan BNPT dan BNN
Denny juga merespon langkah panitia seleksi calon pimpinan KPK periode 2019-2023 melibatkan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) dalam proses seleksi. "Kriteria ini baru saya dengar, dan ikut senang membacanya," kata dia.<!--more-->
Tulisan Denny, memang merespons atas pernyataan pansel KPK. Ketua Pansel KPK, Yenti Garnasih, seusai bertemu Kapolri Jenderal Tito Karnavian di Mabes Polri, Jakarta pada 13 Juni lalu, menjelaskan alasan tim melibatkan BNPT dan Badan Intelijen Negara (BIN). Pelibatan BNPT baru dilakukan pada periode seleksi ini. Ia mengatakan tak ingin kecolongan meloloskan calon pimpinan berpaham terorisme. "Karena eranya seperti ini, kami tidak mau kecolongan," kata Ketua Pansel KPK, Yenti Garnasih di Mabes Polri, Jakarta, Kamis, 13 Juni 2019.
Baca: Libatkan BNPT, Pansel KPK Ogah Kecolongan Figur Radikal
Wadah Pegawai KPK menengarai ada pihak yang sengaja mengembuskan isu bahwa lembaga antirasuah berpaham radikal. Isu itu sengaja disebar untuk memecah fokus publik menjelang seleksi calon pimpinan baru. "Agar perhatian publik terpecah sehingga calon-calon pimpinan KPK yang justru memiliki persoalan integritas dapat masuk ke KPK untuk merusak lembaga dari dalam," kata Ketua WP KPK, Yudi Purnomo dalam keterangan tertulis, Rabu, 19 Juni 2019.
Yudi menyatakan tidak pernah ada indikasi pemahaman radikal tumbuh di KPK. Sejak berdiri 2003, kata dia, tidak pernah ada personel KPK terafiliasi dengan kegiatan teror, organisasi terlarang, ataupun menunjukan kebencian terhadap agama, ras dan kelompok tertentu.
Ia pun heran dengan panitia seleksi yang terkesan terlalu fokus mencari figur antiteroris, alih-alih mencari figur antikorupsi. “Alih-alih mencari tokoh antikorupsi yang bersih dan berintegritas, pansel justru terkesan lebih konsen mencari tokoh antiteroris,” ujarnya.
Hal serupa diungkapkan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang. Saut meminta masyarakat tidak ujug-ujug mencap seseorang teroris hanya karena berjenggot dan bercelana cingkrang. "Setelah empat tahun di KPK, (saya paham) jangan lihat orang, dari jenggot, kumis, celana, baju atau sepatu," kata Saut di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi, Jakarta, Kamis, 20 Juni 2019.
Saut mengatakan KPK adalah lembaga dengan sistem pengawasan yang sangat ketat. Ideologi di KPK, kata dia, cuma satu, yakni ide pemberantasan korupsi. Ide itu yang dipelihara dan ditularkan kepada pegawai KPK yang baru masuk. "Kalau ada yang punya ideologi selain pemberantasan korupsi akan hilang dengan sendirinya," kata dia.
Baca: 2 Hari Dibuka, Pansel Calon Pimpinan KPK Menerima 11 Pelamar
Novel Baswedan tak mau ambil pusing soal polemik ini. Dia ikhlas disebut radikal atau Taliban asal punya definisi yang spesifik, yakni: tak ada kompromi dalam hal korupsi. "Kalau itu, tidak masalah," ujar dia.