Spanduk bersyukur atas perolehan opini WTP dari BPK dibentangkan di dalam Gedung DPRD DKI Jakarta, Rabu 15 Mei 2019. Gubernur Anies Baswedan diajak sejumlah pegawai DKI berfoto bersama spanduk itu. TEMPO/M Julnis Firmansyah
Michael menuturkan telah menugaskan penagihan kewajiban fasos-fasum kepada wali kota setempat. “Untuk lebih cepatnya, penagihan kami tugaskan pada wali kota,” tuturnya. Setelah wali kota bisa menagih tunggakan fasos-fasum, dibuatkan berita acara serah terima dengan pengembang. Setelah itu, aset fasos-fasum itu akan diserahkan ke BPAD.
Wakil Wali Kota Jakarta Utara Ali Maulana Hakim menuturkan salah satu kendala dalam penagihan kewajiban fasos -fasum dari pengembang ialah tidak sesuainya kewajiban yang harus diserahkan dengan perjanjian (SIPPT). Misalnya, pengembang berkewajiban menyerahkan jalan. Setelah dikaji, spesifikasi jalan yang akan diserahkan tidak sesuai dengan rekomendasi dari Dinas Bina Marga.
Contoh lainnya, kata Ali, pengembang belum mensertifikatkan tanah yang menjadi kewajiban fasos dan fasumnya. Padahal, pengembang wajib mensertifikatkan tanah itu atas nama pemerintah DKI. Dalam banyak kasus, menurut Ali, pemerintah kota terpaksa menerima lebih dulu tanah fasos -fasum itu. Namun, pengembang seharusnya segera mengurus sertifikasi tanah itu. “Jangan sampai menunggu sempurna, nanti nggak ketagih-tagih,” katanya.
Wakil Wali Kota Jakarta Timur Uus Kuswanto mengungkapkan, ada juga pengembang yang melunasi kewajiban fasos-fasum kepada pemerintah DKI Jakarta, tapi mereka masih menguasai secara fisik fasos-fasum tersebut.
Uus mencontohkan, pengembang harus menyerahkan fasos-fasum berupa sarana pendidikan seperti sekolah. Namun, fasos-fasum untuk pemerintah DKI itu justru dimanfaatkan oleh pengembang dengan cara disewakan kepada pihak lain.
Uus tidak bisa menjelaskan mengapa masalah penting membebani DKI Jakarta itu bisa muncul. “Nggak tahu, itu pengelolaan aset zaman dulu karena banyak juga yang berkasus,” kata dia.