Pasal Layu Penjerat Robertus Robet
Reporter
Tempo.co
Editor
Syailendra Persada
Minggu, 10 Maret 2019 10:21 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Rabu tengah malam pekan lalu, lima orang anggota Direktorat Tindak Pidana Kejahatan Siber Badan Reserse Kriminal Mabes Polri menangkap Robertus Robet di rumahnya di Depok. Polisi mengklaim penangkapan dosen Universitas Negeri Jakarta ini sebagai upaya melindungi Robet dari ancaman main hakim sendiri anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Baca: Berikut Isi Lengkap Orasi Robertus Robet Saat Aksi Kamisan
Pangkal penangkapan ini berawal dari kritik Robet terhadap rencana TNI yang akan kembali masuk ke ranah sipil. Robet menyampaikan kritiknya itu dalam aksi kamisan, unjuk rasa yang digelar setiap Kamis di depan Istana Negara dengan agenda menuntut penuntasan permasalah HAM.
“Bukan karena kita membenci tentara, kita mencintai tentara. Tentara yang apa? Tentara yang profesional untuk menjaga pertahanan Indonesia. Tapi kita tidak menghendaki tentara masuk ke dalam kehidupan politik,” kata Robet ketika berorasi di aksi kamisan yang sudah berjalan 12 tahun ini, Kamis, 28 Februari 2019.
Nah, untuk mengingatkan bahaya dwifungsi ABRI pada zaman dahulu, Robet kemudian menyanyikan satu bait lagu satire tentang ABRI. Lagu ini dibuat oleh para aktivis di zaman pergerakan 1998 untuk mengkritik ABRI. Video orasi ini viral.
Sayangnya, kata Robet, video tersebut tak utuh. Ada orang yang sengaja memotong konteks orasi tersebut. Sehingga, video yang beredar hanyalah bagian ketika ia menyanyikan lagu satire soal ABRI. “Padahal jika dipahami konteks utuhnya bukan seperti itu,” kata Robet. “Saya hanya ingin mengingatkan bahaya Dwifungsi ABRI.”
Malam itu, Polisi memeriksa Robet. Aktivis Hak Asasi Manusia pun berkumpul di Mabes Polri untuk mendukung Robet. Dalam hitungan jam, kabar Robet menjadi tersangka beredar. "Robertus Robet menjadi tersangka hate speech," kata Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Rachlan Nashidik melalui pesan singkat, Kamis dini hari, 7 Maret 2019.
Pagi harinya, Juru bicara Markas Besar Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo memgkonfirmasi penangkapan dan penetapan status tersangka terhadap aktivis Robertus Robet pada Rabu malam, 6 Maret 2019.
"Robet ditangkap atas dugaan tindak pidana penghinaan terhadap penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia," kata Dedi melalui pesan singkat, Kamis, 7 Maret 2019. Dedi menjelaskan Robet ditangkap karena orasi saat aksi Kamisan di Monumen Nasional, tepatnya depan Istana, pada Kamis pekan lalu. Orasi Robet dianggap telah menghina institusi TNI.
Simak juga: Penangkapan Robertus Robet Disebut Menciderai Demokrasi
Selain itu, Robet Ditangkap karena dugaan tindak pidana menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), serta hoaks.
Baca kelanjutannya: MK Batalkan Pasal yang Digunakan Menjerat Robertus Robet
<!--more-->
Robet mulanya dijerat Pasal 45 A ayat (2) Jo 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 207 KUHP. Belakangan, polisi hanya menjerat Robet dengan Pasal 207 KUHP tentang tentang penghinaan kepada penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia. Dedi mengatakan konstruksi pasal ini yang paling kuat.
Baca: Kejanggalan Penerapan Pasal 207 KUHP terhadap Robertus Robet
Bunyi Pasal 207 tersebut adalah "Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."
Polisi memang tak menahan Robet. Namun, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi serta kuasa hukum Robertus Robet menyebut penggunaan Pasal 207 KUHP ini dinilai tak tepat. "Pasal-pasal yang dikenakan selama ini kerap disalahgunakan untuk merepresi kebebasan berekspresi atau draconian laws dan sungguh tidak tepat," kata salah satu tim kuasa hukum Robertus Robet, Yati Andriyani, Kamis, 7 Maret 2019.
Selain itu, koalisi juga menyebut ada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 yang “membatasi” penggunaan Pasal 207. Putusan MK itu menyebutkan "dalam masyarakat demokratik yang modern maka delik penghinaan tidak boleh lagi digunakan untuk pemerintah (pusat dan daerah), maupun pejabat pemerintah (pusat dan daerah)."
Bagian lain putusan itu mengatakan, "Menimbang bahwa dalam kaitan pemberlakuan Pasal 207 KUHPidana bagi delik penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana halnya dengan penghinaan terhadap penguasa atau badan publik (gestelde macht of openbaar lichaam) lainnya, memang seharusnya penuntutan terhadapnya dilakukan atas dasar pengaduan (bij klacht).
Sedangkan, Dedi Prasetyo mengatakan penangkapan Robertus Robet didasarkan laporan model A. Artinya, polisi membuat pengaduan sendiri setelah mengetahui adanya dugaan tindak pidana, tanpa adanya aduan pihak lain. "Polisi secara proaktif membuat laporan polisi model A untuk dapat melakukan langkah-langkah penegakan hukum dan menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat, baik yang ada di medsos dan yang ada dunia nyata," kata Dedi.
Simak juga: Polri: Penangkapan Robertus Robet Berdasarkan Laporan Model A
Saat ditanya soal putusan MK yang menyinggung Pasal 207 KUHP itu, Dedi berujar polisi sudah bertindak berdasarkan alat bukti dan analisis saksi ahli. "Itu teknis sekali, jangan saya menjelaskan seperti itu. Secara global sesuai fakta hukum yang disampaikan penyelidik kepada saya," ujarnya.
Simak terusannya: Krtik aktivis HAM terhadap penetapan tersangka Robet
<!--more-->
Wakil Ketua Imparsial, Gufron Mabruri, mengkritik penetapan tersangka Robet. Ia menilai penangkapan ini adalah represi yang lahir dari mentalitas otoritarian orde baru. “Warisan otoritarian orde baru masih bertahan sampai sekarang. Kultur apa yang dialami oleh Robet kritik dia pada pemerintah,” kata Gufron di kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Kamis, 7 Maret 2019.
Baca: Sudirman Said: Kritik Robertus Robet ke ABRI, Kebebasan Akademik
Gufron mengatakan selain Robet masih banyak aktivis yang dikriminalisasi. Aktivis yang melakukan advokasi di sektor-sektor buruh, atau petani, kata dia, kerap mendapat respon yang represif dari aparat keamanan. Situasi ini menurutnya tentu perlu disikapi secara serius.
Gufron menilai, tidak ada yang salah dengan orasi Robet. Menurut dia, lagu yang ia sebut pada orasi tersebut pun tidak menghina tetapi bentuk kritik atas kebijakan dwifungsi ABRI di masa lalu, yang ia nilai relevan dengan kondisi saat ini.
“Kritik ini harus disikapi secara wajar. Kebebasan dalam konteks demokrasi. Kalaupun ada ketidaksetujuan, reaksi represif tentu tidak dibenarkan, seharusnya dibalas gagasan, narasi yang kostruktif. Tidak bisa persekusi online, itu sangat anti demokrasi,” ujar dia.
Gufron menambahkan, penangkapan Robertus Robet ini bisa jadi preseden buruk. Karena aktivis, maupun pers berpotensi diperlakukan sama. Untuk itu ia mengatakan preseden buruk ini perlu dilawan.