NU dan Usul Penghapusan Label Kafir untuk Nonmuslim

Reporter

Tempo.co

Editor

Juli Hantoro

Minggu, 3 Maret 2019 12:11 WIB

Suasana rapat pleno dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama (NU) di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Banjar, Jawa Barat, 27 Februari 2019. TEMPO/M Taufan Rengganis

TEMPO.CO, Jakarta - Usul Nahdlatul Ulama atau NU untuk menghapus istilah kafir bagi non muslim di Indonesia menjadi perbincangan hangat di sepanjang akhir pekan ini. Banyak pihak mengapresiasi usul yang dihasilkan dari sidang Komisi Bahtsul Masail Maudluiyah dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama NU di Kota Banjar pada 27-1 Maret 2019.

Baca juga: NU Usul Hapus Sebutan Kafir, PGI: Bisa Perkuat Persatuan Bangsa

Abdul Moqsith Ghazali yang jadi pimpinan sidang Komisi Bahtsul Masail Maudluiyah mengatakan para kiai berpandangan penyebutan kafir dapat menyakiti para nonmuslim di Indonesia.

"Dianggap mengandung unsur kekerasan teologis, karena itu para kiai menghormati untuk tidak gunakan kata kafir tapi 'Muwathinun' atau warga negara, dengan begitu status mereka setara dengan warga negara yang lain," katanya di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Kamis, 28 Februari 2019.

Meski begitu, kata Moqsith, bukan berarti NU akan menghapus seluruh kata kafir di Alquran atau hadis. Keputusan dalam Bahtsul Masail Maudluiyyah ini hanya berlaku pada penyebutan kafir untuk warga Indonesia yang nonmuslim.

Advertising
Advertising

"Memberikan label kafir kepada WNI yang ikut merancang desain negara Indonesia rasanya tidak cukup bijaksana," ucapnya.

Moqsith sepakat jika urusan 'kafir' ini seharusnya sudah umat Islam Indonesia selesaikan sejak dahulu. Sikap NU yang membahas kembali, kata dia, lantaran ada sekelompok masyarakat yang mulai memberikan atribusi diskriminatif.

Moqsith berujar keputusan terkait penyebutan kafir ini sebatas menjadi dasar sikap NU. Sebabnya tidak akan diteruskan ke Komisi Rekomendasi hingga dibawa ke dalam sidang pleno di acara Munas Alim Ulama ini.

"Biasanya rekomendasi itu terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan negara. Sementara ini hanya narasi akademis," kata dia.

Usulan ini mendapat dukungan dari Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj. Ia mengatakan usulan penghapusan penyebutan kafir kepada warga negara Indonesia nonmuslim, merujuk pada sejarah Nabi Muhammad saat hijrah ke Kota Madinah.

"Dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara bangsa tidak dikenal istilah kafir. Maka setiap warga negara memiliki kedudukan dan hak yang sama di mata konstitusi," katanya dalam penutupan Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Jumat, 1 Maret 2019.

Said menjelaskan istilah kafir berlaku ketika Nabi Muhammad masih berada di Kota Mekah dan belum pindah ke Madinah. Saat itu label kafir ditujukan untuk menyebut orang-orang yang menyembah berhala dan tidak memiliki kitab suci dan agama yang benar.

"Tapi setelah Nabi Muhammad hijrah ke kota Madinah tidak ada istilah kafir untuk warga Madinah," ucapnya.

Said menuturkan di Madinah saat itu ada tiga suku besar yang tidak memeluk Islam. Namun Nabi Muhammad memilih menyebutnya nonmuslim.

Menanggapi hasil pembahasan Bahtsul Masail Maudluiyah Munas Alim Ulama NU itu mustasyar PBNU Ma'ruf Amin mengatakan rekomendasi itu dikeluarkan untuk menjaga keutuhan bangsa.

"Ya ini supaya kita menjaga keutuhan. Sehingga tidak menggunakan kata-kata yang seperti menjauhkan, diskriminasi," ujar Ma'ruf lewat keterangan tertulis pada Sabtu, 2 Maret 2019.

Ma'ruf yang kini menjadi calon wakil presiden nomor urut 01, mengaku tidak mengikuti langsung Bahtsul Masail tersebut lantaran saat itu dia tengah melakukan safari politik ke beberapa daerah di Jawa Barat untuk menyerap aspirasi masyarakat. "Saya sendiri tidak ikut sidangnya karena terus muter-muter," ujar Mustasyar PBNU ini.

Namun, menurut dia, jika para ulama telah sepakat untuk tidak menggunakan istilah kafir bagi non muslim di Indonesia, berarti hal itu memang diperlukan untuk menjaga keutuhan bangsa.

"Kalau itu sudah disepakati ulama berarti ada hal yang diperlukan pada saat tertentu untuk menjaga keutuhan bangsa, istilah-istilah yang bisa menimbulkan ketidaknyamanan itu untuk dihindari," kata Ma'ruf.

Bahkan menurut Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi - Ma'ruf menyebut usulan Munas Alim Nahdatul Ulama (NU) untuk menghapus istilah kafir bagi non-muslim itu bisa menurunkan tensi politik menjelang pemilihan presiden 2019. Sebab, belakangan banyak istilah kafir-mengkafirkan.

"Keputusan NU ini sangat maju untuk menghindari konflik kelompok dalam negara. Kan sebenarnya tidak ada warga kelas dua, apapun agamanya, semuanya sama. Tidak ada diskriminasi," ujar Direktur TKN Jokowi-Ma'ruf, Maman Imanulhaq di Posko Cemara, Jakarta pada Sabtu, 2 Maret 2019.

Ketua Pimpinan Pusat Lembaga Dakwah Nahdatul Ulama (LDNU) ini sepakat tidak ada istilah kafir bagi orang yang tidak beragama Islam. "Kalau mengacu Alquran, kafir itu merupakan istilah bagi orang beragama tapi tidak mengamalkan agamanya, seperti pelaku korupsi atau yang punya lahan tapi enggak dibagi-bagi," ujar dia.

Front Pembela Islam lewat juru bicaranya Munarman justru menolak alasan penghapusan kata kafir oleh NU tersebut. Menurut dia, kata dan konsep kafir itu bukan ujaran kebencian ataupun diskriminasi, tetapi istilah yang diajarkan dalam Islam untuk menyebut manusia yang menutup diri dari Islam.

“Kata dan konsep kafir itu bukan ujaran kebencian ataupun diskriminasi, itu istilah yang diberikan Allah kepada manusia yang menutup diri dari kebenaran Islam yang dibawa melalui baginda Rasulullah SAW,” ujar Munarman kepada Tempo, Sabtu, 2 Maret 2019.

Tokoh Muhammadiyah Anwar Abbas mengatakan, secara teologis, orang yang tidak beragama Islam dalam pergaulan sehari-hari disebut non-muslim atau orang yang tidak beragama Islam. Sementara itu, ujar dia, orang yang tidak dan atau belum meyakini ajaran agama Islam sebagai agama, di dalam Islam disebut dengan kafir.

“Namun, menurut Islam adalah sah-sah saja dan boleh-boleh saja (berbeda keyakinan), karena itu merupakan hak individu dan tidak boleh memaksa mereka untuk memeluk Islam,” ujar Anwar saat dihubungi Tempo pada Ahad, 3 Maret 2019.

Soal istilah kafir bagi yang tidak beragama Islam, menurut Anwar, posisi itu tidak bisa ditawar-tawar oleh seorang muslim, karena ayat dan hadis yang menyatakan seperti itu sudah jelas dan tidak perlu lagi dijelaskan. “Tetapi yang menjadi masalah adalah bagaimana kita membawakannya di dalam pergaulan sehari-hari? Silakan saja kepada masyarakat setempat untuk memutuskannya. Sebab secara teologis, kata non-muslim dan kata kafir adalah sama dan setara, yaitu sama-sama tidak dan atau belum bisa menerima ajaran Islam sebagai agama mereka,” ujar Anwar.

Adapun organisasi lintas agama setuju dengan usulan NU. Sekretaris Umum Persekutuan Gereja Indonesia (PG)I Gomar Gultom mengatakan, kata saling kafir-mengkafirkan belakangan ini merupakan bentuk kekerasan teologis dan mengusik persaudaraan dan kerjasama sesama anak bangsa.

Baca juga: Said Aqil: Di Madinah Nabi Muhammad tidak Gunakan Istilah Kafir

"Kita tidak hendak menggugat penggunaan kata kafir dalam kitab suci, kalau itu memang ada. Namun dalam masyarakat majemuk, dan dalam perspektif kemanusiaan sejati, patutlah kita mengembangkan pemahaman yang lebih menghargai satu sama lain," kata Gomar, Sabtu, 2 Februari 2019.

Umat Hindu lewat Parisada Hindu Dharma Indonesia atau PHDI juga sejalan dengan PGI untuk mendukung usulan NU tersebut. Sekretaris Bidang Hubungan Internasional PHDI Pusat, AA Ketut Diatmika mengatakan langkah tersebut dapat mempererat rasa persatuan kesatuan bangsa.

"Apa yang dilakukan oleh saudara kami dari NU adalah hal yang positif demi terbinanya ketertiban, persatuan dan kesatuan bangsa indonesia, kami ikut mendukung," kata Ketut saat dihubungi Tempo, Sabtu, 2 Februari 2019.

AHMAD FAIZ| FIKRI ARIGI| EGI ADYATAMA|DEWI NURITA

Berita terkait

Prabowo Tiba di Kantor PBNU, Karpet Merah Digelar

1 jam lalu

Prabowo Tiba di Kantor PBNU, Karpet Merah Digelar

Prabowo disambut oleh Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf dan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas.

Baca Selengkapnya

Menteri hingga Panglima TNI Dijadwalkan Hadir di Halalbihalal PBNU

3 jam lalu

Menteri hingga Panglima TNI Dijadwalkan Hadir di Halalbihalal PBNU

Halalbihalal PBNU juga akan dihadiri duta besar negara sahabat.

Baca Selengkapnya

Prabowo-Gibran Dijadwalkan Hadiri Halalbihalal PBNU Hari ini

6 jam lalu

Prabowo-Gibran Dijadwalkan Hadiri Halalbihalal PBNU Hari ini

Prabowo dijadwalkan menyampaikan pidato di acara tersebut.

Baca Selengkapnya

PMII Berdiri Sejak 1960, Ini Alasan dan Tugas Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia

10 hari lalu

PMII Berdiri Sejak 1960, Ini Alasan dan Tugas Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia

Ini alasan berdirinya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia atau PMII pada 1960.

Baca Selengkapnya

64 Tahun PMII, Respons Mahasiswa Muslim terhadap Situasi Politik

10 hari lalu

64 Tahun PMII, Respons Mahasiswa Muslim terhadap Situasi Politik

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan salah satu dari sekian banyak organisasi mahasiswa yang masih eksis sampai saat ini.

Baca Selengkapnya

'Tragedi' Lebaran 2011, Opor Ayam Sudah Dibuat Penetapan Idul Fitri Mundur Sehari

16 hari lalu

'Tragedi' Lebaran 2011, Opor Ayam Sudah Dibuat Penetapan Idul Fitri Mundur Sehari

Masih ingat Lebaran 2011, saat pemerintah mundurkan sehari Idul Fitri. Emak-emak protes opor yang sudah dibuat tak jadi disantap esok hari.

Baca Selengkapnya

17 Kiai NU di Lumajang Kirim Surat Protes ke PBNU, Ogah Dipolitisasi untuk Pilkada

18 hari lalu

17 Kiai NU di Lumajang Kirim Surat Protes ke PBNU, Ogah Dipolitisasi untuk Pilkada

TEMPO CO, Lumajang - Bertarikh 6 April 2024, surat itu ditujukan kepada Ketua PBNU. Isinya, daftar nama dan tanda tangan 17 kiai Lumajang yang tergabung dalam Forum Komunikasi Kiai Lumajang. Mereka menyatakan sikapnya karena terusik dan keberatan bila PCNU Kabupaten Lumajang dijadikan alat politik praktis untuk kepentingan pemilihan umum kepala daerah Kabupaten Lumajang 2024.

Baca Selengkapnya

Hilal Sudah Terlihat, Muhammadiyah Tetapkan Idulfitri 1445 H Rabu 10 April 2024

19 hari lalu

Hilal Sudah Terlihat, Muhammadiyah Tetapkan Idulfitri 1445 H Rabu 10 April 2024

Keputusan berdasar pada Hisab Hakiki Wujudul Hilal yang jadi pedoman Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.

Baca Selengkapnya

Lebaran Tanggal Berapa? Ini Jadwal Idul Fitri 2024 Versi Muhammadiyah dan NU

19 hari lalu

Lebaran Tanggal Berapa? Ini Jadwal Idul Fitri 2024 Versi Muhammadiyah dan NU

Idul Fitri jatuh tanggal berapa? Untuk Muhammadiyah sudah ditetapkan jika Idul Fitri jatuh pada hari Rabu, 10 April 2024. Lalu, NU kapan?

Baca Selengkapnya

PBNU dan PP Muhammadiyah Tanggapi Hasil Rekapitulasi KPU Tetapkan Prabrowo-Gibran Menang Pilpres 2024

35 hari lalu

PBNU dan PP Muhammadiyah Tanggapi Hasil Rekapitulasi KPU Tetapkan Prabrowo-Gibran Menang Pilpres 2024

KPU menetapkan Prabowo-Gibran menang Pilpres 2024. Begini tanggapan PBNU dan PP Muhammadiyah, dua ormas terbesar di Indonesia.

Baca Selengkapnya