Pasar Ekonomi Digital di Asia Tenggara Jadi Incaran Investor
Reporter
Tempo.co
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Kamis, 28 Februari 2019 15:41 WIB
TEMPO.CO, Bangkok - Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyebutkan pasar ekonomi digital di Asia Tenggara telah menjadi magnet bagi para pebisnis maupun investor. Saking besarnya magnet ekonomi itu, menurut dia, tak jarang menimbulkan kecenderungan masing-masing negara untuk memproteksi pasarnya.
Baca: Nilai Ekonomi Digital Bakal Tembus USD 130 Miliar di 2020
“Wajar saja, tapi menurut saya lebih baik terbuka saja. Yang penting diisi oleh entitas Asia Tenggara ketimbang dari luar kawasan,” ujarnya di sela-sela acara peresmian layanan berbasis online oleh Go-Jek di Bangkok, Thailand, Rabu, 27 Februari 2018.
Melalui perusahaan bernama GET, Go-Jek menyediakan layanan angkutan (ride hailing), jasa antar barang, hingga pemesanan makanan di Negeri Gajah Putih. Thailand menjadi negara tujuan ekspansi luar negeri keempat Go-Jek sesudah Vietnam, Singapura, dan Filipina.
Kepala Eksekutif Grup Go-Jek, Nadiem Makarim, mengatakan pihaknya akan menggarap pasar Myanmar dan Kamboja dalam waktu dekat. “Negara-negara di Asia Tenggara harus merasakan benefit yang kami ciptakan,” kata dia kemarin.
Setelah beroperasi di Thailand, penetrasi Go-Jek di Asia Tenggara hampir menyamai pesaing terdekatnya, Grab. Go-Jek hanya belum menembus Malaysia dan Kamboja. Di Filipina, Go-Jek baru mendapat izin mengoperasikan sistem pembayaran terlebih dulu.
Nadiem enggan mengomentari persaingannya dengan Grab. Yang pasti, kata Nadiem, berbagai layanan yang disediakan Go-Jek memberikan nilai tambah tinggi. Di Indonesia, dia memberi contoh, 21 jenis layanan mulai dari transportasi, logistik, makanan, hingga perawatan tubuh tak hanya memudahkan konsumen, tapi juga menyediakan lebih dari 4 juta pekerjaan.
“Konsumen kalau bisa diberikan pilihan akan senang sekali,” ujar Nadiem. Adapun dalam berekspansi Go-Jek memilih menggandeng entitas lokal dan mempekerjakan warga setempat agar penetrasi pasarnya bisa lebih dalam.
Co-Founder dan Chief Executive Officer GET, Pinya Nittayakasetwat, optimistis pihaknya bisa bersaing dengan entitas besar yang sudah beroperasi lebih lama. GET bersaing dengan Grab di sektor ride hailing dan berhadapan dengan Food Panda di jasa pemesanan makanan. “Meski begitu, dalam dua bulan kami masih bisa membukukan 2 juta transaksi,” kata dia.
Tak mau kalah, Grab juga giat meningkatkan penetrasi di Asia Tenggara. Dalam catatan akhir tahunnya, Grab mengklaim telah diunduh oleh lebih dari 125 juta gawai genggam dan memberikan akses kepada lebih dari 8 juta mitra pengemudi, merchant, dan agen. Sejak didirikan pada 2012, Grab sudah menempuh lebih dari 2,5 miliar perjalanan.
Di Asia Tenggara, Grab beroperasi di delapan negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Kamboja, Thailand, Vietnam, dan Myanmar. “Di Indonesia kami menguasai 60 persen layanan moda roda dua dan 70 persen layanan moda roda empat,” ujar Presiden Grab Ridzki Kramadibrata, beberapa waktu lalu.
<!--more-->
Sementara itu, Vice President Corporate Communications Tokopedia, Nuraini Razak, mengatakan tahun ini pihaknya berambisi untuk memperluas skala dan jangkauan layanan. Caranya dengan meningkatkan efisiensi operasional untuk jutaan mitra di ekosistem perusahaan.
Saat ini, Tokopedia menjalin kerja sama dengan banyak lembaga keuangan, seperti bank dan perusahaan teknologi finansial (fintech), untuk menyalurkan kredit hingga memudahkan transaksi konsumen. “Fokus utama kami tahun ini adalah mengembangkan ekosistem menjadi infrastructure as a service, yaitu membuat teknologi logistik, fulfillment, pembayaran, dan layanan keuangan, untuk memberdayakan perdagangan online dan offline,” ucap Nuraini, kepada Tempo.
Adapun Traveloka kemarin mengumumkan telah resmi beroperasi di Australia. Pengguna di Negeri Kangguru kini dapat mengakses layanan Traveloka, baik melalui website maupun aplikasi. “Kami antusias bisa menambah negara baru di luar Asia Tenggara,” kata Head of Global Partnership Traveloka, Yady Guitana. “Australia memiliki infrastruktur yang lebih baik dari sisi koneksi, pembayaran, dan adopsi Internet.”
Berlomba-lombanya para unicorn berekspansi ke luar negeri menunjukkan bagaimana ekonomi digital telah menjadi sumber kekuatan baru untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Pemerintah pun tak tinggal diam untuk menyiapkan strategi guna menarik minat investor terhadap sektor ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan salah satu fokus yang tengah dikebut adalah pembangunan infrastruktur Internet, yaitu Palapa Ring di barat, tengah, dan timur Indonesia. “Kami ingin fasilitasnya lebih lengkap, ada level of playing field yang sama besarnya,” ujarnya.
Sri Mulyani pun mendorong pengusaha domestik tak ragu mengembangkan kreativitas dan inovasinya di tengah peluang ekonomi digital yang semakin besar. Keberhasilan sejumlah startup lokal, seperti Go-Jek, Tokopedia, BukaLapak, dan Traveloka, menyandang status unicorn dalam waktu singkat dapat dijadikan contoh. “Pengusaha harus memikirkan ini, sehingga bisnis yang dulunya tidak mungkin bisa menjadi mungkin,” kata Sri. “Mereka mulai dari yang kecil, dan ternyata kalau di-scale up bisa jadi miliaran dan triliunan.”
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Thomas Lembong, mengungkapkan penanaman modal sektor ekonomi digital penting untuk menopang pertumbuhan investasi langsung asing (FDI) yang tengah melambat beberapa tahun terakhir. “Sektor start-up digital dan e-commerce menjadi penyelamat FDI bersama dengan sektor pembangunan smelter,” kata dia.
BKPM mencatat rata-rata FDI setiap tahun berkisar US$ 9-12 miliar. Sebanyak 15-20 persen dari nilai tersebut masuk ke perusahaan start-up digital dan e-commerce. “Perkiraan kami nilainya sekitar US$ 2-2,5 miliar,” kata Thomas.
Menurut Thomas, investasi ekonomi digital masih berpeluang untuk terus digenjot. Namun, dia mengingatkan, persaingan merebut investor di sektor ini kian ketat di kawasan Asia Tenggara. “Negara tetangga saingan kita mulai melek, mereka mulai all out, habis-habisan mendorong startup mereka untuk bisa berlomba menarik modal yang sama.”
Baca: Dorong Ekonomi Digital, Rudiantara: Less Regulation is The Best
Oleh karena itu Pemerintah Indonesia tak boleh kecolongan untuk terus membangun iklim investasi yang kondusif bagi industri ekonomi digital tersebut. “Karena kalau tidak, negara tetangga sudah siap ambil kesempatan itu,” kata Thomas.
ANDI IBNU | GHOIDA RAHMAH