Tangan Besi Duterte Hadapi Oposisi dan Kritik di Filipina
Selasa, 25 Desember 2018 10:51 WIB
TEMPO.CO, Manila – Pengurus Partai Komunis Filipina mengatakan tidak merasa gentar atas ancaman Presiden Rodrigo Duterte yang mengincar para pemberontak dengan ancaman pembunuhan massal.
Baca:
Ini menanggapi pernyataan Duterte kepada pasukan pemerintah di daerah Compostela Valley pada Sabtu, 22 Desember 2018. Saat itu, Duterte mengatakan dia ingin meniru bekas orang kuat Indonesia yaitu Presiden Soeharto dalam melawan pemberontak komunis.
Operasi militer yang diperintahkan Soeharto berujung pada tewasnya sekitar tiga juta warga dan merebaknya berbagai tudingan pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh TNI.
“Kecenderungan Duterte untuk melakukan pembunuhan massal semakin memburuk setiap hari,” kata Jose Maria Sison, pendiri Partai Komunis Filipina atau The Commnunist Party of Philippines, seperti dilansir media Inquirer pada Selasa, 25 Desember 2018. Pernyataan Sison itu dibuat di akun Facebook miliknya pada Senin, 24 Desember 2018.
Baca:
Menurut Sison, pernyataan Duterte itu justru merugikannya secara hukum. Dia menyarankan Duterte untuk mengajukan pembelaan diri telah mengalami gila di Pengadilan Kriminal Internasional, yang mungkin memprosesnya dengan kejahatan pelanggaran Hak Asasi Manusia.
“Duterte gagal mengintimidasi CPP dan masa revolusioner dengan ocehan dan ancamannya itu,” kata Sison.
Operasi militer Soeharto pada 1965 dan 1966, seperti diketahui, juga menargetkan para pendukung pemberontak, etnis Cina, dan kelompok kiri di Indonesia.
Baca:
Dalam pidatonya di hadapan tentara di daerah Compostela Valley, Duterte juga memerintahkan pasukan untuk menghancurkan anggota komunis lokal.
“Jangan hanya memerangi mereka, hancurkan mereka, bunuh mereka,” kata Duterte sambil mengatakan dia akan mengambil penuh tanggung jawab.
Menanggapi pernyataan ini, Sison mengatakan ucapan Duterte itu membuka kedoknya sebagai seorang dalang terorisme negara dan pelanggar Hak Asasi Manusia nomor satu di Filipina.
“Di hadapan Pengadilan Kriminal Internasional, atau pengadilan rakyat, satu-satunya pembelaan untuk dia oleh pengacaranya adalah mengalami kegilaan,” kata Sison.
Baca:
Sikap keras Duterte terhadap kelompok Komunis Filipina juga tercermin saat menanggapi kelompok Katholik, yang kerap menudingnya terlibat pelanggaran HAM dalam perang narkoba.
Pada 5 Desember 2018, seperti dilansir Asia Times, Duterte berpidato di istana Malacanang. Dia membuat pernyataan keras yang menunjukkan rasa tidak suka kepada gereja dan para imam.
“Uskup-uskup ini, bunuh mereka. Orang-orang bodoh itu tidak ada gunanya, yang mereka lakukan hanyalah mengkritik," kata Duterte.
Sepekan sebelumnya, Duterte, yang kerap disapa Digong, terlibat perang mulut dengan Uskup Pablo Virgilio David, yang kerap mengkritiknya terkait perang narkoba.
Duterte menuding David mencuri uang publik, menggunakan obat-obatan terlarang. Tudingan ini membuat hidup David terancam di tengah pembunuhan massal atas ribuan pengedar dan pemakai narkoba atau sabu di Filipina.
Baca:
Menanggapi ini, Uskup David membantah dia sebagai pemakai narkoba karena justru mencoba membantu para pemakai narkoba. David balik menuding Duterte sebagai seorang yang sangat sakit dan pikirannya delusional.
David yang bertugas di daerah Coloocan kerap mengkritik Duterte karena banyak terjadi penembakan misterius terhadap warga yang dituding terlibat narkoba di sana.
Secara terpisah, Uskup Agung Socrates Villegas, meminta Duterte menghentikan persekusi verbal terhadap Gereja Katholik karena itu akan mendorong meningkatnya serangan terhadap para pendeta.
“Mereka membunuh gembala kami. Mereka membunuh kami para penggembala. Mereka membunuh keyakinan kami. Mereka mengutuk gereja kami,” kata para pemimpin gereja pada awal 2018.
Tiga orang pendeta tewas ditembak pada awal 2018. Dua orang pendeta tewas saat sedang melakukan misa karena ditembak di kepala. Seorang lagi lolos upaya pembunuhan pada pertengahan 2018. Tidak satupun kasus pembunuhan ini terungkap.
Juru bicara Presiden Duterte, Salvador Panelo, mengatakan pernyataan Duterte soal para uskup hanyalah hiperbolik untuk menimbulkan efek dramatis. “Kita harusnya terbiasa dengan pernyataan Presiden sebagai lelucon dan bukannya memahaminya secara literal,” kata Panelo.
Duterte juga menerapkan kebijakan tangan besi di Pulau Mindanao dengan meminta perpanjangan ketiga darurat militer ke parlemen Filipina. Penerapan UU Darurat Militer ini seharusnya berakhir pada 31 Desember 2018.
Lembaga advokasi HAM yaitu The Movement Against Tyranny-Northern Mindanao, menolak perpanjangan ini. “Ini telah berlangsung selama 560 hari. Dan selama itu terjadi peningkatan nyata pelanggaran HAM di berbagai sektor di Mindanao,” kata Pendeta Allan Khen Apus dari The Movement soal kebijakan Duterte.