Sebab Cekcok Beda Capres Berujung Maut: Rakyat Hanya Alat Politik
Reporter
Tempo.co
Editor
Syailendra Persada
Senin, 26 November 2018 12:57 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - DUA orang di daerah Sampang, Jawa Timur, cekcok akibat memiliki pilihan calon presiden atau Capres yang berbeda dalam Pemilihan Presiden atau Pilpres 2019. Insiden yang terjadi pada Rabu, 23 November 2018, ini berujung pada meninggalnya salah satu pendukung calon presiden karena ditembak oleh seorang lainnya.
Baca: Kronologi Kasus Penembakan Akibat Cekcok Pilihan Capres
Juru bicara Kepolisian Daerah Jawa Timur, Komisaris Besar Frans Barung Mangera mengatakan insiden ini bermula ketika pelaku penembakan yang bernama Idris mengomentari sebuah unggahan di Facebook. Frans mengatakan Idris mengomentari tulisan di dinding Facebook yang berbunyi "Siapa pendukung capres ini akan merasakan pedang ini".
Tempo telah menyunting bunyi unggahan Facebook tersebut. Dalam postingan aslinya, si pengunggah menyebut nama salah satu calon presiden.
“Tersangka kemudian membalas unggahan tersebut dengan kalimat, ‘saya ingin merasakan tajamnya pedang itu’,” kata Frans ketika dihubungi Ahad, 25 November 2018.
Setelah itu, kata Frans, pemilik unggahan tersebut mendatangi rumah Idris dan menanyakan maksud dari komentar Idris. Ternyata, aksi kedatangan sejumlah orang tersebut ke rumah Idris terekam dalam sebuah video yang nantinya diunggah oleh Subaidi di media sosial.
Subaidi dalam unggahannya meledek Idris dengan cibiran bahwa ia ketakutan setelah didatangi pemilik pedang tersebut. Subaidi pun menyematkan ancaman akan membunuh Idris dalam unggahan tersebut.
Menurut Frans, unggahan Subaidi tersebut yang menyulut sakit hati Idris. Tersangka kemudian berusaha mencari informasi tentang Subaidi. Di lain sisi, Subaidi juga masih menyimpan dendam kepada Idris.
Pada Rabu 23 November lalu, Idris dan Subaidi berpapasan di jalan. Keduanya menunggang sepeda motor. Subaidi kemudian mendekat ke arah Idris lalu menabrakan motornya. Idris pun terjatuh dari motornya.
Setelah itu, Subaidi menyodorkan pisau ke arah Idris yang masih dalam keadaan terjatuh. Namun Subaidi terpeleset. Saat itu, menurut Frans, Idris mengeluarkan senjata api dari kantongnya. Setelah dikokang, Idris menembakan pistol tersebut ke arah dada kiri Subaidi dan langsung melarikan diri.
Baca: Buntut Tampang Boyolali, Prabowo: Saya Khawatir Tertawa Dilarang
Polisi telah menangkap Idris. Tersangka Idris saat ini sudah ditahan dan dikenakan pasal 340 KUHP dan pasal 338 serta Undang-undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Ancaman hukuman maksimal adalah hukuman mati.
Baca kelanjutannya: Bagaimana tanggapan kubu Jokowi dan Prabowo atas insiden ini?
<!--more-->
Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma'ruf Amin (Jokowi - Ma'ruf) , Abdul Kadir Karding mengatakan pelbagai pihak harus mengambil hikmah atas terjadinya cekcok beda pilihan calon presiden yang berujung maut di Sampang, Madura.
Simak: Foto Tomy Winata Dukung Jokowi, Timses: Siapapun Boleh Dukung
Karding mengatakan peristiwa ini menjadi bukti bahwa masyarakat amat menganggap serius pemilihan presiden 2019. "Bukan hanya serius tapi masuk ke hati," kata Karding kepada Tempo, Senin, 26 November 2018.
Karding melanjutkan, keseriusan masyarakat ini harus dipikirkan dan disadari para elite, tim kampanye, dan juru kampanye. Mereka, kata Karding, tak boleh mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang provokatif, bohong atau hoax, dan berpotensi membawa pembelahan di tengah masyarakat. "Jangan sampai kasus-kasus seperti ini meluas terjadi di mana-mana," kata dia.
Karding meminta masyarakat pun bijak untuk tidak memposting hal-hal yang berpotensi memecah belah dan membuat masyarakat bermusuhan akibat Pilpres 2019. Dia berharap adanya kearifan lokal yang dikedepankan untuk mengantisipasi perseteruan di antara warga.
"Kami berharap juga ada kearifan dari temen-teman netizen untuk tidak memposting hal-hal yang berbau dapat merugikan kehidupan sosial masyarakat," kata politikus Partai Kebangkitan Bangsa ini.
Baca: Strategi Jokowi Genjot Elektabilitas: Kampanye Door to Door
Wakil Ketua Timses Jokowi - Ma'ruf ini pun meminta otoritas lain, seperti pengelola media massa dan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk turut andil dalam penciptaan dan distribusi konten-konten kampanye yang damai.
Baca juga: Komentar dari Kubu Prabowo
<!--more-->
Ketua Direktorat Relawan Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno Ferry Mursyidan Baldan menyayangkan tragedi cekcok perbedaan dukungan calon presiden berujung pembunuhan tersebut. Ferry mengatakan kontestasi politik tak seharusnya menjadi alat untuk memantik konflik.
Simak: Prabowo akan Hadiahi Gigi Palsu untuk Pendukungnya
"Ini menyedihkan dan warning (peringatan) untuk semua," ujar Ferry kepada Tempo pada Ahad malam, 25 November 2018 melalui pesan pendek. Ferry mengatakan kompetisi politik seharusnya menjadi tantangan masyarakat untuk saling mengemukakan gagasan terhadap pilihannya. Bukan wadah untuk saling tikam.
Ia lantas meminta para pendukung untuk bijak menanggapi kampanye-kampanye di media sosial. Bila timbul tragedi pertikaian akibat ruang sosial tersebut, Ferry mengatakan hal ini harus menjadi bahan introspeksi untuk semua pihak. Baik untuk audiens kampanye maupun dua pasangan calon presiden.
Ferry juga mengimbau relawan Prabowo - Sandiaga untuk menjaga citra Pemilihan Presiden atau Pilpres 2019. Musababnya, pesta demokrasi ini adalah salah satu cermin peradaban bangsa. Bila masyarakat terpecah, maka wajah Indonesia di mata dunia pun terdampak.
"Kepada para relawan Prabowo - Sandiaga, kami mengajak untuk terus menahan diri dari pancingan emisi," ujarnya, mengimbau. Ferry menekankan, dukungan relawan harus lahir dengan militansi. Bila dukungan timbul karena emosi, iklim politik yang sejuk tak akan terjadi.
Baca juga: Prabowo Mengaku Terpaksa Minta Bantuan Dana ke Pendukungnya
Ia pun mengingatkan bahwa kompetisi pemilihan presiden dan pemilihan legislatif yang bakal digelar bersamaan tahun depan merupakan seni. Seni, kata dia, untuk mengekspresikan perbedaan pilihan. Seperti hakikat seni, keindahan yang muncul tidak bakal merusak hubungan. "Terakhir, jangan biarkan kasus ini berkembang," ujarnya.
Lantas dalam pandangan sosiologi kenapa hal ini bisa terjadi. Simak pendapat Sosiolog dari UGM.
<!--more-->
Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Sunyoto Usman berpendapat pertikaian pendukung calon presiden yang berujung maut merupakan salah satu dampak dari iklim politik yang ditampilkan oleh politikus, yang saling tuding. Tidak damai.
Simak: Pengamat Nilai Konsep Visi Misi Kandidat Capres Belum Matang
"Diantaranya cara berpolitik politikus kita yang masih sering tuding, sering menjatuhkan, saling berdebat yang tidak sehat. Hingga terbawa dan ditiru oleh masyarakat yang edukasi politiknya masih rendah," kata Sunyoto saat dihubungi, Senin 26 November 2018.
Kondisi tersebut kata Sunyoto akan menggiring opini masyakarat jika Pilpres 2019 merupakan sebuah pertarung yang begitu besar, yang harus dimenangkan. Bahkan lanjut dia, hal ini juga berpotensi memunculkan asumsi untuk pertarung fisik.
Menurut Sunyoto, masyarakat yang hanya dijadikan alat politik bukan peserta pemilu memicu pergerakan ke tindakan yang irrasional, seperti rasa benar sendiri. Hal ini, kata dia, akan berlanjut ke aspek emosional, para pendukung tersebut nantinya akan mudah membenci..
Sunyoto mengatakan kondisi ini yang memungkinkan orang nekat untuk mengambil tindakan anarkis atau mengeluarkan ancaman membunuh. Sunyoto menilai, pihak yang terlibat dalam kontestasi politik seharusnya memposisikan masyarakat sebagai partisipan dalam politik, agar dukungan yang diberikan pun muncul lantaran kesepakatan gagasan.
"Sekarang banyak masyarakat yang edukasi politiknya masih rendah memberikan dukungan karena faktor kedekatan, faktor uang hingga mudah untuk dimobilisasi," kata dia.
Taufiq Siddiq, Budiarti Utami Putri, Fransisca Christy Romana
Simak berita seputar Pilpres 2019 di kanal Tempo.co