Myanmar-Bangladesh Mulai Repatriasi, Rohingya Melarikan Diri
Reporter
Non Koresponden
Editor
Maria Rita Hasugian
Selasa, 13 November 2018 12:02 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Repatriasi atau pemulangan kembali ratusan ribu pengungsi etnis Rohingya dari kamp di Bangladesh ke Myanmar yang dimulai pekan ini disambut oleh puluhan pengungsi dengan melarikan diri dari Kamp. Mereka menghindar dideteksi dan dipaksa pulang.
Para pengungsi Rohingya beralasan khawatir keselamatan jiwa raga mereka jika harus kembali ke Myanmar. Yang mereka tuntut adalah pengakuan atas hak asasi mereka dan pemberian status warga negara Myanmar.
Baca: Kisah Kejamnya Tentara Myanmar Membantai Etnis Rohingya
"Sebagian besar orang yang ada dalam daftar telah melarikan diri untuk menghindar dipulangkan," kata Abdus Salam, pemimpin pengungsi Rohingya di Jamtoli, sekitar 40 kilometer arah tenggara Cox's Bazar di Bangladesh kepada Reuter, 13 November 2018.
Sesuai jadwal yang disepakati pemerintah Bangladesh dan Myanmar, pemulangan kembali pengungsi Rohingya dimulai secara resmi pada 15 November untuk 2.000 pengungsi.
Myanmar mengatakan siap untuk menerima kembali pengungsi Rohingya yang melarikan diri tahun lalu akibat operasi militer di Rakhine, tempat tinggal mereka.
"Itu tergantung pada negara lain (Bangladesh), apakah ini benar-benar akan terjadi atau tidak. Tapi pihak kita harus siap. Kami telah melakukan itu.” kata Win Myat Aye Menteri Kesejahteraan Sosial dan Pemukiman Sosial Myanmar mengatakan saat konferensi pers.
Baca: PBB Minta Repatriasi Pengungsi Rohingya ke Myanmar Dibatalkan
Bangladesh menjelaskan, pihaknya tidak akan memaksa siapapun untuk pulang ke Myanmar. Bahkan Bangladesh telah meminta Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi, UNHCR, memverifikasi apakah Rohingya yang terdaftar untuk ikut repratriasi memang bersedia untuk pulang.
Firas Al-Khateeb sebagai perwakilan UNHCR di Bangladesh mengatakan, upaya yang dimintakan pemerintang Bangladesh belum dimulai. Kondisi di Rakhine belum aman bagi para pengungsi Rohingya untuk kembali. Sebagian warga Budha Myanmar juga telah memprotes kembalinya Rohingya.
"Orang-orang sangat takut diidentifikasi, mereka menghindari salat Jumat di masjdi," kata seorang pengungsi Rohingya yang melarikan diri bersama keluarganya dari Jamtoli ke kamp besar Kutupalong karena menolak dipulangkan.
Menurut UNHCR, pengungsi Rohingya sebaiknya diizinkan untuk pergi dan melihat langsung kondisi di Myanmar sebelum mereka memutuskan akan kembali.
Baca: ICC Periksa Jenderal Myanmar, Biksu Wirathu Janji Angkat Senjata
"Myanmar harus mengizinkan para pengungsi ini untuk melakukan kunjungan tinjauan kembali tanpa prasangka terhadap hak mereka untuk kembali di kemudian hari," kata UNHCR dalam sebuah pernyataan.
Komisaris bantuan repratriasi Bangladesh, Abu Kalam berharap proses repatriaasi yang berlangsung mulai 15 November dilakukan secara sukarela.
"Pemulangan akan bersifat sukarela. Tidak ada yang akan dipaksa untuk kembali," ujarnya.
Menurut Menteri Myanmar Win Myat Aye, persiapan telah dilakukan untuk 2.251 orang yang akan diangkut ke dua pusat transit dengan perahu. Kelompok berikutnya sebanyak 2.095 orang dapat menyusul kemudian melalui jalan darat.
Baca: Hasil Temuan AS, PBB, Uni Eropa di Myanmar: Genosida Rohingya
Setelah diproses, mereka akan dikirim ke pusat lain di mana mereka akan ditampung, diberi makan, dan diminta untuk membangun rumah melalui skema bekerja dan dibayar.
Etnis Rohingya yang kembali hanya diizinkan untuk melakukan perjalanan dalam kotapraja Maungdaw, salah satu dari tiga wilayah yang mereka hindari.
Lebih dari 700.000 Rohingya melarikan diri dari penumpasan tentara di Myanmar tahun lalu. Mereka mengatakan tentara dan warga Budha setempat membantai keluarga, membakar ratusan desa, dan melakukan pemerkosaan.
Penyidik yang diberi mandat PBB menyelidiki situasi di Rohingya menuding tentara Myanmar berniat melakukan genosida dan pembersihan etnis Rohingya.
Namun Myanmar menyangkal hampir semua tuduhan dan mengatakan pasukan keamanan memerangi teroris, yakni gerilyawan Rohingya yang menyebut diri mereka Arakan Rohingya Salvation Army mendahului penindasan itu.
REUTERS | NPR | MIS FRANSISKA DEWI