Setelah Tsunami Palu: Kehilangan 12 Keluarga sampai Penjarahan
Reporter
Syafiul Hadi
Editor
Syailendra Persada
Minggu, 30 September 2018 12:02 WIB
TEMPO.CO, Palu - Dengan sepeda motor bebeknya, Fandy menyusuri bibir pantai Talise di Kota Palu, Sulawesi Tengah pada Sabtu, 29 September 2018. Sesekali ia menghentikan sepeda motornya dan membongkar timbunan puing. "Saya sedang mencari keluarga yang hilang akibat gempa dan tsunami Palu," kata Fandy sore itu.
Baca: Tsunami Palu, BNPB Temukan Banyak Korban di Pantai
Kondisi bibir pantai Talise dipenuhi puing-puing akibat gempa dan tsunami Palu yang menghantam daerah itu pada Jumat (28/9). Sore itu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mencatat ada gempa sebesar 7,4 SR yang menghantam Donggala. Akiba lindu ini, tsunami menghantam pinggiran kota Palu.
Fandy mengatakan ada 12 orang keluarganya yang menjadi korban sapuan gelombang tsunami Palu. Mulai dari orang tuanya hingga kerabatnya. "Ada mace, sepupu, orang tua lima, kakak adiknya bapak juga," kata dia. Ceritanya,
Pria yang merupakan tukang parkir di Pantai Talise ini bercerita Jumat sore itu, sedang ada festival Pesona Palu Lomoni yang membuat warga berkunjung ke pantai tersebut. Menurut dia, sang ibu memanfaatkan perhelatan tersebut dengan berjualan pisang goreng. Makanya, satu keluarga berkumpul di sana sekaligus menikmati kemeriahaan acara.
Baca juga: BNPB: Sebagian Besar Korban Tewas Akibat Tsunami Palu
Fandy menuturkan, mulanya dia memang ada di lokasi sembari membuka jasa parkir. Namun, dia memutuskan harus pulang untuk mengurusi anaknya yang sedang berada di rumah. Ketika kembali ke lokasi, ia sudah melihat air menyapu daratan.
Fandy menjelaskan dia baru bisa mencari keluarganya pada Sabtu pagi. Namun, tak satu pun keluarganya dapat ditemukan hingga sore tadi. "Ini titik terangnya belum ada. Tadi ada tetapi salah angkat ternyata," kata pria 22 tahun ini.
<!--more-->
Hingga Sabtu malam, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sudah ada 410 korban meninggal. Selain itu, 500 orang diperkirakan luka-luka akibat gempa dan tsunami Palu. Terdapat banyak bangunan seperti rumah, kantor, dan fasilitas umum rusak.
Baca: Tsunami Palu, Warga Keluhkan Kurangnya Air dan Makanan
Selain itu, BNPB memperkirakan 16.732 jiwa sudah mengungsi di 124 titik di Palu. Data ini belum termasuk korban di daerah lain seperti di Kabupaten Donggala yang menjadi pusat gempa berkekuatan 7,4 SR. "Ini baru di Palu, diperkirakan jumlah pengungsi 16.732 jiwa," kata Kepala Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Sutopo Purwo Nugroho saat ditemui dikantornya, Sabtu 29 September 2018.
Permasalahan yang sekarang mendesak adalah, pemerintah sedang memikirkan bagaimana mengirimkan bantuan agar bisa cepat sampai ke para pengungsi. Sebab, Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan penyaluran bantuan untuk korban gempa dan tsunami Palu, Sulawesi Tengah, terkendala oleh minimnya infrastruktur. Gempa berkekuatan 7,4 skala richter ini membuat banyak akses jalan rusak.
"Ya banyak kerusakan di sana sini. Kalau cepat kami juga maunya cepat," kata Agus kepada awak media di Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Sabtu, 28 September 2018. Pemerintah sedang mengupayakan pengiriman bantuan dari kota-kota terdekat seperti Makassar.
Sementara itu, pengungsi gempa dan tsunami Palu, Sulawesi Tengah, mulai mengeluhkan kurangnya kebutuhan pokok seperti air minum dan makanan. Akibat distribusi bantuan yang belum merata, sejumlah masyarakat malahan menjarah minimarket.
Menurut pantauan, warga terlihat menjarah minimarket Alfamidi di kawasan Jalan Veteran. Warga bergerombol membuka pintu Alfamidi dan mengambil barang-barang. "Ambil makanan, makanan bayi-bayi," kata salah seorang penduduk yang turut mengambil barang, Sabtu, 28 September 2018.
Setidaknya ada empat lima market yang jadi lokasi penjarahan warga. Antara lain Alfamidi di Jalan Veteran, Jalan Yos Soedarso, Jalan Abdurrahman Saleh. Selain itu, ada pula minimarket warga yang juga dijarah di Jalan Yos Soedarso.
Selain menjarah kebutuhan pokok, masyarakat juga menjarah beberapa SPBU di Palu. Warga menjarah SPBU untuk mendapatkan bahan bakar yang akan digunakan untuk kendaraan.
Baca: Pasca Tsunami Palu, Penduduk Jarah Minimarket
Beberapa SPBU yang dijarah warga berada di dua titik yakni pertama di Jalan M. Yamin sekitar 500 meter dari rumah jabatan Gubernur Sulawesi Tengah. SPBU kedua terletak di Jalan R.A Kartini.
<!--more-->
Salah seorang pengungsi, Murna, mengatakan kekurangan air dan makanan sejak terjadi gempa Jumat (28/9) sore lalu. Murna merupakan salah satu pengungsi di halaman rumah Gubernur Sulawesi Tengah. Menurut dia, makanan di pengungsian terbatas. "Banyak kekurangan, orang makan hanya mie," kata Murna kepada Tempo, Sabtu, 29 September 2018.
Pantauan Tempo, di lokasi pengungsian masih belum dibentuk dapur umum. Makanan sehari-hari berupa mie dan nasi di masak oleh masyarakat dan para relawan yang ada di lokasi pengungsian secara ala kadarnya.
Selama menelusuri lokasi gempa di Palu, Tempo memang mendengar keluhan pengungsi yang kekurangan makanan dan air. Sepanjang menyisir lokasi pengungsian banyak yang meneriakan kekuarangan air minum.
Simak juga: Bantuan Korban Gempa dan Tsunami Palu Sulit Karena Jalan Rusak
Murna menuturkan, ia masih memiliki bekal makanan ringan berupa biskuit dan roti yang dibawa dari rumah. Dia berkata penduduk masih kesulitan stok makanan pokok berupa nasi. "Nasi ada juga, cuma sedikit-sedikit," kata dia. Selain itu, kata Murna, warga juga mengeluhkan kekurangan air minum. "Belum ada bantuan yang sampai," kata Murna salah satu pengungsi gempa dan tsunami Palu.