Utang BPJS dan 'Obat' Untuk Jeritan Rumah Sakit di Jakarta
Reporter
Tempo.co
Editor
Zacharias Wuragil
Sabtu, 15 September 2018 12:45 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Masalah tunggakan pembayaran klaim oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kembali mengemuka menjelang akhir tahun ini. Sejumlah rumah sakit umum daerah di Jakarta menjerit karena tunggakan itu terakumulasi setiap bulannya hingga berdampak besar pada kemampuan rumah sakit menyediakan obat untuk pasiennya.
Baca:
BPJS Telat Bayar Tagihan, RSUD di Jakarta Krisis Obat
Saat ini tunggakan pembayaran klaim untuk delapan rumah sakit umum daerah di Jakarta telah mencapai Rp 130 miliar. Jumlahnya sangat mungkin bertambah karena lebih dari 90 persen pasien rumah sakit-rumah sakit itu adalah juga pengguna layanan BPJS Kesehatan.
Belakangan terungkap kalau tunggakan klaim juga umum dialami sekitar 250 rumah sakit swasta di Jakarta yang bermitra dengan BPJS Kesehatan. Mereka juga kerap kelimpungan karena kehabisan stok obat lantaran BPJS Kesehatan belum bayar tagihan.
Bayang-bayang krisis obat pun muncul di ibu kota. Bahkan operasional rumah sakit dan gaji pegawai pun ikut terancam.
“Kalau obatnya enggak ada, pelayanan jadi di bawah standar,” kata Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSSI) DKI Jakarta, Koesmedi Priharto. Dia menambahkan, “Dan yang paling berbahaya lagi kalau kemudian muncul obat palsu.”
Baca:
Gara-gara Tunggakan BPJS, Waspadai Muncul Obat Palsu
Khusus terhadap masalah yang membelit RSUD, Pemerintah DKI Jakarta mengambil langkah darurat dengan mengarahkan rumah sakit meminjam dana ke Bank DKI. Pinjaman diberikan dengan sejumlah keringanan dan nantinya bisa ditagihkan ke BPJS Kesehatan..
<!--more-->
Opsi ini dipilih setelah dana talangan hingga beberapa bulan ke depan sekaligus lewat APBD Perubahan dirasa tidak mungkin. Ketiadaan nomenklatur anggaran menghadang keinginan para pengelola rumah sakit ini. “Jadi ya sudah, pinjam ke Bank DKI," kata Pelaksana tugas Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Khofifah Any, Kamis 13 September 2018.
Any menuturkan delapan RSUD yang menjadi korban keterlambatan bayar BPJS Kesehatan adalah RSUD Tarakan, Koja, Cengkareng, Budi Asih, Pasar Rebo, Pasar Minggu, Duren sawit, dan RSUD Tugu Koja. Pinjaman dari Bank DKI dijanjikan segera mengucur menunggu izin dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Any menjelaskan, besaran pinjaman tergantung kebutuhan masing-masing RSUD. Agunan pinjaman dibuat berdasar berita acara yang sudah diverifikasi oleh BPJS. “Nanti kalau BPJS cair ya uangnya dibuat bayar ke bank,” katanya.
Apakah masalah sudah selesai? Ketua Asosiasi Rumah Sakit Daerah Seluruh Indonesia (Arsada) DKI Jakarta, Ida Bagus Nyoman Banjar, menegaskan bahwa dana talangan atau pinjaman dari bank hanya menyelesaikan persoalan tagihan secara jangka pendek. Kata Banjar, pemerintah harus membenahi sistem pengelolaan BPJS Kesehatan agar masalah tidak berkelanjutan.
Khususnya terkait premi iuran bagi pasien yang dianggap terlampau kecil dan melonjaknya pemegang kartu BPJS Kesehatan. “Di Jakarta, BPJS sering terlambat sebulan hingga dua bulan dengan tagihan Rp 15-20 miliar di masing-masing rumah sakit,” kata Banjar.
<!--more-->
Direktur Utama RSUD Tarakan, Dian Ekowati, misalnya, membeberkan bahwa BPJS Kesehatan berutang Rp 16 miliar pada Agustus ini. Bahkan, pada Juli lalu, BPJS Kesehatan menunggak Rp 17 miliar. Sementara RSUD Tarakan diklaim merawat 12-13 ribu pasien pengguna kartu BPJS Kesehatan setiap bulan.
Baca juga:
RS Swasta Keluhkan Pembayaran Klaim BPJS Kesehatan Sering Telat
“Kami sempat terlambat memesan obat untuk pasien karena tagihan ke BPJS Kesehatan tak kunjung cair,” kata Dian.
Kepala Humas BPJS, M. Iqbal Anas Ma'ruf , membenarkan masalah utama telah terjadi sejak awal BPJS beroperasi pada 2014 lalu yakni tentang besar iuran. BPJS Kesehatan membagi jenis pembayaran menjadi dua kelompok, yakni BPJS Mandiri dan BPJS Bantuan Pemerintah (PBI).
Iqbal mengatakan, iuran peserta PBI sebesar Rp 25.500 ditanggung pemerintah. Angka itu lebih murah dari nilai seharusnya, Rp 36 ribu.
Sementara peserta yang masuk kelompok BPJS Mandiri terdiri dari tiga kelas. Setiap bulannya, peserta kelas 3 wajib membayar Rp 25.500 dari nilai seharusnya Rp 53 ribu. Peserta kelas 2 hanya membayar Rp 51 ribu atau lebih murah Rp 12 ribu dari hitungan BPJS Kesehatan. “Hanya kelas 1 yang sesuai dengan hitungan kami, yakni Rp 80 ribu,” ujar Iqbal.
Masalah hitungan iuran itu diperparah dengan tunggakan sejumlah pemerintah daerah membayarkan premi warganya kepada BPJS. Ironis di ibu kota karena Pemerintah DKI setiap tahun menggelontorkan Rp 1,5 triliun untuk membayarkan kewajiban yang sama.