Sri Mulyani Disindir Soal Utang, Darmin Sebut Itu Warisan
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Dewi Rina Cahyani
Rabu, 22 Agustus 2018 17:58 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Ketua Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan saling melontarkan pernyataan tajam ihwal utang pemerintah. Berawal dari pidatonya pada Kamis, 16 Agustus 2018, Zulkifli menyinggung utang pemerintah Rp 409 triliun, yang jatuh tempo tahun depan, tak wajar. Angka itu disebut tujuh kali lebih besar dari dana desa dan enam kali lebih besar dari anggaran kesehatan.
Baca: Sri Mulyani Sebut Pidato Ketua MPR Soal Utang Menyesatkan
Menanggapi kritik itu, Sri Mulyani mengatakan pernyataan Zulkifli Hasan bermuatan politis dan menyesatkan. Sri Mulyani menjelaskan, 31,5 persen pembayaran pokok utang adalah untuk instrumen Surat Perbendaharaan Negara atau Surat Perbendaharaan Negara Syariah, yang bertenor di bawah satu tahun dan merupakan instrumen untuk mengelola arus kas. "Pembayaran utang saat ini adalah kewajiban yang harus dipenuhi dari utang masa lalu, mengapa baru sekarang diributkan?" katanya, pekan lalu.
Sri Mulyani juga menyatakan bekas koleganya di kabinet pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu tak pernah membahas utang. "Mengapa pada saat Ketua MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) ada di kabinet dulu tidak pernah menyampaikan kekhawatiran kewajaran perbandingan pembayaran pokok utang dengan anggaran kesehatan, padahal rasionya lebih tinggi dari sekarang?" ujarnya. "Jadi ukuran kewajaran yang disebut Ketua MPR sebenarnya apa?"
Utang pemerintah Rp 409 triliun, yang jatuh tempo pada 2019, tak datang tiba-tiba. Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan utang tersebut adalah warisan pemerintahan sebelumnya.
"Jadi jangan dibaca itu karena utang yang dibuat pemerintahan saat ini. Mau khawatir mau enggak itu adalah akumulasi dari dulu, jadi bukan hanya oleh karena persoalan-persoalan pemerintahan terakhir," ucapnya saat ditemui seusai salat Idul Adha di Masjid Al-Hakim, Pancoran, Jakarta Selatan, Rabu, 22 Agustus 2018.
Darmin mencontohkan, salah satunya, utang jatuh tempo tersebut juga disumbang rekapitalisasi atau permintaan menunda pembayaran utang yang sempat dilakukan pemerintah sebelumnya. Akibatnya, utang yang direkapitalisasi tersebut baru jatuh tempo tahun ini dan tahun depan.
"Saya ingat waktu rekapitalisasi itu malah pendek sekali dibikinnya utangnya, hanya sampai 2007-2008. Kemudian diperpanjang jadi 10 tahun, ya, jatuh tempo sekarang, tapi bukan hanya itu tentu saja, semuanya jatuh tempo sekarang," tutur Darmin.
Direktur Strategi dan Portofolio Utang Kementerian Keuangan Schneider Siahaan tak menampik beban utang pemerintah tahun ini dan tahun depan cukup tinggi. Dua tahun ini, pemerintah harus membayar beban utang Rp 396 triliun dan Rp 409 triliun. “Pelemahan nilai tukar rupiah juga ada pengaruhnya,” katanya Selasa, 21 Agustus 2018.
Meski begitu, Schneider menjamin pemerintah mampu membayar utang. "Kita mampu karena penerimaan pajak tinggi," ujarnya.
<!--more-->
Dia juga menjamin beban utang pada 2020 bakal mereda. Meski tak merinci, beban utang dua tahun ke depan disokong strategi Kementerian Keuangan yang mengatur tenor utang, yang rata-rata sembilan tahun, agar jatuh temponya tak berbarengan. Selain itu, beban utang bisa terjaga karena penerbitan surat utang berdenominisasi rupiah makin banyak.
Schneider mengatakan, saat ini, porsi rupiah dalam surat utang negara, yang berjumlah Rp 3.467,5 triliun pada Juli 2018, mencapai 62,1 persen atau senilai Rp 2.55,8 triliun. Selain itu, ada tambahan Rp 518,6 triliun dari produk sukuk negara bernilai rupiah. “Penerimaan negara tahun depan sudah Rp 2 ribu triliun, belum lagi penerimaan bukan pajak dari ekspor dan layanan pemerintah yang meningkat,” ucapnya.
Meski beban pinjaman masih menumpuk, pemerintah tak bisa berkelit dari jeratan utang. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance Bhima Yudhistira Adhinegara menyebut utang tetap dilakukan untuk menambal defisit anggaran.
Saat ini, tak ada strategi untuk menutup utang yang jatuh tempo pada tahun ini dan tahun depan selain melakukan refinancing dengan menerbitkan surat berharga negara (SBN) baru dengan tenor yang lebih panjang. Namun, kata Bhima, pemerintah harus menanggung beban bunga SBN yang tinggi karena Bank Sentral Amerika Serikat diperkirakan juga akan menaikkan suku bunga.
Dia memproyeksikan total utang pemerintah hingga akhir 2019 bisa mencapai Rp 4.685 triliun atau naik 8,3 persen. Pengurangan utang agaknya sulit dilakukan, terlebih bila penerimaan pajak mengalami shortfall.
Baca: Siapkan Strategi Pembiayaan Utang 2019, Kemenkeu Amati Pasar Uang
Tantangan lain yang dihadapi pemerintah, Bhima melanjutkan, adalah tidak sejalannya pertumbuhan utang dengan pertumbuhan ekonomi, yang hanya ditargetkan 5,3 persen. Apabila pertumbuhan lebih tinggi dari pertumbuhan produk domestik bruto, berarti utang masih belum dikelola secara produktif. "Jadi di 2019 tantangan utang sekali lagi makin berat," tuturnya.
CAESAR AKBAR | CHITRA PARAMAESTI