Penyebab DKI Kukuh Jalankan Putusan Kasasi Stop Swastanisasi Air
Reporter
Devy Ernis
Editor
Dwi Arjanto
Sabtu, 5 Mei 2018 16:48 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tetap akan menjalankan putusan Mahkamah Agung (MA) untuk menghentikan privatisasi air bersih, sekalipun Kementerian Keuangan mengajukan peninjauan kembali atas putusan kasasi itu.
"Kasus yang sudah selesai di MA ini akan lebih memberi kepastian untuk menyelesaikan permasalahan air," kata Kepala Bidang Pencegahan Korupsi Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP), Bambang Widjojanto, di Balai Kota, Jumat 4 Mei 2018.
Kementerian Keuangan, pada 22 Maret lalu, mengajukan permohonan peninjauan kembali atas putusan kasasi yang memenangkan Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta. Putusan kasasi itu menyatakan privatisasi air merugikan pemerintah dan warga Ibu Kota. Mahkamah meminta pengelolaan air bersih dikembalikan ke perusahaan daerah, PAM Jaya.
Baca : Koalisi Tolak Swastanisasi Air Keceewa Berat Kemenkeu Ajukan PK
Kementerian Keuangan merupakan salah satu pihak yang digugat oleh Koalisi penolak privatisasi air, selain Gubernur DKI Jakarta. Dalam salinan memori peninjauan kembali, Kementerian menyatakan pertimbangan hukum mejelis kasasi bertentangan dengan karakteristik gugatan warga negara atau citizen lawsuit.
Selain itu, Kementerian menganggap hakim MA khilaf dan keliru memutus perkara lantaran surat kuasa penggugat mereka anggap cacat hukum.
Menurut Bambang, siapa pun yang melakukan upaya hukum setelah adanya putusan MA bisa menghambat penanganan masalah air bersih di Ibu Kota. Padahal, kata dia, penswastaan air selama ini merugikan rakyat kecil. Bambang mencontohkan, banyak rumah tangga di pinggiran Jakarta yang belum mendapat air bersih lantaran tak mampu membayar iuran.
Bambang Widjojanto menambahkan, pemerintah DKI akan membentuk tim khusus untuk mengkaji pelbagai opsi dalam menindaklanjuti putusan kasasi. Kajian itu akan meliputi aspek finansial, legal, dan infrastruktur. Tim, misalnya, akan mengkaji untung dan rugi bila kontrak dengan swasta diputus di tengah jalan.
Kontrak kerja sama PAM Jaya dengan mitra swastanya, Aetra dan Palyja, baru berakhir lima tahun lagi. Bila kontrak diputus di tengah jalan, DKI berpotensi dikenai denda. Tapi, bila kontrak selama 25 tahun itu berlanjut, DKI juga tetap harus mengeluarkan uang.
Simak juga : Anies Baswedan Ingin Belajar Restrukturisasi Air dari Istanbul
Sebab, DKI harus menanggung selisih tarif air minum dengan kelebihan biaya operasional yang diklaim swasta. "Diputus di ujung 2023 harus ada uang yang dibayar. Diputus sekarang juga pasti ada negosiasi," kata Bambang.
Senada dengan Bambang, Wakil Gubernur DKI Sandiaga sebelumnya mengatakan pemerintah Jakarta akan menjalankan putusan MA. “Buat kami, (peninjauan kembali itu) no issue. Kami akan lakukan sesuai dengan putusan MA,” tutur Sandiaga.
Adapun Direktur Utama PAM Jaya, Erlan Hidayat, mengatakan permohonan peninjauan kembali oleh Kementerian Keuangan tak akan mempengaruhi kinerja PAM Jaya dalam menyalurkan air bersih. "Jadi biarlah masalah hukum berjalan," ujar dia.
DEVY ERNIS | IRSYAN HASYIM