Pro dan Kontra Jenderal Polisi Jadi Plt Gubernur
Reporter
M Yusuf Manurung
Editor
Ninis Chairunnisa
Minggu, 28 Januari 2018 17:54 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Keputusan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang akan mengangkat perwira tinggi atau pati Kepolisian RI menjadi pelaksana tugas gubernur di Provinsi Jawa Barat dan Sumatera Utara menimbulkan polemik. Berbagai kritik dan penolakan muncul dari berbagai kalangan. Langkah Tjahjo dipertentangkan baik secara hukum maupun politik.
Menteri Tjahjo sendiri tak mempermasalahkan jika banyak kalangan mempertanyakan kebijakannya. Dia mengaku punya pertimbangan sendiri memilih anggota TNI dan Polri dibandingkan Aparatur Sipil Negara lain seperti Sekretaris Daerah untuk menjadi pelaksana tugas gubernur. "Kalau sekda, nanti diindikasikan menggerakkan PNS-nya," ujarnya pada Kamis, 25 Januari 2018.
Baca: Alasan Tjahjo Kumolo Angkat 2 Jenderal Polri Jadi Plt Gubernur
Tjahjo mengatakan, keputusan itu bukanlah hal baru. Dia memberi contoh penunjukan Inspektur Jenderal Carlo Brix Tewu sebagai pelaksana tugas Gubernur Sulawesi Barat untuk menggantikan Ismail Zainuddin dan Soedarmo, Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum sebagai pelaksana tugas Gubernur Aceh, menggantikan Zaini Abdullah. "Enggak ada masalah, tidak mungkin semua eselon I Kemendagri dilepas semua ke 17 provinsi," kata dia.
Dua pati yang ditunjuk Tjahjo adalah Asisten Operasi Kapolri Inspektur Jenderal M. Iriawan dan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Inspektur Jenderal Martuani Sormin. Keduanya ditugaskan untuk menggantikan sementara gubernur definitif masa jabatannya akan habis pada Juni mendatang.
Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Arwani Thomafi menyarankan agar rencana Tjahjo dibatalkan. Arwani menilai rencana itu melanggar sejumlah aturan dan tak memiliki landasan yuridis.
Baca: PSPK Unpad: Jenderal Polri Jadi Plt Gubernur Tak Langgar UU
Menurut dia, aturan itu menabrak Pasal 20 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Dia menjelaskan, jabatan ASN dapat ditempati oleh prajurit TNI atau anggota polisi hanya di tingkat pusat.
Arwani juga menyebutkan rencana Tjahjo melanggar Pasal 13 huruf a, b, dan c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia serta Ketentuan Tap MPR Nomor VII /MPR/2000. Dalam Pasal 10 ayat 3, anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun. "Kedua pejabat yang diusulkan adalah polisi aktif sehingga tidak boleh menjabat di luar kepolisian," ujarnya.
Penolakan juga datang dari Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah. Selain masalah netralitas, Fahri menilai langkah Menteri Tjahjo justru menimbulkan kecurigaan yang bermuara pada konsolidasi Presiden Joko Widodo atau Jokowi dalam menyambut tahun politik 2018-2019. "Saya lebih pro publik untuk tetap curiga," kata Fahri.
Dari kalangan pengamat, Ray Rangkuti dari Lingkar Madani menilai jika rencana Tjahjo disetujui oleh Presiden Jokowi akan berdampak pada penurunan citra menjelang Pilpres 2019. "Setelah memperbolehkan menteri rangkap jabatan, citra Jokowi akan semakin buruk jika menyetujui pati Polri jadi Plt Gubernur," kata Ray.
Menanggapi penolakan itu, Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Ahmad Basarah mengimbau agar perdebatan harus menggunakan parameter hukum. "Harus dihindarkan tindakan menilai keabsahan suatu keputusan hukum menggunakan paremeter di luar hukum seperti prasangka-prasangka politik yang antar satu pihak dengan pihak lainnya," kata dia.
Basarah justru menilai keputusan Menteri Tjahjo Kumolo telah sesuai peraturan yang mengacu pada UU Nomor 10 Tahun 2016 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2018. "Merupakan kewenangan Mendagri untuk memilihnya dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu sesuai kebutuhan, sepanjang pejabat tersebut memenuhi syarat berkedudukan sebagai pejabat pimpinan tinggi madya atau yang setingkat, termasuk dimungkinkan memilih dari Polri," ujarnya.
Tentang kekhawatiran akan netralitas Polri, Basarah mengatakan aturan itu juga berlaku untuk Aparatur Sipil Negara. Menurut dia, penjabat gubernur dari aparatur sipil negara juga punya peluang tidak netral dalam Pilkada. "Untuk itu jelas bukan latar belakang dari Polri atau ASN penyebab seseorang dapat bersikap tidak netral dalam Pilkada, melainkan penyebabnya adalah niat awal seseorang untuk patuh atau tidak patuh terhadap peraturan perundang-undangan," kata dia.
DEWI NURITA | ADAM PRIREZA