Kisah MKD Vs Setya Novanto Jilid III
Reporter
Agoeng Wijaya
Editor
Yudono Yanuar
Kamis, 23 November 2017 07:14 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat memastikan akan tetap menggelar rapat konsultasi dengan pemimpin fraksi-fraksi untuk membahas desakan pencopotan Ketua DPR Setya Novanto. Wakil Ketua MKD Sarifudin Sudding mengatakan akan mempertimbangkan berbagai dugaan pelanggaran kode etik oleh Setya.
“Fokus dulu terhadap posisi ketua yang tidak bisa dijalankan Setya,” kata Sarifudin seperti dimuat Koran Tempo, Kamis, 23 November 2017.
Baca juga: Setya Novanto 2 Kali Lolos dari MKD, Kasus E-KTP juga Akan Lolos?
Bukan hanya kali ini Setya berhadapan dengan MKD. Sebelumnya, MKD pernah memberikan sanksi berupa teguran kepada politikus Partai Golkar itu karena menghadiri acara kampanye kandidat Presiden Amerika Serikat dari Partai Republik Donald Trump pada awal September 2015.
Setya juga pernah dilaporkan ke MKD oleh Sudirman Said yang saat itu menjabat sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Setya diduga mencatut nama Presiden Joko Widodo dalam perpanjangan kontrak Freeport. Kasus ini kemudian dikenal dengan istilah "Papa Minta Saham".
Belum sempat putusan dibacakan MKD, Setya memutuskan mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPR. Namun, Ketua Umum Partai Golkar itu akhirnya kembali menjabat sebagai Ketua DPR setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatannya.
Komisi Pemberantasan Korupsi menahan Setya sejak Ahad, 19 November 2017, sebagai tersangka korupsi proyek e-KTP. Ketua Umum Partai Golkar ini berkukuh tak terlibat dalam kongkalikong proyek senilai Rp 5,84 triliun yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun itu. Setya pun mengirim surat kepada pimpinan DPR agar MKD tak menggelar sidang terhadap kemungkinan menonaktifkan dirinya sebagai anggota dan Ketua Dewan.
English version: MKD Urged to Remove Setya Novanto from DPR
Desakan agar Setya dicopot dari jabatannya muncul setelah pria berusia 63 tahun itu akhirnya ditemukan dalam perawatan di rumah sakit akibat kecelakaan, Kamis malam, 16 November 2017. Sehari sebelumnya, Setya menghilang ketika penyidik berupaya menjemputnya secara paksa. KPK pun sempat menetapkan dia sebagai buron.
Sejumlah fraksi di Senayan menilai tindakan Setya mencederai sumpah anggota Dewan untuk tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Konstitusi pada Pasal 27 mengatur setiap warga negara, tanpa kecuali, memiliki kedudukan yang sama dan wajib menjunjung hukum.
Sikap Setya yang terus berkelit dari penyidikan—hingga memaksa KPK menangkap dan menahannya—juga dinilai tidak patut dilakukan anggota DPR karena dapat merendahkan citra dan kehormatan lembaga legislatif yang dilarang dalam Pasal 3 Peraturan DPR tentang kode etik. Apalagi Setya mengutus pegawai Sekretariat Jenderal DPR untuk menyampaikan surat alasan mangkir dari panggilan KPK, 6 November 2017. Perbuatan ini dituding melabrak larangan dalam Pasal 18 Kode Etik Dewan dalam hubungan profesionalitasnya dengan sekretariat jenderal.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan perbuatan Setya yang diduga melawan hukum akan berdampak negatif terhadap citra DPR. “Itu berlaku di mana saja, bukan di DPR saja,” kata politikus senior Partai Golkar ini. Kalla yakin DPR, terutama MKD, tak akan tersandera oleh surat Setya.
Ketua MKD Sufmi Dasco Ahmad mengatakan rapat dengan pemimpin fraksi digelar selambatnya pekan depan. “Tak harus menunggu sidang praperadilan,” kata politikus Gerindra ini.
Setya Novanto memang kembali mengajukan praperadilan atas penetapan ulang dirinya sebagai tersangka. Ketua Harian Partai Golkar, Nurdin Halid, berharap MKD tak melanjutkan rencana sidang etik hingga pengadilan memutus gugatan Setya. “Jika praperadilan ditolak, maupun kalau sudah ada penyerahan berkas tuntutan KPK sebelum putusan praperadilan, Setya akan kami tarik sebagai Ketua DPR,” kata Nurdin. HUSSEIN ABRI DONGORAN | ISTMAN M.P | TIKA AZARIA