Soal Dokumen FBI, Kasus E-KTP dan Setya Novanto
Reporter
Hussein Abri
Editor
Sunu Dyantoro
Senin, 9 Oktober 2017 09:44 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Informasi mengenai dugaan keterlibatan Ketua DPR Setya Novanto dalam skandal korupsi proyek e-KTP semakin kuat. Kepada biro penyelidik federal Amerika Serikat, FBI, Johannes Marliem, Direktur Utama Biomorf Lone LLC, yang diduga bunuh diri pada Agustus lalu, menyatakan pernah merundingkan “diskon” harga kartu dengan Ketua Fraksi Partai Golkar pada saat proyek dianggarkan itu.
Keterangan itu tertuang dalam dokumen penuntutan setebal 33 halaman tertanggal 28 September 2017 yang disampaikan ke pengadilan Minnesota. Disusun agen khusus bernama Jonathan E. Holden, dokumen itu--yang salinannya diperoleh Tempo--antara lain meminta pengadilan menyita aset Marliem, yang sejak 2014 berkewarganegaraan Amerika Serikat, karena dicurigai merupakan hasil kejahatan.
Baca: Hari Ini Setya Novanto Jadi Saksi Sidang Kasus E-KTP
Halaman 18 mencantumkan keterangan Marliem kepada empat penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, yang mewawancarainya di Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Los Angeles pada 5-7 Juli lalu. Komisi Pemberantasan Korupsi berunding alot untuk meminta keterangan Marliem, dan komunikasi mereka berlangsung sejak September 2015 hingga Februari 2017. Marliem baru bersedia ditemui pada Maret 2017 di Singapura. Membantah terlibat suap, ia akhirnya bersedia ditemui lagi di Los Angeles.
Pada 2011, menurut dokumen itu, Marliem terbang ke Jakarta. Ia menemui Setya Novanto, pengusaha Andi Agustinus, dan seseorang yang disebut bernama “Oka”. Dalam pertemuan di rumah Setya itu, tuan rumah meminta “diskon” untuk setiap kartu yang hendak dicetak buat 172 juta penduduk Indonesia. Mereka sepakat angka “diskon” Rp 2.000 per kartu, dari harga Rp 5.000 yang harus dibayarkan pemerintah.
“Marliem paham bahwa ‘diskon’ yang dimaksud berarti suap, dan ia menyanggupi,” Holden menulis. Dokumen juga menyebutkan, Marliem merekam semua percakapan di rumah Setya. Rekaman itu kemudian diputar di depan penyidik KPK yang menemuinya di Los Angeles. Ia juga menunjukkan bukti-bukti transaksi perbankan yang berkaitan dengan skandal ini.
Biomorf Lone Indonesia, anak perusahaan Biomorf Lone LLC Amerika Serikat, menjadi subkontraktor untuk konsorsium pemenang tender proyek e-KTP yang sejak awal telah direkayasa. Mereka digandeng PT Quadra Solution, yang mengerjakan sistem perekaman data biometrik penduduk, mengecek data ganda, dan menyimpannya di basis data. Biomorf mengerjakan bagian senilai Rp 680 miliar dari total proyek Rp 5,84 triliun.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan bukti persidangan di Minnesota bisa jadi barang bukti untuk mengusut kasus e-KTP dan dugaan keterlibatan Setya. “Kitab Undang-Undang Acara Pidana tak melarang dari mana pun asal barang bukti, yang penting relevan dengan kasus,” ujarnya. Saut juga mengatakan lembaganya sudah memiliki bukti cukup untuk memproses dugaan keterlibatan Setya.
Tempo mendatangi rumah Setya di Jalan Wijaya XIII dan Kompleks Widya Chandra, Jakarta, untuk mendapatkan konfirmasi. Penjaga rumah di dua alamat ini menyatakan Setya—yang dua pekan lalu disebut sakit parah—sedang pergi. “Bapak lagi keluar,” kata Alwin, penjaga rumah di Jalan Wijaya XIII. Tiga nomor ponsel Setya juga tak aktif.
Pengacara Setya Novanto , Fredrich Yunadi, membantah tudingan bahwa kliennya bertemu dengan Marliem dan menegosiasikan harga. “Kenal saja tidak. Itu semua bohong dan hasutan,” katanya, kemarin. Pengacara Samsul Huda menyatakan Andi Agustinus, kliennya, tak pernah menceritakan pertemuan tersebut. “Setahu saya, enggak ada pertemuan itu, apalagi bicara soal harga khusus e-KTP,” kata Samsul.
Selengkapnya baca Koran Tempo edisi Senin, 9 Oktober 2017.
MAYA AYU PUSPITASARI | INDRI MAULIDAR
Catatan Koreksi: Foto di berita ini diubah agar tidak menyiratkan trial by the press, sesuai aturan Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers, pada Selasa 19 Desember 2017.