TEMPO.CO, Jakarta - Remaja Jakarta diam-diam mengakrabi minuman keras atau miras oplosan yang berbahaya. Survei Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Nahdlatul Ulama menunjukkan sekitar 65 persen remaja di Ibu Kota pernah meminumnya sekalipun tak sedikit kasus kematian terjadi karenanya.
Survei mengungkap warung-warung jamu menjadi pintu masuk bagi para remaja itu untuk mengenal minuman oplosan tersebut (71,5 persen). Sebanyak 14,3 persen lainnya biasa membeli dari warung kelontong dan sisanya lewat perantara. Para remaja itu lazim membeli secara patungan dengan rekan-rekannya.
Baca: Tiga Orang Tewas Akibat Minum Miras Oplosan
“Banyak yang tidak mengetahui dampak minuman keras oplosan. Padahal sudah banyak jatuh korban tewas,” kata Kepala Departemen Peneliti Lakpesdam NU, Abdul Wahid Hasyim, Minggu, 20 Agustus 2017.
Survei dibuat selama enam bulan sejak Februari lalu dengan melibatkan 327 responden. Para responden remaja di rentang usia 12-21 tahun itu dipilih secara acak bertingkat dari jenjang rukun tetangga hingga kecamatan di Jakarta. Tim peneliti Lakpesdam mengklaim tingkat kepercayaan survei ini 94,5 persen dengan tingkat kesalahan 4,5 persen.
Menurut Abdul, perilaku menenggak miras oplosan mulai dilakukan di kalangan remaja di Jakarta beriringan dengan penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan yang melarang penjualan minuman keras golongan A di minimarket. Aturan itu diberlakukan pada 2015. “Banyak remaja mencari minuman keras dari sumber lain,” katanya.
Baca: Bea Cukai Kediri Bongkar Produsen Miras Oplosan di Gunung Klotok
Mereka abai terhadap kejadian seperti yang dialami 13 remaja di Kemayoran, Jakarta Pusat, pada 2013. Para remaja itu tewas tak lama setelah menenggak minuman keras yang dicampur jamu, beras kencur, susu kental, dan air putih. Oplosan tersebut mereka beli dari warung jamu di Jalan Remaja, Kelurahan Cempaka Putih.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta, Yani Wahyu Purwoko, mengatakan peredaran minuman keras ilegal, termasuk oplosan, sulit dideteksi. Minuman itu, kata dia, umumnya banyak dijual di pusat keramaian, seperti pasar dan terminal, serta antara orang yang sudah saling kenal. “Di tempat itu juga jarang diakses remaja, kecuali anak pasar yang putus sekolah,” katanya.
Tempo membuktikannya dengan berkeliling ke sejumlah warung jamu di sepanjang Jalan Panjang, Cidodol, Jakarta Selatan. Ketiga warung itu mengaku tak pernah menjual minuman keras di antara produk jamu. “Kalau di sini cuma menjual jamu,” ujar seorang penjaga warung jamu, tak jauh dari pertigaan Jalan Assirot.
Adapun Dendy Borman, dari Komite Eksekutif Grup Industri Minuman Malt Indonesia, mengaku belum pernah meriset dampak Peraturan Menteri Perdagangan tentang larangan penjualan minuman keras di minimarket terhadap perilaku remaja dalam menenggak miras oplosan. Meski begitu, ia mengakui penjualan minuman keras golongan A yang kadar alkoholnya di bawah 5 persen anjlok 10-12 persen. “Itu bisa terlihat dari penurunan cukai tahun lalu,” katanya.
MUHAMMAD NAFI | FERY FERDINANTO