TEMPO.CO, Jakarta - Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) berpotensi membebani keuangan PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau PT KAI—pimpinan konsorsium Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di proyek tersebut. Potensi itu muncul dalam laporan pemeriksaan atas sistem pengendalian internal dan kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan pemerintah pusat tahun 2022 yang dikeluarkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
BPK menemukan potensi kerugian dan pelanggaran aturan dalam proyek yang dilaksanakan oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) itu. Keduanya berkaitan dengan pembengkakan biaya alias cost overrun yang melilit proyek sepur dengan kecepatan 350 kilometer per jam itu.
Dalam dokumen lembaga auditor negara tersebut, Indonesia dan Cina disebut menyepakati nilai cost overrun proyek KCJB sebesar US$ 1,205 miliar. Namun, dari nilai tersebut, Indonesia harus menanggung pembengkakan biaya senilai US$ 723,58 miliar, atau setara dengan Rp 10,8 triliun. Sebagian besar pembengkakan biaya itu akan ditalangi oleh utang dari China Development Bank (CDB) dengan porsi 75 persen senilai US$ 542,68 juta.
Sisanya, sebesar US$ 180,89 juta atau 25 persen bersumber dari ekuitas atau modal yang harus disetor BUMN anggota konsorsium proyek. Sebagian di antaranya dipenuhi melalui penyertaan modal negara (PMN) kepada PT KAI pada tahun 2022 senilai Rp 3,2 triliun. “Sementara, pendanaan yang berasal dari porsi pinjaman akan dipenuhi melalui pinjaman yang dilakukan oleh pimpinan konsorsium,” tulis laporan BPK dikutip Rabu, 28 Juni 2023.
Hal tersebut sesuai Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021 yang mengatur bahwa pinjaman untuk menambah modal untuk memenuhi kewajiban akibat kenaikan atau perubahan biaya KCJB harus ditanggung PT KAI. Hal itu juga berlaku jika ada kewajiban perusahaan patungan yang tidak dapat sepenuhnya dipenuhi dengan penyertaan modal negara.
Notulensi rapat Komite KCJB pada 3 dan 8 Februari 2023 juga mengungkap skema penjaminan PT KAI dan update progres KCJB. Di dalamnya juga tercatat bahwa sehubungan pendanaan cost overrun, CDB meminta struktur penjaminan bukan berupa Surat Jaminan Kelayakan Usaha (SJKU). “Tetapi dalam bentuk penjaminan kredit untuk pinjaman yang diterima maupun global bond yang diterbitkan.”
Apabila menggunakan penjaminan kredit, maka CDB akan menerima penjaminan langsung dari pemerintah terkait pinjaman yang akan diberikan. Lebih lanjut, notulensi rapat Komite KCJB 28 Maret 2023, mencatat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT PII) sebagai penjami dan first loss absorption, bahkan sudah diakui secara internasional.
Di rapat yang sama, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan agar skema penjaminan melalui PT PII dapat disampaikan ke pihak CDB. “Apabila CDB tetap menginginkan penjaminan langsung pemerintah, maka Indonesia perlu memikirkan alternatif pendanaan misal melakukan negosiasi dengan Himpunan Bank Milik Negara,” tertulis dalam notulensi.
Sehingga, utang dari CBD akan diteruspinjamkan oleh PT KAI kepada KCIC untuk membiayai cost overrun. Namun, BPK menyebutkan Kementerian Keuangan belum menjelaskan lebih lanjut skema penerusan pinjaman ke KCIC. Selain itu, PT KAI berpotensi menanggung pembayaran pokok dan bunga pinjaman apabila KCIC tidak dapat membayar pokok dan bunga Shareholder Loan.
Manager Corporate Communication KCIC Emir Monti menjelaskan bahwa selisih biaya cost overrun yang tidak disepakati dengan Cina sifatnya merupakan biaya pajak. Dengna begitu, hal tersebut bisa dianggap sebagai biaya operasional.
Selanjutnya: Adapun soal pinjaman untuk pendanaan ...