Pertama, penolakan terhadap nilai prosentase kenaikan UMP yang masih berada di bawah nilai inflansi Januari-Desember 2022, yaitu sebesar 6,5 persen plus pertumbuhan ekonomi Januari-Desember yang diperkirakan sebesar 5 persen.
Kedua, kenaikan UMP DKI 2023 sebesar 5,6 persen dikecam oleh Partai Buruh dan organisasi serikat buruh karena keputusan Penjabat Gubernur DKI Jakarta dianggap tidak sensitif terhadap kehidupan buruh. "Kenaikan 5,6 persen masih di bawah nilai inflansi. Dengan demikian Gubernur DKI tidak punya rasa peduli dan empati pada kaum buruh," kata Said dalam keterangannya, Selasa, 29 November 2022.
Buruh pun mendesak agar Penjabat Gubernur DKI merevisi kenaikan UMP DKI 2023 sebesar 10,55 persen sesuai dengan yang diusulkan Dewan Pengupahan Provinsi DKI unsur serikat buruh. Sementara saat ini, setiap provinsi menaikan besaran UMP yang berbeda-beda lantaran aturan yang ada hanya membatasi nilai maksimal kenaikan upah.
Ketiga, UMP DKI yang naik 5,6 persen akan mengakibatkan UMK di seluruh Indonesia menjadi kecil.
Keempat, buruh mengapresiasi sikap pemerintah yang menggunakan Permenaker 18/2022 dan tidak lagi menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) 36 tahun 2021.
Kelima, buruh meminta kenaikan UMP direvisi menjadi di kisaran 10 hingga 13 persen.
Tapi Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Pengembangan Otonomi Daerah, Sarman Simanjorang menilai permintaan para buruh itu sangat tidak realistis. Pasalnya, kondisi dunia usaha saat ini sedang sekarat akibat kondisi perekonomian global yang semakin gelap.
"Nggak mungkin (naik 13 persen) dong, yang menggaji kita, kok. Artinya jangan sampai UMP ini hanya kepentingan buruh," ucap Sarman saat ditemui di Menara Kadin, Jakarta Selatan pada Selasa, 29 November 2022.
Ia justru menilai UMP yang ditetapkan para gubernur, khususnya DKI Jakarta, masih melampaui perkiraan pihak pengusaha. Kadin, misalnya, berharap kenaikan UMP hanya berkisar 5,11 persen. "Yang kita takutkan kalau misalnya kenaikan UMP itu adalah di luar kemampuan dunia usaha," kata dia.
Lebih jauh, Sarman menyebutkan akan ada sejumlah imbas negatif terhadap ekosistem usaha tahun depan akibat kenaikan UMP ini. Misalnya, ihwal perekrutan karyawan. Pengusaha yang sebelumnya hendak merekrut karyawan pada 2023 akhirnya terpaksa menunda rencana itu. Imbasnya kesempatan kerja bagi pengangguran bisa berkurang hingga hilang sama sekali.
Di samping itu, kenaikan UMP juga bisa mendorong terus kembali terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di sejumlah industri. Pasalnya perusahaan terdesak melakukan penghematan di tengah kondisi ekonomi global yang diprediksi gelap pada 2023.
Selanjutnya: Kadin juga memprediksi akan terjadi...