TEMPO.CO, Jakarta - Natashia Ayu masih saja tak tenang. Meski pekerja di salah satu startup baru di daerah Kuningan, Jakarta Selatan itu termasuk yang selamat dari pemutusan hubungan kerja atau PHK yang dilakukan perusahaannya, ia kini was-was dengan penerapan upah minimum provinsi atau UMP baru yang akan diterapkan per 1 Januari 2023.
Meski tak dirumahkan, perempuan berusia 27 tahun merasa tak aman karena masih berstatus karyawan kontrak dan masa kerjanya akan habis pada bulan Mei nanti. Gajinya pun masih mepet upah minimum provinsi atau UMP meski sudah bekerja di kantornya selama lebih dari dua tahun.
Baca: Gibran Sampaikan Angka UMK Solo 2023 ke Dewan Pengupahan: Kita Lihat Daerah Lain Dulu
Kondisi keuangannya dan keluarga Natashia juga semakin sulit, lantaran suaminya yang juga bekerja di sebuah startup terkena pemotongan gaji akibat efesiensi perusahaan. Padahal keduanya sedang menabung untuk kelahiran anak pertamanya.
"Sempat merasa ada harapan nih waktu Kemnaker (Kementerian Ketenagakerjaan) mengumumkan UMP bakal naik 10 persen. Eh pas aku baca lagi berita-beritanya, kok ternyata naiknya maksimum, ya," kata dia saat dihubungi oleh Tempo pada Rabu, 30 November 2022.
Baca Juga:
Meski sudah mengetahui aturan berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023 hanya mengatur batas atas, ia masih berharap kenaikan UMP pada akhirnya tak akan jauh dari 10 persen. Sebab, jika pengusaha senada dengan pemerintah ingin mendorong daya beli dengan cara menaikkan UMP, artinya besaran kenaikan UMP harus signifikan.
Tetapi ia pun kembali kecewa ketika mengetahui kenaikan UMP DKI Jakarta hanya sebesar 5,6 persen. Ia kian pesimistis, terlebih setelah mendengar kabar bahwa kalangan pengusaha sedang mengajukan uji materiil atas aturan UMP 2023 itu.
"Kalau mereka (pengusaha) menang, berarti kan naiknya lebih kecil lagi. Jujur ragu banget sih apakah UMP ini ujungnya bakal sesuai harapan pekerja," ucap Natashia.
Menurut Natashia, UMP adalah perlindungan yang mendasar bagi pekerja atau buruh. Apabila pemerintah tak tegas memberlakukan aturan, tuturnya, tak ada lagi jaminan terhadap hak-hak karyawan lainnya seperti soal jam kerja, jaminan kesehatan, cuti, dan lain-lainnya.
Ia pun berharap pemerintah bisa lebih tegas sehingga potensi pelanggaran oleh perusahaan dapat diantisipasi. "Jangan abu-abu terus. Ini seperti bermain-main dengan nasib pekerja. Kami sudah terancam PHK, sekarang besaran gaji juga enggak jelas. Bagaimana hak-hak kami yang lainnya?" tuturnya.
Besaran UMP 2023 ini memang menuai berbagai kritik dari berbagai kalangan. Walaupun sempat berterima kasih atas langkah pemerintah dalam menerbitkan aturan baru formula pengupahan melalui Permenaker Nomor 18 Tahun 2022, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyatakan tak puas atas UMP yang ditetapkan gubernur dua hari lalu.
Presiden KSPI Said Iqbal menilai ada ketidaksesuaian antara besaran kenaikan UMP 2023 dan tingginya inflasi. Kalangan buruh juga menyebutkan setidaknya ada lima poin alasan menentang UMP yang berlaku pada 1 Januari 2023 itu.
Selanjutnya: Pertama, penolakan terhadap...