Akan tetapi, ekonom senior Faisal Basri pernah mengkritik bahwa utang Indonesia tidak bisa hanya dilihat lebih rendah dari negara lain. "Jangan cuma melihat nisbah utang 40 persen," kata dia pada 18 Agustus 2021.
Sebab saat ini, kata dia, beban pembayaran bunga utang terus bertambah, bahkan mencapai lebih dari seperlima pengeluaran pemerintah. Pada 2022, beban pembayaran bunga Indonesia pun bisa menyentuh 20,9 persen.
Di tengah berbagai kritikan soal utang di dalam negeri, Indonesia kini dihadapkan lagi dengan potensi ancaman masalah akibat utang dari luar negeri. Pandemi ini membuat perusahaan global sampai pemerintah asing pun menghadapi laju kenaikan utang.
Pertama, krisis utang Evergrande di Cina. Raksasa properti itu sekarang sedang terbelit utang terbesar di dunia yang mencapai US$ 300 miliar. Kedua, utang Amerika Serikat yang mencapai batas maksimal US$ 28,4 triliun.
Di Amerika, pemerintah yang dikuasai Partai Demokrat pun sudah mengusulkan rancangan undang-undang yang akan menangguhkan plafon utang hingga Desember 2022. Tapi, deadlock terjadi karena partai Republik yang menguasai Senat menolak beleid tersebut.
Dikutip dari Reuters di Selasa, 28 September 2021, Menteri Keuangan Amerika Janet Yellen telah memberi peringatan soal ini. Bila sampai 18 Oktober tak ada persetujuan, maka masalah ini berpotensi memicu krisis keuangan.
Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya menyebut masalah utang di Amerika sejauh ini masih sebatas persoalan legal. "Sudah berpuluh-puluh kali dinaikkan (ambang batas utang), apalagi dengan Partai Demokrat mayoritas di kongres, senat dan pegang presiden, jadi aman mestinya," kata dia.