Justru, perhatian ada pada krisis utang ekonomi. Masalah ini tergantung sebesar apa pemerintah Cina akan melakukan bail out terhadap Evergrande. Sebab, Cina juga harus mengatasi problem sistemik semacam ini di tengah pandemi dan kapasitas fiskal mereka pun masih memadai.
Di sisi lain, Berly juga menilai kasus Evergrande ini berbeda dengan kasus Lehman Brothers yang turut memicu krisis finansial 2008. Lantaran saat 2008, masalah muncul tiba-tiba dan menimbulkan kepanikan. Selain itu, ukuran bisnis Evergrande juga relatif lebih kecil ketimbang Lehman Brothers dan beberapa perusahaan lain yang bermasalah di 2008.
"Jadi dua-duanya (utang Amerika dan Evergrande) very little probability escalate to crisis, sehingga tidak pengaruhi negaranya, apalagi Indonesia," kata Berly.
Sementara, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indoensia, Mohmmad Faisal, menilai kedua masalah ini, utang Amerika dan Evergrande, tetap bisa berpotensi memicu dampak pada perdagangan Indonesia. Sebab, Amerika dan Cina sekarang jadi tujuan ekspor utama Indonesia.
Kalau kedua masalah tersebut memicu kontraksi ekonomi di kedua negara, maka ekspor Indonesia dipastikan terganggu. Apalagi di Cina, yang jadi tujuan ekspor komoditas Indonesia. "Bahkan ketergantungannya semakin tinggi selama pandemi," kata dia.
Tapi, Faisal sepakat bahwa kejadian seperti Evergrande masih jauh bila dibandingkan kasus Lehman Brothers yang memicu krisis finansial 2008. Sebab, kejadian Evergrande masih terjadi di tingkat lokal di Cina. "Kemampuan kontrol di Cina juga lebih tinggi karena sistem politiknya yang sentralistik," katanya.
Lonjakan utang memang terjadi, di luar dan dalam negeri. Sri Mulyani yang juga menjabat sebagai Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) kini sedang memantau kedua masalah tersebut. Bagi Sri Mulyani, kedua masalah ini harus terus diwaspadai Indonesia. "Kami tidak lengah dengan perubahan global yang begitu sangat dinamis," kata Sri Mulyani.
Baca: Debt Collector Tak Tersertifikasi yang Tarik Paksa Kendaraan Bisa Dipolisikan