Dari data di atas, dapat terlihat bahwa kenaikan yang cukup tinggi terjadi pada tahun 2020. Rasio utang pemerintah terhadap PDB langsung naik 8,88 persen dalam satu tahun saja. Situasi ini tak lepas dari adanya Covid-19 yang mengharuskan pemerintah menambang utang.
Situasi ini tergambar dalam 3 kali perubahan defisit dan aturan sepanjang 2020. Awalnya, APBN 2020 hanya mengalokasikan pembiayaan utang Rp 351,9 triliun. Lalu Covid-19 menerjang dan defisit diperlebar di atas 3 persen. Pembiayaan utang langsung naik jadi Rp 1.006,4 triliun (Perpres 54/2020) dan Rp 1.220,5 triliun (Perpres 72/2020).
Untuk tahun 2021 ini, pembiayaan utang sudah ditekan sebesar Rp 1.177,3 triliun. Tapi untuk 2022, pemerintah dan Badan Anggaran DPR sudah sepakat pembiayaan utang turun jadi Rp 973,5 triliun. Ini adalah satu dari sejumlah poin yang sudah disepakati dalam rapat Badan Anggaran dan pemerintah pada Selasa, 28 September 2021.
"Mengendalikan rasio utang dalam batas manageable," demikian catatan dari anggota Banggar dari fraksi Golkar, Bobby Adhityo Rizaldi, kepada peserta rapat, termasuk Sri Mulyani. Kesepakatan di Banggar ini akan segera bawa ke rapat paripurna DPR untuk disahkan menjadi UU APBN 2022.
Laju kenaikan rasio utang ini yang kemudian dikritik sejumlah pihak. Salah satunya dari Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira. "Posisi utang tersebut sudah lampu merah," kata dia saat dihubungi.
Bahkan, kata dia, Bhima juga khawatir rasio utang bisa terus naik hingga dari batas 60 persen terhadap PDB. Bahkan dalam dua sampai tiga tahun ke depan, rasio utang ini bisa melonjak hingga 70 hingga 80 persen terhadap PDB.
Peluang bagi rasio utang terus naik tersebut, kata Bhima, juga terjadi karena bank sentral Amerika Serikat, The Fed, mulai melakukan normalisasi kebijakan moneter (tapering off) pada 2022.